Butuh waktu hampir tiga minggu bagi Riyadh untuk mengakui bahwa wartawan Jamal Khashoggi tewas dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.
Khashoggi adalah pengkritik terkemuka terhadap kepemimpinan Arab Saudi saat ini. Pandangannya disebarluaskan lewat berbagai saluran, termasuk kolom opini di The Washington Post sejak setahun lalu. Ia sesungguhnya bukan orang asing bagi elite Saudi karena pernah menjadi penasihat media bagi Duta Besar Saudi untuk Inggris, Pangeran Turki al-Faisal, yang sebelumnya lama bertugas sebagai kepala intelijen. Kemudian, pada 2005, ketika Pangeran Al-Faisal ditunjuk sebagai Dubes Saudi untuk AS, Khashoggi bergabung dengannya sebagai asisten bidang media.
Karier jurnalistik Khashoggi meliputi tugasnya di Afghanistan, mewawancarai, serta mengikuti dari dekat kemunculan pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden, pada 1980-an. Khashoggi merupakan Wakil Pemimpin Redaksi Surat Kabar Arab News saat serangan 11 September 2001 terjadi di Amerika Serikat. Hal ini membuatnya menjadi narasumber penting bagi wartawan asing yang ingin memahami alasan orang melakukan terorisme. Pada 2000-an, dia dua kali dipecat dari jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Al-Watan, yang di bawah kepemimpinannya disebutkan menyebarkan editorial dan kartun yang kritis terhadap ekstremisme serta cara negara menerapkan nilai-nilai agama.
Kematiannya setelah dia masuk ke Konsulat Saudi di Istanbul membuat posisi Saudi sangat sulit. Bayangkan, ada wartawan yang kritis terhadap kebijakan Saudi meninggal akibat dibunuh di gedung milik pemerintah. Semula Saudi bersikeras, setelah masuk ke konsulat pada 2 Oktober siang, Khashoggi beberapa jam kemudian meninggalkan gedung itu.
Argumen itu dipatahkan oleh berbagai informasi dari media Turki, mulai dari rekaman suara penyiksaan terhadap Khashoggi hingga rekaman video kedatangan sejumlah orang yang dekat dengan elite top Saudi ke konsulat sebelum Khashoggi masuk. Semua ini memberi petunjuk jelas, sebagaimana disampaikan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Selasa (23/10/2018), kematian Khashoggi direncanakan, bukan peristiwa tak sengaja akibat perkelahian.
Di tengah upaya Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman untuk membuat ekonomi negaranya lebih terbuka dan menciptakan masyarakat Saudi yang moderat, kasus Khashoggi menjadi penghambat besar. Selaku pemimpin de facto Saudi, Mohammed bin Salman bisa kehilangan kredibilitas. Padahal, untuk mewujudkan rencananya itu, ia harus menjadi sosok yang dikehendaki komunitas internasional pada umumnya: terbuka, tak mengizinkan kekerasan, serta menghargai nyawa manusia. Hanya dengan cara itu, kalangan bisnis dengan ringan akan mengucurkan investasi yang membantu modernisasi Saudi.
Kasus ini diperkirakan juga akan memengaruhi posisi Saudi di kawasan. Sejak kasus Khashoggi meledak, Riyadh tampak terpojok. Padahal, selain dalam isu Palestina, Saudi tengah diharapkan peran kuatnya menjelang 4 November, saat AS menerapkan larangan bagi Iran menjual produk minyaknya. Semoga kasus Khashoggi menjadi pelajaran penting bagi elite Saudi.