Data produksi beras mengalami koreksi ketika pemerintah memakai metode baru penghitungan. Data hasil koreksi ini harus men- jadi dasar kebijakan baru pangan.
Penghitungan baru menggunakan metode berbeda dibandingkan dengan cara sebelumnya. Metode baru menggunakan kerangka sampel area (KSA), yaitu memakai data citra satelit Lapan yang diverifikasi berjenjang dengan cek lapangan, melibatkan Badan Informasi Geospasial, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, BPPT, dan Badan Pusat Statistik. Adapun metode lama menggunakan data berjenjang dari dinas pertanian hingga ke Kementerian Pertanian (Kementan).
Data hasil koreksi berbeda nyata dengan data sebelumnya dari Kementan. Luas baku sawah menjadi 7,1 juta hektar (ha) tahun ini dari 7,75 juta ha pada 2013. Potensi panen padi 2018 seluas 10,9 juta ha, sementara proyeksi Kementan 15,99 juta ha. Produksi padi 2018 besarnya 56,54 juta ton gabah kering giling, sementara proyeksi Kementan 83,03 juta ton.
Langkah pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan koreksi data produksi beras sangat kita hargai. Bertahun-tahun terjadi perdebatan mengenai akurasi angka produksi beras. Indikator sederhana sering menjadi argumen, beberapa kali harga beras tidak menggambarkan klaim pemerintah tentang jumlah produksi, bahkan saat panen raya.
Ketidaksesuaian antara data lapangan dan angka pemerintah menurut Wapres dimulai sejak 1997. Dalam catatan Kompas, tahun 1997-1998 adalah tahun dengan fenomena iklim El Nino terkuat, menyebabkan kekeringan yang memengaruhi produksi beras. Tahun 1998, bertepatan dengan reformasi dan krisis keuangan Asia, Indonesia mengimpor hingga 7 juta ton beras.
Metode KSA sebaiknya dijelaskan terbuka kepada masyarakat agar terjadi diskusi akademis dan sekaligus menguji akurasinya. Hal tersebut diperlukan sebab koreksi data produksi beras membawa konsekuensi berbagai data lain perlu koreksi juga.
Pertama-tama data kesejahteraan petani dan masyarakat desa yang kemungkinan tidak sebaik yang ditunjukkan data selama ini. Koreksi data juga mesti dilihat pengaruhnya pada angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi mengingat besarnya senjang antara data yang digunakan selama ini dan data KSA.
Kita mengharap pemerintah memiliki tidak hanya data agregat, tetapi lebih detail hingga tingkat kecamatan bahkan desa. Audit data terhadap komoditas pangan lain, seperti jagung, daging sapi, dan kedelai. Hasil audit tersebut diperlukan untuk menyusun kebijakan baru pangan, dimulai dengan menelaah kembali definisi, strategi, dan kebijakan pangan.
Indonesia sangat kaya dengan bahan pangan lokal sumber karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin. Kita tidak perlu bergantung pada beras untuk sumber karbohidrat, apalagi sampai mengimpor, karena kita juga punya umbi-umbian, sagu, hingga sukun dan pisang.
Untuk membangun manusia Indonesia berdaya saing, pertama-tama tubuhnya dan otaknya harus sehat dan berkembang optimum. Itu hanya dapat dicapai melalui pangan seimbang yang sumbernya berlimpah dalam pangan lokal kita dan semua terjangkau masyarakat.