Momentum pemidanaan korporasi kembali muncul dalam kasus suap Neneng Hasanah, Bupati Bekasi. Personalia perusahaan properti terkenal diduga menyuap bupati dan aparatnya untuk mendapatkan berbagai izin bagi pembangunan dan beroperasinya sebuah kawasan pemukiman. Apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memanfaatkan momentum ini untuk memidanakan korporasi yang terlibat kejahatan korupsi?
Pertanyaan ini perlu diajukan karena sebelumnya KPK beberapa kali ”membiarkan” momentum seperti ini berlalu begitu saja. Dalam kasus korupsi e-KTP misalnya, dalam dakwaan ada disebut beberapa perusahaan dan partai politik diduga menerima dana aliran hasil korupsi e-KTP.
Demikian juga dalam kasus korupsi reklamasi Teluk Jakarta, KPK enggan mengungkap lebih jauh keterlibatan perusahaan pengembang properti dalam skandal tersebut. Tampaknya KPK juga tak akan memidanakan partai politik yang diduga terlibat dalam kasus korupsi PLTU-Riau ataupun kasus korupsi Gubernur Jambi Zumi Zola.
Stop pembiaran
Sampai kapan KPK akan terus begitu? KPK harus menghentikan pembiaran momentum pemidanaan korporasi. Mulai sekarang KPK harus progresif memidanakan korporasi yang diduga terlibat dalam korupsi atau kejahatan finansial lainnya.
Alasannya, pertama, kerangka kelembagaan untuk memidanakan kejahatan korporasi sudah memadai. Mahkamah Agung (MA) sudah menerbitkan Peraturan MA (Perma) No 13 Tahun 2016 tentang tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi. Dengan ini KPK tak bisa berdalih tak bisa memidanakan korporasi karena kerangka hukumnya tidak cukup.
Kedua, KPK bukan hanya harus menjaga, melainkan juga harus ”membayar” amanah, kepercayaan, dan dukungan yang selama ini diberikan publik. Amanah, kepercayaan, dan dukungan publik yang kuat itulah yang selama ini telah menyelamatkan eksistensi KPK dari berbagai upaya pelemahan berbagai pihak, terutama pihak penegak hukum dan politisi, seperti tecermin dari rangkaian konflik ”cecak versus buaya”. Bayarlah ”utang budi” kepada publik dengan memidanakan korporasi—partai politik/ perusahaan—yang diduga terlibat dalam korupsi/kejahatan finansial lainnya.
Ketiga, secara internal KPK sendiri, saat ini, perlu membangun legenda yang akan jadi memori kolektif bangsa ini sepanjang zaman. Pemidanaan korporasi—dan bukannya intensifikasi operasi tangkap tangan/OTT— yang akan menjadi legenda kinerja dan capaian pimpinan KPK saat ini. Selain akan melegenda, langkah ini juga akan memperkaya dan memperdalam pengetahuan dan pengalaman KPK dalam memerangi korupsi. KPK akan naik level/maqom dalam memerangi korupsi kalau mau memidanakan korporasi. Ini akan memperkuat KPK sebagai pusat pembelajaran antikorupsi bagi KPK negara lain.
Keempat, langkah pemidanaan korporasi potensial menimbulkan efek jera yang lebih dalam dan substansial, baik bagi institusi bisnis maupun politik. Selama ini terus berulangnya kejahatan korupsi dengan modus sama menunjukkan bahwa efek jera pemidanaan personal/individu koruptor itu sangat minimal.
Kelima, lanskap sosial politik kita saat ini yang lebih demokratis, terbuka, dan kompetitif memungkinkan KPK memidanakan korporasi. Dalam lanskap seperti ini, sikap dan perbuatan yang menghalang-halangi kerja KPK dalam memidanakan korporasi akan menjadi beban/liabilitas. Sebaliknya sikap dan perbuatan yang suportif akan menjadi aset penting dalam kontestasi sosial, politik, dan kultural.
Langkah KPK memidanakan korporasi bukan hanya akan memberikan kontribusi penting pada pengendalian korupsi, melainkan juga akan menciptakan keadilan ekonomi dan hukum serta penguatan dan pendalaman demokrasi.