Urusan cemburu dan rindu bukan hanya monopoli dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Romantika tersebut dapat pula merambah wilayah kompetisi Pemilihan Presiden 2019. Panah asmara kekuasaan dapat meluncur menembus pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sumber kecemburuan adalah posisi kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno belum sempat melakukan kerja nyata yang dapat dijadikan propaganda merebut hati rakyat. Harus diakui pasangan ini sangat berhak cemburu, tetapi jangan terjebak dan bablas menjadi dengki, iri, bingit, berang, sirik, nyinyir, dan sebagainya. Membiarkan terperangkap pada cemburu buta dapat menstimulasi sikap uring-uringan dan grusa-grusu yang memelorotkan kredibilitas.
Apabila gelora rasa timburu tidak dapat dikendalikan, dikhawatirkan Pilpres 2019 hanya akan menjadi replikasi Pilpres 2014 yang sangat rendah mutunya. Kompetisi politik menjadi sekadar arena pertarungan berebut kekuasaan brutal.
Oleh sebab itu, perlu menyimak hasil survei Lingkaran Survei Indonesia Oktober 2018 tentang ”Hoax dan Efek Elektoral Kasus Ratna Sarumpaet”. Kesimpulannya cukup meyakinkan, mayoritas publik (75 persen) khawatir maraknya berita bohong. Masyarakat berharap media sosial dibersihkan dari berita bohong. Kajian tersebut menunjukkan masyarakat rindu kampanye yang bermutu. Ibaratnya, rakyat sangat rindu memeluk Dewa Arete, dewa dalam mitologi Yunani yang melambangkan kebijakan, keberanian, dan lain-lain.
Kubu Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dapat diuntungkan karena empat tahun pemerintahan Joko Widodo membuahkan karya nyata. Prestasi itu jadi amunisi ampuh untuk memikat hati rakyat. Sekiranya kubu lawan melakukan propaganda bernuansa kebohongan jangan dilawan dengan hoaks, tetapi direspons dengan hasil kerja keras. Namun, harus diperhatikan kemasan narasi respons harus dapat menggugah dan membangkitkan rasa-merasa emosi masyarakat. Karena berbagai kajian mengenai perilaku memilih (voting behavior) membuktikan faktor sentimen publik sering kali menjadi faktor determinan dalam kompetisi politik. Kompetensi afeksi, mengolah, dan mengelola sentimen publik sangat diperlukan. Jika gagal, diskrepansi antara kepuasan publik dan preferensi memilih akan semakin timpang sebagaimana hasil survei Kompas pada Oktober 2018.
Berdasarkan asumsi tersebut, sangat diharapkan pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin lebih agresif, cerdas, dan bernas merawat rasa rindu masyarakat berkampanye. Namun, hal itu tidak sederhana mengingat atmosfer politik saat ini belum bebas dari romantika limbah pertarungan keras Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Iklim politik juga lebih temaram karena aura mazhab populisme dan politik pasca-kebenaran masih gentayangan di lanskap politik global. Jebakan kampanye yang akan menguras emosi publik masih menganga dan kasatmata sehingga dapat menstimulasi amukan cemburu buta. Indikasinya, simtom kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo tidak jarang dipelintir menjadi berita yang dianggap bohong. Sayangnya, kubu Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, meskipun frekuensinya semakin menyusut, merespons berita bohong kubu sebelah dengan ”meme” yang mudah ditafsirkan sebagai hoaks.
Oleh sebab itu, pimpinan kedua kubu dituntut lebih tegas menindak pendukungnya yang menyebarkan berita bohong. Selain itu, suara yang diperebutkan oleh para kontestan bukan sekadar dengungan atau kegaduhan: suara politik adalah institusi yang amat vital dalam tertib demokrasi karena berfungsi mengomunikasikan aspirasi, preferensi, dan tuntutan kolektif publik. Jadi, suara berkarakter antroposentris. Di balik angka, tersembunyi cita-cita, kepentingan, dan harapan masyarakat.
Oleh sebab itu, agregat suara mempunyai kekuatan ampuh memengaruhi kebijakan publik. Hirschman mengatakan, ”Voice is political action par excellence”, bersuara adalah wujud paling utama dari aksi politik (Albert O Hirschman; Exit, Voice and Loyalty; 1970). Agar bersuara menjadi bermakna memerlukan pendidikan politik supaya warga negara mempunyai civic competence (kompetensi berwarga negara) dan kompetensi deliberasi sehingga percakapan publik bermutu (Erik Anderson, 2012). Sebaiknya sisa waktu kampanye, kedua kubu, selain berjuang untuk menang, harus berupaya sekeras-kerasnya mengembangkan deliberasi atau dialog yang mempunyai semangat saling memberi dan menerima, bukan secara apriori berpegang pada pendapat sendiri dan menolak pendapat mitra bicara.