”Homo Politicus”
Suatu ketika, pada tahun 1963, di Beograd, Nikita Sergeyevich Khrushchev, pemimpin Uni Soviet pada masa itu, mengatakan, ”Semua politisi sama saja. Mereka menjanjikan untuk membangun jembatan meskipun di tempat itu tidak ada sungai.”
Apa maksud Khrushchev (1894-1971) mengatakan hal itu? Apakah ia ingin mengatakan bahwa politisi itu biasa ”asal ngomong”, ”asal memberikan janji”, meskipun yang dijanjikan itu tidak masuk akal?
Barangkali itulah maka sering dikatakan, ”ah, itu hanya janji politik”, janji yang disampaikan oleh politisi. Karena itu, Emma Goldman (1869-1940), kelahiran Kovno atau Kaunas di Lituania, yang di Amerika Serikat dikenal sebagai seorang anarkis, mengatakan, ”Sebelum pemilu, politisi menjanjikan surga kepada Anda, tetapi setelah pemilu mereka memberikan kepada Anda neraka.”
Margaret Thatcher (1925-2013), mantan Perdana Menteri Inggris, memberikan rumusan lain meski maknanya sama, ”Segala sesuatu yang dijanjikan seorang politisi pada saat pemilu harus dibayar entah dengan pajak yang lebih tinggi atau dengan berutang.”
Benarlah kalau begitu yang dikatakan komedian AS, Dov Davidoff. ”Semua politisi menjanjikan apa yang tidak bisa mereka wujudkan. Saya hanya berharap mereka melakukannya dengan kurang gembira,” ujar Davidoff.
Mungkin itulah sebabnya Charles André Joseph Marie de Gaulle atau Charles de Gaulle (1890-1970), Presiden Perancis (1959-1969) yang hidup sezaman dengan Kruschchev, mengatakan, ”Saya sampai pada kesimpulan bahwa politik terlalu serius untuk diserahkan kepada politisi.”
Politik terlalu serius untuk diserahkan kepada politisi.
Eduardo Paes (Eduardo da Costa Paes), politisi Brasil, yang pernah menjadi Wali Kota Rio de Janeiro, pun mengatakan, ”Tidak ada yang tidak mungkin di dunia politik.” Dengan kata lain, ”semua bisa diatur”.
Mengapa demikian? Menurut Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang orator, ahli hukum, politisi, dan filosof zaman Romawi, politisi adalah makhluk yang ulet. Keuletan, ditambah kecerdikan dan kelicikan serta kemampuan berkelok-kelok, bermanuver, itu yang akan memberikan hasil dalam dunia politik.
Itulah sebabnya ”Jadilah cerdik seperti seperti ular dalam berpolitik,” kata Immanuel Kant (1724-1804), filosof asal Jerman. Namun, Kant masih menambahkan, ”…dan tulus seperti merpati.”
Jadi lengkapnya, ”Jadilah cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Mengapa merpati? Sebab, merpati adalah binatang yang setia. Itulah berarti, ibarat kata merpati menjadi unsur moral yang akan membatasi kecerdikan dan kelicikan ular.
Namun, dalam praktiknya, yang lebih mendapat penekanan adalah sifat-sifat ular—yang cerdik dan licik—sementara sifat merpati ”yang tidak pernah ingkar janji; yang tulus” itu disingkirkan.
Benarlah kiranya yang dahulu kala pernah dikatakan oleh Niccolo di Bernardo Machiavelli (1469-1527), seorang politik (penguasa) harus mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang. Machiavelli bahkan mengatakan, politisi (penguasa) harus menjadi rubah agar mengenal perangkap-perangkap dan menjadi singa untuk menghalau serigala-serigala.
Barangkali itulah sebabnya mengapa jauh sebelumnya Titus Maccius Plautus (254-184 SM) mengatakan, Lupus est homo homini, non homo quom qualis sit non novit, yang terjemahan bebasnya adalah manusia serigala bagi sesamanya, ia bukan manusia apabila tidak paham hakikatnya.
Frase tersebut lalu dipopulerkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) dan menjadi homo homini lupus est, manusia serigala bagi sesamanya. Jauh tahun sebelumnya, Aristoteles (384-322 SM) mengatakan, manusia itu pada dasarnya adalah binatang politik.
Aristoteles mengatakan, manusia itu pada dasarnya adalah binatang politik.
Sangat boleh jadi karena ”binatang politik” itulah manusia ditempeli sifat rakus (ini yang menjadi sumber terjadinya korupsi), juga dilekati nafsu untuk mengalahkan yang lain, mengikuti hukum siapa kuat akan menang, survival of the fittest.
Manusia juga memiliki sifat destruktif terhadap manusia lain: menghancurkan, merampas, menganiaya, menikam, menusuk, membakar, memecah belah, menyiksa, mencemarkan, merobek-robek, mencabik-cabik, memukuli, menggebuki, menghujat, menghina, dan masih banyak lain yang intinya bertujuan untuk menghancurkan pihak lain.
”Homo sapiens”
Padahal, manusia adalah homo sapiens, manusia bijaksana, manusia pintar. Dengan demikian, diandaikan bahwa manusia bijaksana (dan sekarang manusia moderen), di mana pun berada dan memegang jabatan apa pun, tetap bertanggung jawab moral atas perbuatannya terhadap manusia lain.
Manusia idealnya, bukan seperti yang dikatakan oleh Edmund Burke (1730-1797), seorang pemikir politik klasik, bahwa manusia selalu ingin mengambil bagian dalam kekuasaan, tetapi tidak ingin mengambil bagian dalam tanggung jawab terhadap penggunaan kekuasaan itu.
Mengapa bertanggung jawab moral? Sebab, urusan politik itu sejatinya adalah urusan moral.
Menurut Paus Yohanes Paulus II (2001), para politisi tidak dapat dipisahkan dari moralitas. Dengan kata lain, berpolitik itu harus bermartabat. Sebab, kalau berpolitik tanpa martabat, akan menjadi benih terjadinya pembusukan politik.
Apabila para politisi tidak bermartabat, politik seperti berada di hutan rimba, sehingga seperti ditulis di atas, yang akan berlaku adalah hukum rimba, survival of the fittest.
Tidak aneh kalau hilangnya moral dalam berpolitik itu menyebabkan manusia bijak (homo sapiens) itu ”dibutakan oleh kemuliaannya dan disihir oleh puisinya, banyak yang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat” (Sinclair 1951: 166). Mempunyai mata, tetapi tidak melihat; mempunyai telinga, tetapi tidak mendengar; mempunyai otak, tetapi tidak bisa berpikir; mempunyai hati, tetapi tidak bisa merasakan.
Padahal sebagai manusia bijak, manusia modern bertanggung jawab atas nasib pihak lain, orang lain. Yakni, orang-orang bukan sekeluarga, sesuku, sedaerah, seagama, separtai, atau dari ras yang sama.
Jadi, memiliki kepedulian moral terhadap pihak lain, manusia lain, karena ia bukan sekadar ”binatang politik” tetapi homo politicus, manusia politik yakni manusia yang sadar dan aktif yang dapat merasionalisasi secara mandiri dan bertindak secara konstruktif. Itu semua demi kebaikan sosial yang lebih luas, demi istilahnya bonum commune, kemaslahatan bersama, kesejahteraan bersama.
Namun, yang kini lebih menonjol adalah ciri khas binatang politik, political animal, bukannya homo politicus. Yakni, menggunakan arena penyelenggaraan negara untuk kepentingan diri sendiri, dengan prinsip menghalalkan segala cara, sekotor apa pun.
Biasanya, mereka itu munafik, pandai mencitrakan diri sebagai orang hebat, memiliki keterampilan berorasi dan sok akrab dengan bagian terbesar dari rakyatnya yang masih sangat miskin.
Sok akrab dengan bagian terbesar dari rakyatnya yang masih sangat miskin.
Di era digital ini, ketika hampir setiap orang punya telepon pintar, media sosial (medsos) sudah menjadi sarana sangat ampuh bagi mereka yang mampu memanfaatkannya.
Mereka itu bagaikan ular (yang cerdik dan licik) yang dulu kala mampu memperdaya Siti Hawa, di Taman Firdaus. Karena itu, bagi rakyat yang boleh dikatakan pendidikannya kurang cukup, sosok political animal seperti ini sangat impresif; tetapi yang berpendidikan cukup pun bisa terbuai.
Rakyat yakin betul mereka memang akan menyejahterakan dirinya secara berkeadilan. Namun, alih-alih mencerahkan langit negeri ini, menyejahterakan rakyat, ternyata mereka memanfaatkan tindakan dan ucapannya bagai memancing di air keruh. Mereka yang secara protokoler dibahasakan ”Yang Mulia” atau ”Yang Terhormat,” ternyata bersikap tidak sesuai dengan pembahasaan itu. ***
* Penulis adalah wartawan yang meminati masalah-masalah sosial dan politik.