Teologi Politik Damai
Pada 7 November 2018, bertempat di Gereja Immanuel Gambir, Jakarta Pusat, saya diundang sebagai salah seorang narasumber dalam rangka ulang tahun ke-70 Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB).
Tema yang diangkat cukup aktual dan menarik mempercakapkan ihwal keniscayaan memunculkan spirit perdamaian setiap agama dalam rangka membangun keindonesiaan yang berkeadaban, terutama dalam menghadapi tahun politik yang gaduh dan saling menyerang.
Tentu saja Islam sebagai agama yang saya genggam, dan agama apa pun, khitah kelahirannya mengingatkan tentang pentingnya umat manusia menjadikan roh kedamaian sebagai sumbu dalam beragama.
Damai kasih (rahmatan lil alamin) adalah modus utama dilahirkannya rasul-rasul Tuhan. Bahwa lian sejatinya adalah wajah kita yang tengah bersama-sama melakoni penghayatan keagamaan menuju muara suci perjumpaan dengan wajah kudus Ilahi.
Takdir keragaman, tidak cukup dijadikan alasan untuk saling menista, tetapi sebagai penyebab metafisis dalam rangka menciptakan kohesivitas, solidaritas, dan persekutuan otentik dan ikhlas.
Persekutuan tidak saja sekadar atas nama kemanusiaan, tetapi lebih luhur lagi karena panggilan agung Tuhan. Tuhan menjadi dasar suci dilakukannya pertemuan-pertemuan dengan mereka yang berbeda.
Tuhan menjadi saluran efipani yang menggerakkan kita untuk keluar dari watak eksklusif menuju inklusif, dari kotak partisan menjadi umat yang lapang, dari keberagamaan tertutup jadi terbuka. Dari kerumunan aku dan kami jadi perhimpunan ”kita”.
Agama, sebagaimana asal katanya dari Sanskerta, bermakna ’tidak kacau’. Agama harus berdiri di saf terdepan yang menghalau setiap kemungkinan upaya pemahaman umatnya yang hendak menjadikannya sekadar ”atas nama”. Menjadi contradictio in terminis kalau agama jadi pemantik mencuatnya kekerasan dan angkara.
Contradictio in terminis ini kalau terus terjadi dan berulang-ulang, jangan salahkan kalau pada titik tertentu orang akhirnya merasa apatis dengan agama bahkan tidak percaya lagi kepada Tuhan. Apatisme itu bisa mengambil bentuk menihilkan Tuhan (Nietzsche), menganggapnya sebagai candu (Karl Marx), bagian dari lorong gelap cerita masa silam yang tak layak dia panggil kembali untuk hadir mengurus manusia (Jean Paul Sartre) atau menyebutnya sebagai fenomena waham/delusi seperti disampaikan seorang ahli biologi evolusi Richards Dawkins dalam God Delusion.
Apatisme itu sebagai otokritik karena agama dipandang selalu tampil dalam balutan metafisika paradoksal. Mengajarkan damai tapi karib dengan kekerasan, memfatwakan sikap ramah tapi fakta yang berkembang kebanyakan menjadi pribadi pemarah, menyerukan politik adiluhung tapi ketika diberi kesempatan berkuasa malah menghalalkan segala cara, mengumumkan pengibaran bendera tauhid tapi ketika terciduk malah menampik segenap ujaran yang telah diutarakannya.
Islam itu sendiri artinya tidak saja berarti pasrah sebagai jantung religiositas, tapi juga etik imperatifnya menginjeksikan kesadaran agar para pemeluknya mampu memberikan keselamatan kepada semesta.
Sebagaimana iman secara harfiah berarti percaya, tetapi kewajiban susulannya adalah bagaimana kepercayaan itu menjadi tenda tempat semua orang merasa aman berada di bawahnya. Sekaligus iman merasukkan keinsafan untuk bersikap amanah dalam seluruh hal kehidupan.
Iman dan damai menjadi satu helaan napas. Teologi secara transenden berurusan dengan Tuhan, tetapi Tuhan secara imanen menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh manusia dalam mencintai kedamaian, Tuhan yang tidak terjangkau sekaligus terjangkau. Tuhan yang akhir sekaligus awal. Tuhan yang jauh, tapi tetap bisa disapa.
Kalau kita periksa jejak-jejak ayat-Nya, Tuhan ternyata lebih banyak menampilkan citra dirinya dalam cerita serba kasih (feminitas/jamaliah), dibandingkan mempromosikan diri-Nya sebagai Zat yang bengis (maskulinitas/jalaliah). Tuhan yang penuh cinta. Ketika pemuka sufi Ibn Arabi ditanya ihwal agama yang dianutnya, ia menjawab, ”Cinta adalah agamaku; kemana pun binatang penunggangnya menuju, di sanalah agama ditambatkan.” Al-Fadhil ibn Yasar bertanya kepada Imam Ja’far ash-Shadiq as tentang dari mana iman itu bermula? Beliau menjawab, ”Keimanan itu tak lain adalah cinta.” Dalam redaksi Imam Baqir as, ”Agama adalah cinta dan cinta ialah agama.”
Tuhan pernah berfirman kepada Musa, ”Apakah kamu berbuat suatu amalan untuk-Ku?” Musa menjawab, ”Saya shalat, puasa, sedekah, dan zikir semata untuk-Mu.” Tuhan menjawab, ”Shalat adalah dalil bagimu, puasa adalah tamengmu, sedekah adalah naunganmu, dan zikir adalah cahaya bagimu, maka apa yang kamu lakukan untuk-Ku?” Musa bertanya, ”Tunjukkan kepadaku amalan untuk-Mu?” Allah menjawab, ”Apakah kamu mencintai seseorang karena-Ku?” Maka Musa pun paham bahwa sebaik-baik tindakan adalah cinta.
Ketuhanan berkebudayaan
Maka, menjadi menarik tempo hari dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tawaran sila dari Bung Karno, ”Ketuhanan yang Berkebudayaan”.
Sebagai tokoh yang sudah makan asam dan garam kehidupan, pribadi yang telah khatam ratusan literasi dari Barat dan Timur, Bung Karno paham bahwa ”Ketuhanan” hanya akan bisa bertuah manakala dilibatkan dalam daging kebudayaan, sebagaimana kebudayaan akan menemukan pijar terang budinya kalau dihunjamkan pada daulat ke dalam spirit ketuhanan.
Ketuhanan dan kebudayaan tidak boleh dipisahkan, tetapi tidak perlu dicampurkan serampangan. Ketuhanan berurusan dengan mistik, sementara kebudayaan menyelesaikan hal teknik.
Tak ubahnya agama dan negara, keduanya tidak perlu disatu-badankan, tetapi juga tidak otomatis harus dipisahkan. Atau dalam istilah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), agama itu inspirasi, bukan aspirasi.
Lewat Ketuhanan yang Berkebudayaan, Soekarno ingin menegaskan bahwa dalam kehidupan beragama yang semestinya dikedepankan itu api agama, bukan abunya. Apinya yang akan menguatkan spirit nasionalisme sebagai ”perkakas Tuhan”, ”…. nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat cinta pada lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup … nasionalisme yang membuat kita menjadi ’perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ’hidup dalam roh’ .…”
Beragama seperti ini dalam konteks bernegara akan menciptakan tertib dan adab sosial dan akhirnya orang dengan agama yang dianut masing-masing merasa diayomi negara dan semuanya riang.
”… Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada ’egoisme agama’.”
Seruan yang disampaikan GPIB di ujung acara dengan membacakan kebulatan tekad untuk menggemakan kedamaian dan mengokohkan nilai-nilai kebangsaan bukan hanya relevan untuk jemaatnya\', melainkan juga bagi setiap umat beragama.
Tahun politik yang membelah masyarakat Indonesia dalam dua kekuatan saling berhadapan tidak perlu kian dikeruhkan dengan pelintiran agama dalam narasi tafsir kebencian.
Justru sebaliknya agama harus mengeluarkan daya imajinatifnya dengan menyampaikan seruan perenial kedamaian dan dialog profetis batin yang mencerahkan.
Bukan malah dibawa ke gelanggang politik dan dijadikan alat memobilisasi massa. Politik SARA tidak saja berbahaya, tetapi juga dapat menyeret anak bangsa pada kekisruhan dan melemparkan kita pada limbo peradaban batu.
Asep Salahudin Wakil Rektor IAILM Suryalaya, Tasikmalaya; Staf Ahli BPIP