Dibangun dengan landasan spirit kerja sama, APEC berakhir pada Minggu silam tanpa komunike. Perseteruan antara Washington dan Beijing menjadi penyebabnya.
Didirikan tahun 1989 dengan tujuan untuk mendorong perdagangan dan relasi ekonomi di wilayah sekitar Samudra Pasifik, APEC beroperasi pada tingkat menteri sampai tahun 1993, yakni saat Presiden AS Bill Clinton memulainya menjadi pertemuan tingkat pemimpin negara, atau konferensi tingkat tinggi.
Selama hampir 30 tahun usia APEC tersebut, komunike atau pernyataan bersama selalu menandai akhir dari kegiatan APEC. Seberapa pun besar perbedaan pendapat yang terjadi, keberhasilan menghasilkan komunike menandai bahwa spirit kerja sama serta dialog tak pernah terpinggirkan.
Namun, pada pertemuan APEC 2018 di Port Moresby, Papua Niugini, akhir pekan lalu, perhelatan tersebut untuk pertama kalinya ditutup tanpa komunike. Perbedaan pendapat antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, China dan AS, membuat APEC di Port Moresby gagal menelurkan pernyataan bersama.
Menteri Luar Negeri serta Penasihat Negara China Wang Yi, melalui situs kementerian luar negeri negara itu, Senin, menyatakan, ketidakmampuan menghasilkan komunike adalah sebuah kesengajaan. Menurut dia, hal itu terjadi karena ada sejumlah entitas ekonomi memaksakan teks (komunike) kepada pihak lain, memaafkan proteksionisme dan unilateralisme, serta tidak menerima revisi yang masuk akal dari China ataupun pihak lainnya. Pernyataan ini tidak menyebut AS. Namun, mengingat kondisi pertemuan APEC dan situasi dunia, sulit untuk tidak mengatakan pihak yang ”dimaksud” dalam pernyataan itu ialah Washington.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri China juga menyebut bahwa AS, yang delegasinya di KTT APEC dipimpin Wakil Presiden AS Mike Pence, datang ke forum itu dengan penuh kemarahan.
Pertemuan APEC akhir pekan lalu dikabarkan berlangsung dengan penuh emosi. Ada laporan bahwa pejabat China sampai menuntut pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Papua Niugini, selaku pemimpin negosiasi, dan memaksa masuk ke kantornya pada Sabtu lalu. Akibatnya, menurut dua pejabat senior Papua Niugini, seperti ditulis The Wall Street Journal, pejabat China itu sampai harus dikawal pergi oleh polisi. Meski demikian, Beijing membantah terjadinya insiden itu.
Kepada wartawan sebelum meninggalkan Papua Niugini, Wapres Pence mengaku telah berbicara kepada Presiden China Xi Jinping selama KTT APEC dan menegaskan bahwa Beijing perlu membuka pasar mereka. Isu keterbukaan pasar merupakan salah satu keluhan yang kerap disampaikan oleh Washington kepada Beijing.
Konflik AS dan China di bidang perdagangan dalam KTT APEC memunculkan pesimisme terhadap kemungkinan tercapainya kesepakatan untuk meredakan ketegangan Washington-Beijing. Kini, sejumlah pihak bertanya-tanya, akankah pertemuan Presiden Donald Trump dengan Presiden Xi Jinping di sela-sela G-20 beberapa watu mendatang mampu mengubah pesimisme itu menjadi optimisme.