GM Menusuk ”America First”
Dengan bangga saat berkampanye Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumbar jargon ”America First”. Salah satu tujuannya adalah lapangan pekerjaan harus kembali ke AS. Korporasi AS yang melakukan outsourcing ke luar negeri bahkan dia paksa harus kembali ke AS.
Bahkan, Trump sangat marah ketika Harley-Davidson mengumumkan relokasi pabrik dari Kansas, AS, ke Thailand. Untuk ”America First” ini, Trump pun menghantam banyak negara dengan tarif impor agar produk AS yang diproduksi di dalam negeri AS lebih bersaing.
Hanya Trump dan kubu serta pendukung fanatiknya yang percaya dengan ”America First” ini. Ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, Joseph E Stiglitz, mengatakan, Trump tak mengerti tentang perekonomian yang saling terkoneksi.
Sistem produksi punya tali temali. Industri bermoto swasembada seperti dulu getol diserukan pejabat Indonesia era Orde Baru tak mungkin lagi dilakukan secara kaku di era kini.
Hingga Presiden Center for Stategic and International Studies (CSIS) AS John Hamre dalam sebuah seminar pada 24 Januari 2017 berkata, ”Tak pernah saya mendengar istilah ’America First’.”
Jika tujuannya adalah penguatan fondasi AS secara keamanan, ”America First” seharusnya tidak mengabaikan aliansi dan kolaborasi. Dengan kolaborasilah AS kuat dan kekuatan itu tak bisa dicapai sendirian.
Untuk konteks produksi, dunia memiliki jaringan produksi yang saling terkait bahkan kolaboratif. Produksi apa saja bisa dilakukan di mana saja dengan basis biaya produksi paling rendah.
Demikian pula penjualannya bisa dipasarkan di mana saja. Industri otomotif, misalnya, sarat dengan kolaborasi banyak negara, mulai dari proses riset, desain, produksi komponen-komponennya, hingga pemasaran.
Menambah runyam
Mencanangkan ”America First” di tengah penuaan generasi baby boomers yang dulu menjadi basis kuat perekonomian, ditambah dengan melarang masuknya imigran yang merupakan sumber buruh murah, mirip sebuah mimpi besar yang tanpa dasar. Moto ini mustahil tercapai. Ada nuansa utopia dalam ”America First” meski moto ini berhasil membuat Trump terpilih pada 2016.
Mendorong ”America First” di tengah perekonomian AS yang memudar, tumbuh karena mengandalkan utang dan pengurangan pajak, hanya akan membuat keuangan negara semakin terlilit utang.
Di samping itu, siapa pembeli produk buatan AS dengan segala situasi itu? Termasuk kondisi upah buruh mahal jika dibandingkan dengan upah buruh di Meksiko?
Menambah runyam persoalan adalah pengenaan tarif impor baja yang merupakan bahan baku utama banyak industri. Ada isu bahwa kualitas baja AS tidak sebagus baja impor. Harga baja buatan domestik AS juga tak semurah baja impor.
Penerapan tarif impor baja ini menjadi satu pukulan bagi industri otomotif AS, salah satu konsumen utama baja. ”Tarif baja memukul GM (General Motors),” kata Paul Ingrassia, editor di The Revs Institute for Automotive Research.
Maka, majalah The Economist menyebutkan ”America First” telah menaikkan biaya dan moto ini mencapai titik jenuh. Penasihat ekonomi Gary Cohn mundur sebagai tanda protes terhadap nasionalisme ekonomi Trump yang dia torehkan lewat semboyan ”America First”.
Penjualan menurun
Korporasi AS juga tidak bisa mendukung secara buta ”America First”. ”Kami sudah pernah berbicara dengan Tim Gedung Putih tentang kompleksnya permasalahan,” kata CEO GM Mary T Barra kepada CNBC.
Pada hari Senin (26/11/2018), Barra mengumumkan keputusan soal penyelamatan dan kesinambungan perusahaan jangka panjang. GM menghentikan produksi sejumlah mobilnya, seperti Chevrolet Volt, Cruze, dan Impala. Produksi beberapa jenis mobil kelas premiumnya, seperti Cadilac XTS, Cadilac CT6, dan Buick LaCrosse, dihentikan pada 2019 untuk pasar AS. Produksi GM di Kanada juga diakhiri pada akhir 2019.
Uniknya, GM akan melanjutkan produksi Cadilac CT6 di China.
Buntutnya adalah penutupan pabrik-pabrik GM di Negara Bagian Michigan, Ohio, dan Maryland yang berdampak pada langkah merumahkan 15 persen buruh atau sekitar 15.000 karyawan. Ini diperkirakan akan mengurangi biaya yang dikeluarkan GM hingga 6 miliar dollar AS.
Mike Ramsey, analis otomotif dan transportasi dari Gartner, menyatakan bisa memahami keputusan GM karena kemajuan teknologi yang mengubah rancangan mobil.
Ini sebenarnya bukan keputusan pertama bagi GM. Sebelumnya GM sudah mengakhiri produksi Opel di Jerman dan penghentian produksi merek Saturn dan Pontiac. Produksi Holden di Australia juga dihentikan tahun lalu.
Daya beli konsumen AS yang berkurang berdampak pada penurunan penjualan sejumlah model, seperti Cruze, Impala, CT6, XTS, dan LaCrosse. Industri otomotif AS secara keseluruhan memang sedang bergelut dengan penurunan penjualan. ”GM menghentikan produksi beberapa model mereka untuk menunjukkan bahwa mereka lebih disiplin,” kata analis dari Autotrader, Michelle Krebs.
Faktor lain
Bagi konsumen AS ada masalah lain yang memicu penurunan daya beli ini, yakni kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS. Pembelian mobil di AS pada umumnya tidak secara tunai, tetapi dikredit. Kenaikan suku bunga menaikkan dengan sendirinya nilai mobil.
Kecenderungan jenis mobil yang laku juga bergeser. Konsumen AS beramai-ramai meninggalkan model sedan dan lebih memilih SUV yang memang sedang booming di seluruh dunia.
Selain itu, potensi munculnya mobil-mobil masa depan berteknologi swakemudi dan digerakkan tenaga listrik menjadi satu visi produksi yang sedang dikejar GM.
Kinerja GM terlihat dari riwayat operasional bisnisnya. Korporasi tersebut bisa bertahan dari kebangkrutan pada 2009 karena diberi dana talangan oleh Pemerintah AS hingga 49,5 miliar dollar AS. Pada 2013, GM hanya mampu mengembalikan dana talangan ini sebesar 39 miliar dollar AS.
GM bukan lagi penjual mobil terbesar sekarang ini setelah mendominasi ranking satu sepanjang 1933-2007. Posisi terbesar pernah diraih lagi pada 2011 dengan mengalahkan Volkswagen dan Toyota tetapi menurun setelah itu.
GM bukan lagi korporasi seperti saat dipimpin Alfred Pritchard Sloan (1937-1956), yang namanya diabadikan menjadi Sloan School of Management di The Massachusetts Institute of Technology (MIT). Pada era itu, korporasi pesaing kuat GM sekarang, seperti Toyota dan Volkswagen, tidak eksis. GM kini juga tak lagi ada pada era dominasi AS di dunia secara perekonomian.
Persaingan, pergeseran kekuatan ekonomi, dan pendulum sejarah tidak berpihak pada banyak korporasi besar AS, yang satu per satu berguguran dan tinggal sejarah. Ada unsur penuaan dan pemudaran.
Restrukturisasi GM dianggap sebagai tindakan yang benar. Menurut mantan Wakil Pemimpin Umum GM Bob Lutz, perusahaan tidak melakukan restrukturisasi yang dibutuhkan itu selama sekian lama dan lebih berkomitmen secara politik mendukung lapangan kerja sehingga akhirnya terjerembab masalah pada 2009.
Tak beralasan
Inilah yang tak dimengerti para politisi AS, termasuk Presiden Trump, yang marah dan memaksa GM mengubah keputusan restrukturisasinya. ”GM dinilai melawan Trump dan mengabaikan pekerja AS,” kata Lou Dobbs dari televisi Fox Business.
Begitu marahnya Trump hingga dia meminta GM mengembalikan kekurangan dana talangan dari pemerintah sebesar 10,3 miliar dollar AS. Trump pun memarahi Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell yang dianggap sebagai biang keladi kenaikan suku bunga yang memicu turunnya daya beli.
Trump tidak mau mengerti bahwa Bank Sentral AS hanya sedang menjalankan kebijakan normalisasi kebijakan moneter, yang sekian tahun menabur uang ke pasar.
Powell tidak menjawab frontal tudingan Trump ini. Namun, Rabu (28/11/2018), ia mengatakan, normalisasi masih jauh dari selesai, suku bunga AS masih di bawah normal.
Mantan Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen, yang digantikan Powell, membela keputusan Bank Sentral AS soal kenaikan suku bunga. Adalah tugas bank sentral melakukan normalisasi sisi moneter.
Namun, Trump terus berang. Dia bahkan mengancam warga AS yang membeli mobil listrik. Trump berlagak seakan dia lebih paham soal ekonomi, moneter, perubahan produksi, dan banyak lagi hal lainnya.
Bagaimana GM menyikapi tekanan dari Trump? GM sebenarnya tidak sendirian. Pabrikan mobil lain, Ford, pun sedang mengalami hal serupa: restrukturisasi dan relokasi pabrik.
Mantan Pemimpin Umum GM Dan Akerson mengatakan, bukan politisi yang menjadi penentu kebijakan perusahaan, melainkan faktor ekonomi dan konsumen. Akerson menambahkan, kapasitas produksi GM yang terpakai sekarang hanya 70 persen. ”Sedang terjadi kelebihan pasokan dari industri otomotif,” kata Akerson.
Posisi merosot
Memaksa GM bertahan hanya membuat perusahaan keteteran di tengah perubahan. GM tidak lagi berada pada posisi 2011 saat kembali berhasil melampaui Toyota dan Volkswagen sebagai penjual mobil terbesar sebanyak 9,03 juta unit. Di tahun itu Volkswagen menjual 8,16 juta unit mobil dan pada 2010 Toyota menjual 7,9 juta unit.
Pada 2017, GM ada di urutan ketiga setelah Volkswagen dan Toyota sebagai perusahaan otomotif dengan penjuaan mobil terbesar di dunia. Dari segi kekuatan pasar, China ada di urutan nomor satu soal penjualan mobil.
Dalam sembilan tahun terakhir China menguasai pasar penjualan mobil dengan jumlah 28,88 juta unit (data penjualan 2017). Pada tahun yang sama, pasar AS menyerap 17,24 juta mobil dan yang paling laku adalah Ford F-Series.
”Di pasar China kami berada di urutan nomor dua dari segi total penjualan mobil,” kata Barra. Maka aneh ketika Trump marah dengan mengatakan bahwa GM menutup pabrik di AS tetapi tidak menutup pabrik di China. Pabrik di China justru diperlukan untuk menjaga kehidupan perusahaan di pasar andalannya itu. (AFP/AP/REUTERS)