KADO
Saya suka sekali menerima kado atau hadiah. Baik untuk hari ulang tahun, merayakan hari raya, maupun hari di mana saya lulus ujian, misalnya. Buat saya, kado itu bukan sebuah penghargaan, melainkan sekadar memberi rasa senang menerima sebuah pemberian.
Tekanan
Apalagi kadonya macam-macam. Dari kaus kaki sampai ada yang pernah memberikan microwave dan voucer belanja sehingga pengeluaran saya satu minggu terpenuhi tanpa harus mengeluarkan uang pribadi.
Dengan berjalannya waktu, saya tumbuh dari anak-anak menjadi lebih tua dan belum dewasa. Pemberian kado atau hadiah di beberapa hari-hari istimewa seperti yang saya sebutkan di atas kemudian menjadi sebuah beban. Yang awalnya menjadi sebuah kebahagiaan, sekarang menjadi semacam tekanan hidup.
Entah mengapa, di masa tua dengan banyak memiliki teman yang sukses, saya memberi tekanan kepada diri saya bahwa kado yang saya harapkan datang dari teman-teman saya yang koaya roaya itu bukan lagi sekadar hadiah untuk senang-senang, melainkan kalau bisa memberi gengsi. Jadi, kalau dulu tak berharap, kini saya berharap banyak.
Tekanan itu lalu menjadi-jadi ketika giliran saya yang harus memberi kado atau hadiah kepada mereka yang koaya roaya itu. Tekanannya karena saya ini kekayaannya di bawah rata-rata. Maka, kadang bergaul dan punya jejaring sosial itu juga bukan hal yang sekadar ketawa-ketiwi, melainkan memberi tekanan karena kondisi sosial yang berbeda.
Nah, pada saat saya tertekan karena giliran harus memberi hadiah, maka tebersitlah pemikiran seperti ini. Biasalah kalau pemikiran acapkali timbul pada saat terancam. Saya berpikir, apa sih sebetulnya tujuan utama dari pemberian hadiah atau kado itu buat yang memberi dan buat yang menerima?
Apakah benar tujuannya murni untuk memberi penghargaan atau memberi rasa senang bagi si penerima? Atau ada agenda udang di balik batu di dalam pemberian itu? Atau si pemberi ingin dianggap sangat perhatian dan ingin dianggap orang kaya raya karena hadiah yang diberikan luar biasa mahalnya? Atau buat si penerima, hadiah itu adalah benar-benar sebuah penghargaan karena dapat memenuhi kebutuhannya?
Imbalan
Atau sekadar memberi rasa gengsi karena hadiah itu diberikan oleh orang kaya raya dan atau terkenal sehingga ia bisa mengunggah kado itu dengan keterangan foto yang mampu membuat orang yang melihatnya berdecak dengan rasa iri hati yang sangat. Dan unggahan itu mampu memberi rasa bangga karena si penerima menyejajarkan keberadaannya dengan si pemberi hadiah. Apakah begitu?
Selain itu, apakah ada persyaratan dalam pemberian kado terutama soal benda yang akan diberikan? Apakah nilai dari apa pun yang akan diberikan itu harus ditentukan? Kalau itu harus ditentukan, siapa yang berhak menentukan bahwa mentraktir makan di rumah makan cepat saji itu sebaiknya untuk pertemanan yang anggotanya dari kelas menengah ke bawah dan yang moahal boanget untuk pertemanan golongan bintang lima?
Indikator apa yang dipakai untuk menentukan nilai sebuah kado atau hadiah itu? Apakah kekayaan seseorang, keterkenalannya, atau sekadar melihat kebutuhan orang tersebut? Saya tak pernah menjadi orang kaya, apalagi kaya pakai raya. Jadi, saya tak tahu apakah kalau hari istimewa itu datang hadiahnya harus istimewa?
Kalaupun itu istimewa, apa yang dimaksud dengan istimewa? Apakah harga hadiahnya selangit, apakah harus makan di rumah makan termahal meski belum tentu enak dengan mengundang sejuta umat dan kemudian mengunggahnya di media sosial, atau mendapat mobil mewah yang dibuat khusus?
Kalau itu istimewa, istimewa dari sisi siapa? Pemberi hadiah atau dari sisi yang menerima? Misalnya, kalau si pemberi memberikan sebuah mobil mewah, apakah yang merasa istimewa itu pemberinya atau penerimanya?
Bagaimana kalau yang menerima merasa bahwa istimewa itu wujudnya hanya makan enak bersama di pinggir jalan saja? Bagaimana kalau yang disebut istimewa itu hanya dalam wujud doa bersama dan bukan ditraktir makan bersama?
Mumpung ditraktir makan bersama, maka sepertinya istimewa itu adalah waktu yang tepat untuk memoroti yang sedang punya hajatan? Bagaimana kalau si pemberi hadiah sudah mengeluarkan dana untuk kado yang mahal yang diberikan kepada saya dan di atas itu saya
masih ditraktir makan di rumah makan untuk kalangan bintang lima, sementara saat mereka ulang tahun, misalnya, saya hanya memberi hadiah berbentuk doa dan tidak mentraktir mereka makan?
Kalaupun saya mentraktir, itu pun hanya di rumah makan biasa tetapi istimewa buat saya. Jadi, pada dasarnya, siapakah yang harusnya merasa istimewa di hari itu? Saya yang berulang tahun atau mereka yang saya undang ke rumah makan sederhana itu?
Kalau seandainya saya yang seyogianya merasa istimewa dan mereka yang saya undang merasa tersinggung diundang ke rumah makan sederhana itu, apakah penghakiman akan segera dilaksanakan dengan mengatakan bahwa saya kikir, saya adalah orang tak tahu diri, mau enaknya sendiri?
Apakah pemberian hadiah atau kado itu pada akhirnya adalah sebuah pengharapan si pemberi akan imbalan yang setimpal suatu saat kelak?
Sungguh saya kangen kembali ke masa kecil dahulu. Menerima hadiah dan memberi hadiah karena sebuah pertimbangan sederhana. Sukacita tanpa beban dan tanpa penghakiman.