Mewaspadai Risiko Sistemik Perusahaan Pembiayaan
Satu demi satu perusahaan pembiayaan (multifinance) tutup. Setidaknya selama dua tahun terakhir sudah 20 perusahaan pembiayaan gulung tikar.
Sumber utamanya menyangkut tata kelola (governance), atau lebih tepatnya dikelola dengan keserakahan. Praktik multipledge collateral dan dummy yang berlangsung belasan tahun ini ”rapi” tertutup.
Sejarah membuktikan bahwa praktik tata kelola yang buruk akan mempercepat kebangkrutan ketika terjadi guncangan. Kasus gagal bayar medium term notes (MTN) PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) Finance dan kredit macet di sejumlah bank, disebut-sebut Rp 14 triliun, kembali mengingatkan kita tentang risiko sistemik industri multifinance. Rupanya, praktik-praktik multiplage setelah dilakukan Arjuna Finance dan Bima Multifinance masih terus terjadi.
Akankah ini menimbulkan dampak sistemik bagi industri multifinance? Setelah krisis 1998, tepatnya tahun 2001, industri multifinance berkembang sejalan dengan peningkatan penjualan otomotif dan lonjakan harga komoditas dan batubara. Tahun 2004-2005, meski terjadi kenaikan harga BBM, harga komoditas masih tinggi sehingga multifinance tetap tumbuh.
Pertumbuhan tinggi terus berlanjut, hingga 2013 kondisi berbalik arah. Sejumlah perusahaan multifinance mulai banyak yang gagal dan klimaksnya pada 2016-2018. Biro Riset InfoBank memperkirakan, pada akhir 2018-2019, kondisi multifinance tidaklah mudah. Bank kian selektif memberikan pembiayaan ke multifinance. Ketentuan permodalan minimum Rp 100 miliar tak mudah dipenuhi karena sekarang ini masih lebih dari 20 persen perusahaan yang modalnya di bawah Rp 100 miliar.
Kalangan bankir mengungkapkan, SNP dengan jaringan Kolombia yang sudah lebih dari 40 tahun dan mendapat peringkat ”stabil” serta diaudit oleh akuntan publik kelas dunia saja tumbang, bagaimana yang lainnya? Bagaimana tanggung jawab akuntan publik karena kenyataannya multifinance sering kali terlihat berlubang ketika terjadi masalah, seperti kasus Arjuna, Bima, dan terakhir SNP, serta 20 perusahaan lain yang tutup?
Pengawasan dan pengaturan
Tidak bisa menyalahkan sepenuhnya multifinance. Selama ini bank hanya mau memberikan kredit kepada nasabah multifinance yang lancar-lancar saja. Sementara jika terjadi kemacetan, bank akan meminta menukar portofolio (tagihan) yang lancar. Di sinilah sebenarnya awal dari praktik-praktik ”akal-akalan” terjadi. Ditambah, memang pengawasan terintegrasi belum sepenuhnya efektif di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Meski namanya OJK, jika melihat kasus-kasus yang muncul, seperti multipledge dan bancassurance (Jiwasraya), tampaknya pengawasan masih terkotak-kotak. Industri melihat pengawasan dan pengaturan antara bank dan industri keuangan nonbank (IKNB) belum terintegrasi dengan baik meski upaya perbaikan dilakukan. Padahal, sesuai amanat UU Nomor 21 Tahun 2011, tugas OJK adalah mengawasi dan mengatur kegiatan di sektor perbankan, IKNB, pasar modal, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Apa yang dilakukan di multifinance paling tidak bisa dilihat di perbankan sehingga kasus multiplaged tak terjadi. Bagaimana bisa satu jaminan bisa diagunkan di banyak bank tanpa diketahui pengawas bank dan pengawas multifinance. Jika pengawasan terintegrasi, harusnya bisa diketahui secara dini. Kasus baru terbuka ketika kondisi multifinance sudah remuk dan bangkrut seperti yang terjadi pada Arjuna, Bima, dan SNP.
Problemnya tidak hanya pengawasan, tetapi juga di pengaturan. Tanpa harus menyalahkan siapa-siapa, dibentuknya OJK tak lain adalah untuk mengawasi industri keuangan nonbank dan perbankan secara terintegrasi. Untuk itulah, OJK harus hadir agar terselenggara sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tugas utama OJK bukan terlalu ”sibuk” mengurus investasi bodong dan membuat ”bank wakaf” di pesantren seperti yang sering muncul di media selama setahun ini.
Untuk pengaturan, OJK setidaknya bisa mencontoh Bank Indonesia (BI) pascakrisis 1998. Sejak krisis 1998, pengaturan bank oleh BI lebih berhati-hati dan ada penguatan aturan, lebih transparan dan akuntabel. Penguatan pengaturan dilakukan dengan memperkuat kelembagaan, seperti pendirian, kepemilikan, direksi, komisaris, internal audit, manajemen risiko, kepatuhan, dan pembukaan kantor, termasuk mekanisme penutupan bagi multifinance yang gagal.
Untuk penguatan kehatian-hatian, dibuat aturan mengenai BMPK, posisi devisa neto (PDN) gearing ratio, dan kualitas aktiva produktif yang lebih ketat. Dan sudah tentu pelaporan transparan ke publik minimal dua kali setahun. Hal-hal yang baik dari pengawasan perbankan bisa diterapkan dan setelah itu pengawasan terintegrasi dapat diwujudkan. Intinya pengaturan lebih dikuatkan.
Mirip skema Ponzy
Pada triwulan III tahun 2018, kondisi likuiditas perbankan tidak ketat meski ada beberapa bank yang ketat sekali dilihat dari rasio kredit dengan dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR). Jadi, di satu sisi bank kehilangan kepercayaan kepada multifinance dan di sisi lain bank dihadapkan pada kebutuhan likuiditas. Era uang ketat dan suku bunga tinggi sendiri diperkirakan terjadi hingga akhir 2019.
Di situlah awal sistemik itu dimulai. Jika semua bank tidak lagi mengucurkan pembiayaannya ke multifinance akibat pertimbangan internal bank menyangkut likuiditas dan rendahnya kepercayaan, secara perlahan multifinance yang ”kering” likuiditas akan terkena beban overhead dan akhirnya mengalami kesulitan. Nah, jika perusahaan multifinance melakukan akrobat pembukuan atau multipledge, multifinance itu akan meledak seperti kasus-kasus kebangkrutan multifinance di Indonesia. Salah kelola.
Bisnis model multifinance di Indonesia bisa jadi tampak seperti skema Ponzy—tidak bisa berhenti—sekali berhenti maka akan putus, terkena biaya overhead, dan pada akhirnya kesulitan. Bahkan, sekarang ini di mana bank-bank banyak yang menyetop pembiayaan ke multifinance, situasinya juga laten. Tidak hanya itu, bisnis model multifinance juga dinilai sudah tidak cocok karena banyak multifinance yang hidup dari komisi asuransi yang kini pun juga harus dibagi dengan showroom.
Biro Riset InfoBank memetakan ada empat perusahaan multifinance. Pertama, multifinance yang dimiliki bank dan sekaligus memiliki agen tunggal pemegang merek (ATPM). Kedua, multifinance yang hanya memiliki ATPM, tak dimiliki bank. Ketiga, multifinance yang memiliki showroom. Keempat, multifinance tak memiliki grup apa-apa. Untuk multifinance yang memiliki bank, relatif lebih ringan. Jika terjadi apa-apa segera dapat ditolong, tetapi bukan berarti tak bisa merugi.
Namun, multifinance yang punya sumber pendanaan jelas akan lebih baik dalam situasi sekarang. Sumber dana bisa dari dari bank ataupun dari grup di luar negeri. Sementara multifinance yang ”sendirian” dan hanya
memiliki showroom kecil mobil bekas tentu akan mengalami tekanan yang lebih berat. Namun, sepanjang multifinance masih bisa ”jualan” tentu akan lebih ringan. Skema Ponzy bisa dijalankan. Tentu multifinance yang tak punya grup ini (lokal) tantangannya lebih besar.
Bisnis multifinance sendiri sebenarnya tidak jelek-jelek amat dengan laba atas aset (return on asset/ROA) berkisar 4-4,5 persen dan laba atas ekuitas (return on equity /RoE) berkisar 14-15 persen. Selain itu, saat ini dirasakan multifinance jumlahnya terlalu banyak dengan struktur modal yang kecil. Menurut data Biro Riset Infobank, per Juni 2018 ada 190 multifinance dengan 5.800 kantor. Ketentuan modal minimum Rp 100 miliar pada akhir 2019 tidaklah mudah dipenuhi. Sebab, 2017 dengan ketentuan modal Rp 60 miliar juga masih tersisa 17 perusahaan dan menuju 2018 dengan modal Rp 80 miliar jumlahnya lebih besar.
Tekanan berat lagi adalah munculnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melindungi para penunggak kredit motor dan mobil. Modusnya, para LSM ini akan bernegosiasi dengan multifinance agar dapat menyerahkan motor ataupun mobil. Dengan demikian, biaya operasional akan naik. Sejauh ini Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) sudah bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mencegah tindakan anarkistis LSM. Cara anarkistis dengan tidak membayar pinjaman yang macet ini tidak bisa ditoleransi karena motor atau mobil sepanjang belum lunas masih milik multifinance.
Menurut catatan Biro Riset Riset InfoBank, sekarang ini multifinance paling tidak harus memulihkan kepercayaan perbankan atau kreditor, membenahi tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan yang sehat. Selain itu, juga penguatan permodalan dan kapasitas kepemilikan. Tidak bisa lagi multifinance dikelola seperti mengelola showroom mobil. Untuk itu, perlu dibuat semacam peta jalan (road map) pendanaan dalam jangka panjang.
Sudah sewajarnya semua pihak menjaga agar dampak sistemik multifinance tidak terjadi. Bank-bank tidak harus menutup keran kredit rapat-rapat karena tidak semua multifinance melakukan praktik-praktik tercela. Masih ada multifinance yang sehat dan berhati-hati (prudent), tetapi memang bisnis model multifinance harus segera diubah sejalan dengan hadirnya teknologi finansial (fintech).
Namun, menghidupkan kepercayaan kepada kreditor atau bank-bank merupakan pekerjaan urgen dan tentu tidak mudah. Pembersihan terhadap multifinance yang sakit dan tidak punya masa depan segera dilakukan. Sebab, dengan cara tegas itu akan tertinggal multifinance yang sehat, kuat, dan transparan dengan tata kelola yang baik.
Sudah saatnya semua pihak harus berani buka-bukaan agar kepercayaan bank muncul kembali. Langkah itu setidaknya akan mencegah sistemik multifinance pada tahun 2019. Posisi OJK sebagai pengawas dan pengatur punya peran besar untuk mencegah sistemik multifinance.
Eko B Supriyanto Direktur Biro Riset InfoBank