Semiotika Uang
Dalam bulan-bulan terakhir ini, kita kembali disibukkan oleh perbincangan tentang rupiah.
Itu karena posisi mata uang ini sedang berada pada titik nadir, remuk redam digilas dollar AS yang terus mengganas. Argumen populer ketika menjelaskan penyebabnya adalah faktor eksternal.
Dalam perspektif kebudayaan, nilai tukar rupiah melemah bisa dilihat sebagai representasi ”tubuh bangsa” yang juga sedang sangat lemah. Uang bukankah telah jadi hal pokok dalam kehidupan keseharian. Uang bahkan telah jadi ”tubuh” kita sendiri. Ini karena dasar dan orientasi pembangunan kita selalu melulu ekonomi.
Apa yang dimaksud dengan tubuh tidak lain adalah rangka- bangun kebudayaan. Sebagaimana dikatakan Barker (2003), kebudayaan kini dipahami sebagai hal biasa-biasa, sebuah keadaan keseharian. Dan, uang berada dalam keseharian ini. Posisinya bahkan sangat dominan.
”Ada uang abang disayang, tidak ada uang abang ditendang”, demikian idiom sangat populer dari zaman ke zaman. Itu berarti yang eksis dalam tubuh masyarakat justru adalah uang, bukan tubuh.
Uang sebagai ekspresi
Beranalogi pada semiotika Hjelmslev (Taverniers, 2007), ketika uang jadi dominan sedemikian, uang adalah ekspresi yang merujuk pada konten di baliknya, yakni tubuh itu tadi. Relasi ekspresi dengan konten ini dapat diasosiasikan sebagai hubungan angka-angka pada alat ukur kecepatan kendaraan (speedometer) dengan kecepatan roda kendaraan tersebut berputar.
Jika jarum speedometer menunjuk ke angka 100, misalnya, berarti roda kendaraan berputar dalam kecepatan 100 km per jam.
Berdasarkan pemahaman itu, kekuatan dan kelemahan uang, sekali lagi, jadi representasi dari kekuatan dan kelemahan tubuh kita yang telanjur telah menjadikan uang sebagai basis pembangunan negara-bangsa (karakter). ”Kerja! Kerja! Dan Kerja!”, demikian slogan yang selalu digemborkan pemerintah.
Nyaris tak ada penjelasan terkait slogan ini yang berhubungan dengan ketahanan mental tanpa ekonomi, tanpa uang. Hal itu berarti bahwa kerja jadi ”penanda” semiosis maju-mundurnya pertumbuhan ekonomi. Kerja adalah konten, sedangkan angka pertumbuhan ekonomi adalah ekspresi.
Kita menyambut antusias pembangunan infrastruktur. Kita berterima kasih kepada pemerintah. Rasa terima kasih kita sesungguhnya merupakan interpretasi atas ekspresi pencapaian dalam bentuk angka- angka. Dalam hal ini, paling tidak, angka- angka yang dimaksud adalah kalkulasi panjang ruas jalan raya. Kita meyakini segala hal bisa disebut maju jika jumlah angka-angka itu kian bertambah.
”Jangan berpikir bahwa pembangunan infrastruktur tidak berhubungan dengan revolusi mental”. Statemen ini acap kita dengar dari pemangku kebijakan. Argumen ini tidak salah. Alih-alih melenceng, pernyataan tersebut adalah sebuah perspektif bahwa mental (deep structure) dapat diubah atau berubah jika ”yang fisik” (surface structure) terlebih dahulu diubah.
Logikanya, infrastruktur dibangun untuk merevolusi mental; bukan sebaliknya: merevolusi mental agar berdampak pada pembangunan ”yang fisik”. Sekali lagi, angka-angka adalah ekspresi yang merujuk kepada mental sebagai kontennya.
Uang sebagai citra
Kembali pada nilai uang, mari kita relasikan nilai uang dengan obyek (barang dan jasa) yang dapat ditukar dengannya. Apakah nilai uang identik dengan nilai guna barang? Di sini, yang pertama harus dilihat adalah sikap kita terhadap barang. Pergeseran yang tampak nyata adalah penyikapan terhadap barang yang tidak hanya berhenti pada fungsi utilitasnya.
Melampaui itu, barang telah ter-/dibentuk sedemikian rupa sehingga ia diandaikan memiliki semacam ”kekuatan supranatural”. Barang-barang yang kita pakai telah menyubstitusi, bahkan menghilangkan diri kita sendiri sebagai ”subyek”. Eksistensi kita ditentukan oleh barang yang melekat pada tubuh kita.
Barang yang sejatinya jadi obyek sekonyong-konyong berubah jadi subyek, dan—sebaliknya—kita jadi obyek. Relasi sosial antar-kita menjadi identik dengan hubungan antar-barang. Ini yang disebut Marx (dalam Piliang, 2010) sebagai mistifikasi benda-benda.
Jika begitu soalnya, kini kita tak lagi membelanjakan uang untuk nilai guna barang, tetapi untuk nilai mistiknya atau—dalam perspektif semiotika—untuk nilai tandanya (citra). Hal ini berarti bahwa nilai uang berbanding lurus dengan nilai citra barang. Jadi, uang kini bukan lagi ”penanda” yang ”petanda”-nya nilai guna, melainkan nilai citra. Uang adalah citra itu sendiri.
Bergerak dari perspektif demikian, pembangunan berbasis pada ”yang fisik”, yang juga diwujudkan pada kemampuan nilai uang dengan keluaran berupa angka-angka pada speedometer ekonomi (neraca pembangunan ekonomi) sebagai ekspresinya, dapat dikatakan berbanding lurus dengan pembangunan berdasarkan citra.
Dari sisi lain, citra itu sendiri merupakan visualisasi representasi imajiner berbagai relasi dalam kehidupan sosial. Dalam situasi ini, citra dapat digelembungkan dari realitas yang bernilai minimal. Walhasil, pembangunan berdasarkan citra bisa sama dengan pembangunan dalam titik nol.
Ekspresi kematian citra
Terkait hal itu, mari mengingat apa yang dikatakan Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) tentang pembangunan jalan layang di Jakarta pada masa Orde Baru. Sebagaimana dikutip Abidin Kusno (2009), Mbak Tutut berujar bahwa yang dibangun bukan hanya jalan layang, melainkan juga kepercayaan diri dan antusiasme sektor kontraktor Indonesia.
Menurut Mbak Tutut, sektor ini telah ”mengangkat kita satu kelas ke atas”. Identifikasi ini, hemat saya, merupakan representasi pengetahuan seseorang yang imajinasinya dibangun oleh pengalaman belajar yang berorientasi pada ”yang fisik”. Ini persis sama dengan logika revolusi mental yang diselipkan dalam pembangunan infrastruktur sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Lantas, apa yang menjadi basis epistemologis pandangan tersebut? Jawabannya bisa ditemukan pada prinsip awal pembangunan yang dicanangkan Soeharto.
Repelita I Bidang Pendidikan mencatat, orientasi pendidikan diperuntukkan bagi pembangunan ekonomi. ”Pendidikan adalah investasi nasional jang bersifat suatu investasi ketrampilan manusia,” demikian antara lain keterangan pada ancangan pembangunan awal tersebut. Kala itu, urusan pendidikan disatukan dengan urusan tenaga kerja dengan nama Departemen Pendidikan dan Tenaga Kerja (Saidi, 2009).
Dari situ jelas: prinsip dasar pembangunan belum bergeser signifikan. Kritik dan gagasan Presiden Jokowi tentang orientasi pendidikan tinggi yang harus mengikuti perubahan zaman dapat juga disambungkan jejaknya ke situ. Kemampuan teknis dan hal-hal praktis masih jadi orientasi pendidikan. Filsafatnya, lagi dan lagi, ”yang mental” baru bisa dibangun jika ”yang fisik” telah mapan.
Acep Iwan Saidi Pembelajar Semiotika