Hukum Masih Tertatih-tatih
Sudah empat tahun Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi pemegang amanat rakyat di negeri ini untuk kursi kepresidenan.
Dalam sistem presidensial—dengan ketiadaan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)—janji-janji Presiden menjadi barometer yang patut dilihat dan diteropong dalam melihat jalannya pemerintahan. Nawacita dan program turunannya merupakan penanda keseriusan pemerintah menghela laju pemerintahan menuju yang diharapkan.
Dalam hal itu jika dikaitkan dengan bidang hukum, janji yang paling mudah terlihat adalah janji untuk ”membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan”. Hal itu juga bisa dilihat dari manifestasi janji ”menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya”. Dua poin janji yang merefleksikan sikap prioritas Presiden tentang hukum dan antikorupsi.
Sistem presidensial di Indonesia menempatkan janji ini bukan hanya sebagai pemoles kampanye berharap terpilih semata, melainkan merupakan ikrar kerja dalam lima tahun masa kepemimpinan Presiden. Memang harus diakui, tak ada yang mudah untuk dicapai dengan mulus, apalagi dengan tantangan di sistem presidensial dengan model multipartai. Kita pun masih ingat, masa awal dibayangi dengan fragmentasi politik yang cukup tinggi. Maka, kerja-kerja awal masa itu sering kali bergerak dalam langgam konsolidasi politik. Padahal, dalam konsolidasi politik sulit membayangkan ada ”makan siang yang gratis”. Termasuk di wilayah hukum. Pertarungan dalam pergantian Kapolri dan ”Kasus Cicak vs Buaya”, misalnya, menunjukkan gejala itu.
Meskipun paham semua kendala itu, sekali lagi, sistem presidensial menempatkan janji Presiden tidak sesederhana ”jualan kecap”. Tetap menjadi sesuatu yang penting. Bahkan, teramat urgen. Karena itu, kedua janji tersebut ada ikrar kerja lima tahun yang ingin ditorehkan. Pertanyaannya, dalam tahun keempat sejauh mana hal itu tercapai?
Legislasi presiden
Menghitung kinerja Presiden, maka mula dapat dilihat adalah kapasitas kekuatan legislasi, atau penyusunan peraturan oleh Presiden. Politik hukum Presiden dalam legislasi menjadi pertanyaan utamanya. Dimulai dengan kejadian UU MD3 yang masih menunjukkan kurang padunya kerja Presiden di wilayah legislasi. Presiden sempat enggan menandatangani UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), khususnya aturan tentang DPR yang boleh melakukan tindakan-tindakan tertentu secara tidak demokratis. Presiden menunjukkan sikap demokratisnya dengan menolak menandatangani UU yang dia anggap bermasalah itu. Di UU MD3, putusan MK yang mengoreksi cukup besar pada logika hukum di UU itu setidaknya memperlihatkan bahwa UU MD3 itu memang bermasalah.
Namun, persoalan bukan pada pemihakannya, melainkan pada bagaimana ia memperlakukan suatu legislasi. Kita semua paham, Pasal 20 Ayat (2) menempatkan DPR dan Presiden bersama-sama dalam membahas dan menyetujui UU, sedangkan pengesahan dibubuhkan seiring tanda tangan Presiden. Jika Presiden tidak menandatangani, maka dalam jangka waktu 30 hari, dengan sendiri RUU berubah menjadi UU. Bagaimana mungkin sesuatu yang sudah dibahas bersama dan disetujui bersama dengan DPR, lalu Presiden menolak menandatanganinya?
Harusnya, jika Presiden memang menunjukkan itikad untuk tidak setuju dengan isinya, seharusnya itu dilakukan pada tahap pembahasan dan persetujuan. Presiden dapat menolak membahas bersama, dan jika DPR tetap memaksa, Presiden dapat menolak menyetujuinya. Jika ia sudah membahas dan menyetujui, tentu sangat tidak elok terlihat jika tak menandatangani. Jika itu dibayangkan hal yang sederhana, menurut saya seharusnya tidak, karena hal itu sangat esensial. Gugatan mendasarnya tentu saja pada tim pembentukan UU di bawah Presiden yang menjalankan amanat Presiden dalam legislasi. Sejauh mana mereka berkoordinasi dengan Presiden soal isi dari suatu UU?
Pembentukan peraturan di bawah UU juga masih belum bisa dikontrol dengan baik meski bukan berarti tidak ada upaya ke arah itu. Gejala peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) yang belum dapat menyesuaikan dengan cepat apa yang dicita-citakan oleh UU-nya masih kelihatan. Kerja-kerja PP dan perpres masih sering terhalang oleh bahasa koordinasi antar-kementerian, yang dalam beberapa hal masih terlihat ego sektoral dan belum padu. Belum lagi letak persoalan pada kementerian
yang semakin gemar menunjukkan kuasa dengan menjadikan pembuatan peraturan menteri sebagai salah satu capaian yang dijanjikan oleh kementerian. Ini membuat setiap kementerian masih berpacu dengan aturan masing-masing, yang kemudian membuat mudahnya terjadi tumpang tindih antar-aturan.
Politik hukum Presiden di wilayah legislasi memang masih tidak tampak kuat. Dalam sistem presidensial, seharusnya seorang presiden memimpin legislasi dengan kualitas petunjuk detail tentang apa yang harus dipertahankan menteri dalam pembahasan bersama dan persetujuan dengan DPR dalam amanat presiden yang disampaikan ketika proses legislasi terjadi. Apalagi di tengah tekanan politik yang selalu ada dalam penyusunan perundang-undangan, keteguhan presiden menjadi penanda keseriusan politik hukum legislasinya.
Kebijakan hukum dan antikorupsi
Keseluruhan legislasi kebijakan dalam aturan tersebut—pada konteks negara hukum—adalah bingkai dari isi kebijakan hukum itu sendiri. Secara substansi kebijakan hukum, sebenarnya belum banyak bergeser dari tempat yang semula ditinggalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di masa sebelumnya, meski harus juga diakui ada upaya perbaikan, semisal menguatkan Inpres tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini dalam dua tahun awal selalu diperbaiki dengan makin melengkapi program aksi pencegahan serta dorongan ke arah pemberantasan korupsi.
Termasuk melibatkan begitu banyak kelembagaan yang berperan di dalamnya, selain Bappenas, juga memasukkan Kantor Staf Presiden (KSP) dan BPKP. Bahkan di tahun 2018, pemerintah mengeluarkan kebijakan strategi nasional pencegahan korupsi melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2018, menguatkan perpres yang sama yang telah dikeluarkan SBY pada masa kepresidenan sebelumnya.
Selain itu, secara kelembagaan juga dibuatkan dua lembaga langsung yang berkaitan dengan penegakan hukum antikorupsi, yakni Tim Saber Pungli di 2016 dan turunan dari Perpres Strategi Nasional Pencegahan Korupsi dengan melahirkan Tim Nasional Pencegahan Korupsi. Upaya yang tentunya bukan sederhana untuk dinilai sebagai itikad. Sayangnya, kendala masih ditemui, paling tidak dalam dua level. Pertama, tim-tim yang terbentuk masih terlihat dibentuk tidak dalam konstruksi sangat kuat. Saber Pungli, misalnya, tidak menunjukkan kewenangan yang kuat dan jelas. Selain itu, kepemimpinan Saber Pungli yang diberikan kepada Polri menunjukkan ini belum dalam kapasitas perbaikan birokrasi dan tata kelola secara keseluruhan, tetapi masih lebih dalam harap efek ”terapi kejut”.
Kedua, pola kerja yang dituju sebagai membangun tata kelola tentu membutuhkan bukan hanya terapi kejut, melainkan juga lengkap dengan sistem dan mekanisme yang terbangun. Sayangnya, skema kedua lembaga ini terlihat tak didesain ke arah itu. Lembaga hukum di bawah Presiden juga belum memperlihatkan prestasi yang berarti. Meski ada peningkatan angka uang yang merupakan hasil pencegahan korupsi, hal itu belum menunjukkan bingkai besar perbaikan pencegahan korupsi dan pemberantasan korupsi itu sendiri. Terbukti, kejaksaan dan kepolisian masih menjadi tempat yang belum melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal.
Apalagi jika dikoneksikan dengan pernyataan Presiden sendiri yang meluncurkan kebijakan percepatan pelaksanaan proyek nasional melalui dua inpres, khususnya aturan yang memerintahkan aparat penegak hukum untuk mendahulukan proses administrasi dalam melakukan pemeriksaan dan penyelesaian atas laporan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek strategis nasional. Selain ada pertanyaan mendasar soal keseriusan menghela pemberantasan korupsi secara lebih kuat, sebenarnya ini juga menyiratkan keraguan Presiden atas kualitas kerja kejaksaan dan kepolisian dalam melihat kasus korupsi secara baik, mana yang pidana dan mana yang pelanggaran administrasi semata.
Masih pada wilayah penegakan hukum, kepolisian masih punya utang besar dalam penyelesaian kasus-kasus penting yang merupakan simbol pertanyaan mendasar komitmen Presiden dalam penegakan hukum, semisal kasus penyiraman Novel Baswedan. Juga masih adanya utang terhadap sekian banyak aktivis yang menjadi tersangka oleh karena tindakan yang mereka lakukan dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, tetapi sering kali dibalas dengan laporan-laporan kriminalisasi. Tidak hanya di level nasional, tetapi juga tersebar di level lokal, termasuk para aktivis lingkungan yang melakukan perlawanan terhadap pabrik, perusahaan, maupun kegiatan tambang. Kepolisian juga masih dapat sorotan di wilayah pungli dan beking-membeking aparat kepolisian untuk hal tertentu. Hal kurang lebih sama masih tertera di kejaksaan, terkhusus tingkat keseriusan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan pelanggaran HAM.
Prioritas hukum
Dalam hal memilih kebijakan hukum pun, walau diakui ada peningkatan upaya, belum menunjukkan efek signifikan. Penguatan hukum sering kali masih dipandang sebagai alat dan bukan tujuan dari tegaknya itu sendiri. Kerja-kerja hukum sudah ada tampak, tetapi masih terlihat dipilih berdasarkan hal yang memiliki efek cepat, dan terasa lebih populis. Pilihan perbaikan pelayanan SIM dan STNK, misalnya, tentu harus mendapatkan tepukan hangat meski belum berjalan sebagaimana diharapkan, serta belum menyentuh reformasi dasar di kepolisian soal pelayanan-pelayanan semacam ini. Termasuk memikirkan dengan detail, apakah pelayanan sejenis ini masih harus dipegang kepolisian, atau upaya lebih mengekstensifikasi melalui kelembagaan lain yang dipandang lebih mudah menguatkan profesionalitas pelayanan.
Salahkah dengan melakukan pilihan langkah populis? Tentu tidak, tetapi bukan berarti merupakan pengejawantahan dari harapan penegakan hukum dan penguatan agenda antikorupsi yang dibayangkan. Terbukti dengan Indeks Persepsi Korupsi yang tertahan di angka 37. Juga Indeks Negara Hukum yang, meski memperlihatkan kenaikan, tidak atau belum dalam level yang dibayangkan dan dicita-citakan. Saya teringat pada tulisan Saldi Isra, ”Hukum yang Terabaikan” (Kompas, 22/7/2016). Beberapa poin yang ia bangun masih sangat relevan untuk menjelaskan kerja-kerja hukum yang dilakukan Presiden Jokowi. Meski pada saat yang sama harus diakui jujur bahwa tidak lagi dalam posisi terabaikan, tetapi tetap masih dalam posisi lemah, dan tertatih.
Serangkaian pekerjaan rumah besar masih diharapkan dan ditunggu. Agenda lima tahun masih menyisakan setahun kerja. Pun jika deadline-nya adalah pemilu, maka masih berkisar 6-7 bulan. Tak singkat, tetapi bukan berarti tak bisa melakukan apa-apa dalam tenggang waktu itu. Tindakan cepat dan kuat masih perlu agar tak tertatih, dan kemudian bisa berjalan normal, bahkan jika perlu berlari.
Zainal Arifin Mochtar Pengajar Fakultas Hukum dan Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT) FH UGM