Pers nasional sebagai bagian dari komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus bisa menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya.
Dasar peranan yang sebaik-baiknya itu adalah kemerdekaan pers yang profesional. Oleh karena itu, mereka yang bekerja di bidang media massa, khususnya wartawan, harus mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari mana pun.
Pada butir konsiderans ”menimbang” dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers itu menjadi perhatian utama. Kemerdekaan menjadi dasar bagi pers dalam menjalankan tugasnya, terutama bagi wartawan dalam mencari dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Namun, tugas dan peranan wartawan itu juga tidak boleh dijalankan secara sembarangan. Dengan bekerja secara profesional, wartawan akan memperoleh perlindungan hukum dari negara, serta terbebas dari campur tangan dan paksaan dari siapa pun.
Namun, dalam praktiknya tak mudah mewujudkan kebebasan pers di negeri ini, dan juga di sejumlah negara di dunia. Ancaman terhadap wartawan, baik secara hukum maupun fisik, masih saja terjadi. Kasus terakhir adalah pelaporan terhadap ZA, wartawan Serat.id, oleh Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman ke Polda Jawa Tengah. ZA sebelumnya melalui media melaporkan dugaan penjiplakan karya tulis oleh Fathur (Kompas, 19/11/2018). Sengketa antara ZA dan Fathur sebelumnya sudah bergulir di media massa pula.
Perkara terkait pemberitaan yang berujung ke pelaporan polisi tak hanya menimpa ZA. Ada sejumlah kasus pemberitaan lain di negeri ini yang juga berujung ke perkara kriminal, khususnya dugaan pencemaran nama baik. Padahal, UU Pers jelas menyebutkan, sengketa terkait pemberitaan semestinya diselesaikan melalui mekanisme pers, termasuk melalui pemberian hak jawab atau mediasi oleh Dewan Pers. Tak harus berujung pada tindakan kepolisian. Apalagi, Polri dan Dewan Pers menyepakati Nota Kesepahaman Nomor B/15/II/2017 dan Nomor 2/DP/MoU/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
Sesuai kesepakatan itu, jikalau ada dugaan penyalahgunaan profesi wartawan, atau sengketa pemberitaan, diselesaikanlah melalui mediasi Dewan Pers. Sebagai profesi, seperti profesi yang lainnya, wartawan memang juga terikat dengan kode etik, syarat kompetensi, serta aturan hukum lainnya. Sifat perlindungan bagi wartawan adalah timbal-balik. Artinya, meski ada kemerdekaan pers, wartawan tetap harus memperhatikan kemerdekaan orang lain pula.
Pengantar Kode Etik Jurnalistik, yang diputuskan Dewan Pers bersama organisasi wartawan lainnya tahun 2006, menegaskan, dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari ada kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma agama. Kalau ada sengketa pemberitaan di masyarakat, itu adalah ujian bagi profesionalisme pers. Semestinya, biar organisasi pers, terutama Dewan Pers, yang memutuskan, adakah pelanggaran atas profesionalisme itu.