Dewan Pers, yang menjadi penjaga kemerdekaan pers di Indonesia, pertama kali dibentuk pada 1968. Tahun depan, saat pemilu, Dewan Pers mempunyai pengurus baru.
Pembentukan Dewan Pers awalnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, yang diubah dengan UU Nomor 21 Tahun 1982. Tugas pokok Dewan Pers kala itu adalah menjadi penasihat pemerintah dalam berurusan dengan pers cetak, radio, dan televisi. Ketua Dewan Pers pun selalu dijabat oleh Menteri Penerangan.
Gerakan Reformasi 1998 mengubah wajah pers nasional. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi dasar pembentukan Dewan Pers yang mandiri. Dalam UU Pers disebutkan, ”Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”. Tidak ada lagi unsur pemerintah dalam kepengurusan Dewan Pers. Anggotanya terdiri atas sembilan orang, dari unsur masyarakat, wartawan, dan pimpinan perusahaan pers.
Anggota Dewan Pers yang baru, periode 2019-2022, bertugas mulai April 2019 saat bangsa ini menggelar pesta demokrasi. Ada tugas berat menjemput sembilan penjaga kemerdekaan pers itu, yang tiga orang di antaranya pernah atau masih duduk di Dewan Pers, yakni menjaga independensi media massa dalam pemilu.
Mengacu pada ”Sepuluh Elemen Jurnalisme” dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), empat elemen pertama kerja pers adalah mengacu pada kebenaran, bertanggung jawab kepada publik, disiplin pada verifikasi, serta menjaga jarak yang sama pada narasumbernya (independensi). Realitasnya, di negeri ini tak sedikit media massa dimiliki pemimpin parpol atau berafiliasi dengan parpol atau figur politik tertentu. Bagaimana publik bisa berharap media independen serta bebas dari intervensi dan kepentingan politik jika dalam kendali kepentingan politik?
Sesuai tugasnya, Dewan Pers harus mampu mengingatkan agar pemilik media, yang berafiliasi dengan kelompok politik tertentu, tetap membiarkan medianya independen. Persoalan terjadi jika sebagian anggota Dewan Pers berasal dari media massa yang terafiliasi politik itu. Kemandirian Dewan Pers juga acap kali dipertanyakan. Dewan Pers yang baru, di tahun politik, pertama kali yang harus dilakukan adalah meyakinkan masyarakat bahwa mereka benar-benar bebas dari kepentingan politik praktis.
Selain independensi, pers di negeri ini juga masih bermasalah dengan kehidupannya. UU Pers menegaskan, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia dan memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk saham, pembagian laba bersih, atau bentuk lain. Di era digital, orang gampang membuat media, terutama media daring.
Dewan Pers mencatat, hingga Februari lalu, ada lebih dari 43.000 media digital di negeri ini, sebagian besar belum terverifikasi dan badan hukumnya tidak jelas. Kesejahteraan karyawannya bermasalah sebab hidup sebagian media itu pun megap-megap. Jika begini, tidak hanya pekerja media yang dirugikan, tetapi juga masyarakat. Mereka bisa berjualan berita bohong untuk sekadar hidup. Pers cermin masyarakat. Itulah sebagian tantangan untuk Dewan Pers yang baru.