Siapa Untung, Siapa Buntung
Modal politik yang dibangun Presiden Joko Widodo untuk benar-benar bisa menggaet umat Islam tampaknya belum cukup. Padahal sejak berkuasa tahun 2014, Jokowi menambah akselerasi mendekati kalangan umat Islam.
Hampir setiap minggu ia mengunjungi pondok pesantren. Jokowi juga memikirkan ekonomi umat Islam, antara lain dengan dukungan pendirian 40 bank wakaf mikro di basis-masis massa Muslim serta mendorong kerjasama sejumlah perusahaan besar dengan organisasi Islam untuk meningkatkan ekonomi umat.
Di era kepemimpinannya, ditetapkan pula “Hari Santri”. Pada 15 Oktober 2015, Presiden Jokowi meneken Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Bahkan, Jokowi pun memilih seorang ulama KH Ma’ruf Amin untuk menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2019.
Rupanya semua ikhtiar politik itu belum cukup kokoh menjadi modal politik bagi Jokowi yang akan bertarung kembali dalam Pilpres 2019 menghadapi Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Sandiaga Uno. Segala daya itu belum menghapus tudingan terhadap Jokowi yang dianggap “anti-Islam”. Sampai-sampai Jokowi pun bertanya-tanya keheranan, mengapa dirinya dituding sebagai anti-Islam.
Pertanyaan retoris itu dilontarkan Jokowi saat memberi pidato Pembukaan Pendidikan Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor Angkatan XII Tahun 2018 di Gedung Tegar Beriman, Cibinong, pada 8 Agustus 2018. Jokowi lalu menyampaikan berbagai ikhtiar yang dilakukan bukan hanya untuk menepis stigma tersebut, tetapi terlebih hendak membuktikan komitmennya terhadap umat Islam. Namun, itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Posisi Jokowi yang “belum aman” di kalangan umat Islam dapat dilihat dalam acara Reuni 212 pada tanggal 2 Desember 2018. Pertama, semula ada wacana Presiden Jokowi akan diundang dalam acara reuni tersebut tetapi ternyata batal.
Alasannya, antara lain Jokowi dianggap kurang menghargai gerakan 212, masih banyaknya kriminalisasi ulama, juga aturan protokoler yang dinilai dapat mengganggu kekhusyukan acara tersebut. Sebaliknya Prabowo Subianto diundang dan hadir dalam acara tersebut.
Padahal, justru Jokowi yang hadir pada acara aksi Bela Islam 212 tanggal 2 Desember 2016 di Monas, Jakarta, saat massa kembali menuntut penuntasan kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait dugaan penistaan agama. Artinya apabila acaranya reuni, maka Jokowi lebih layak dan berhak untuk hadir dalam acara Reuni 212.
Dari gerakan moral ke gerakan politik
Kedua, ajang Reuni 212 pada akhirnya menjadi panggung politik, yang tentu saja tidak menguntungkan Jokowi. Bukan saja dihadiri pada tokoh politik dan kader-kader partai politik yang berseberangan kubu dengan Jokowi, tetapi juga banyak agenda politik yang menunggangi acara tersebut, mulai seruan hingga dinyanyikannya lagu “ganti presiden”. Reuni 212 justru menjadi “ancaman” terhadap Jokowi.
Sejumlah tokoh politik yang hadir membantah bahwa acara reuni sebagai kampanye atau propaganda politik, tetapi seruan dalam acara itu intensinya untuk kemenangan Prabowo. Bahkan pimpinan Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab, yang berbicara lewat rekaman suara dari Mekkah, Arab Saudi menyerukan, "Kami nyatakan tanpa keraguan di acara reuni mujahid 212 ini bahwa pada pilpres 2019 haram memilih capres dan caleg yang didukung partai-partai penista agama, partai anti-syariat, partai yang pura-pura mendukung Pancasila padahal anti-Pancasila, anti-UUD 1945, anti-perbedaan. Partai yang senantiasa memaksa mengikuti syahwat yang merasuki diri mereka semua”.
Dari sisi representasi politik, massa 212 lebih “menyerahkan” kepada Prabowo. Bila dikaitkan dengan teori representasi politik Hannah Pitkin (1967), barangkali dapat dilihat dalam empat tipologi yaitu representasi formalistik (penyerahan kewenangan), representasi simbolik (menjadi simbol yang merepresentasikan atau standing for yang direpresentasikan, ada kekuatan untuk membangkitkan perasaan atau sikap), representasi deskriptif (stand for publik dengan karakteristik serupa dalam hal ini “ideologi” yang sama), dan representasi substantif (bertindak sesuai kepentingan yang diwakili dengan cara yang responsif) (Kurebwa, 2015).
Meskipun dengan berbagai pendekatan terhadap umat Islam, termasuk dengan politik akomodatif dan aspiratif yang ditunjukkan Jokowi, semisal memilih KH Ma’ruf Amin yang Ketua Umum MUI dan sekaligus Rais Aam NU sebagai calon wapres, Jokowi tidak dianggap sebagai representasi dari massa (umat Islam) 212.
Ibarat timbangan, ketika satu sisi lebih berat maka otomatis sisi lainnya terasa ringan.
Reuni 212 memang gerakan moral tetapi ia tak bisa terbendung bermetamorfisis menjadi gerakan politik. Dengan sikap massa yang berseberangan dengan Jokowi dan mengusung agenda “ganti presiden”, acara reuni tersebut dapat dimanfaatkan sebagai ajang konsolidasi bagi kubu lawan Jokowi. Tentu saja ini keuntungan bagi Prabowo.
Ibarat timbangan, ketika satu sisi lebih berat maka otomatis sisi lainnya terasa ringan. Maka, ketika ada satu momen yang menguntungkan Prabowo, maka yang rugi akan mengarah pada Jokowi. Begitu juga sebaliknya. Jadi terlihat jelas siapa untung dan siapa buntung?
Situasi seperti itu begitu mudah tercipta ketika Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Rivalitas keras tiada henti sejak Pilpres 2014 tatkala duel pasangan Jokowi-Jusuf Kalla versus Prabowo-Hatta Rajasa. Pilpres 2019 seakan menjadi pertandingan ulang bagi Jokowi dan Prabowo, meskipun pendamping masing-masing berbeda.
Lawan politik, bukan musuh politik
Sejak perseteruan Pilpres 2014 lanskap politik pun berubah drastis. Masyarakat terpolarisasi secara diametral, merusak kohesi sosial. Kondisi tersebut semakin mengeras ketika Pilkada DKI Jakarta 2017 -- sampai pada putaran kedua yang menyisakan pasangan Ahok-Djarot Saiful Hidayat versus Anies Baswedan-Sandiaga Uno -- hingga menguatnya politik identitas. Massa (umat) menjadi kekuatan luar biasa dalam merespons penuntasan Ahok terkait kasus penistaan agama.
Pada akhirnya dukungan bermuara pada dua kutub. Satu sisi, pendukung Jokowi dan Ahok berada dalam satu ceruk. Di sisi lain, pendukung Prabowo dan Anies juga berada dalam satu ceruk lainnya.
Polarisasi ini bergerak secara sentrifugal, semakin menjauh dari titik pusat di mana dapat terjadi komunikasi dan dialog. Politik dilakoni sebagai musuh politik (political enemy) bukan lawan politik (political adversary). Watak permusuhan politik adalah saling menghancurkan, kalah-menang, zero sum game, tumpas kelor. Sedangkan watak lawan politik memandang politik itu bukan saling mengeliminasi. Mouffe (2000) mengubah relasi antagonistik dalam politik menjadi relasi agonistik. Memang, lawan tetaplah musuh tetapi ia legitimate, yang memiliki pijakan, prinsip, tujuan dalam demokrasi.
Sejak demokrasi langsung (electoral democracy) menjadi praktik politik di negeri ini, watak musuh politik lebih terasa kental. Saling menihilkan, jauh dari sikap-sikap dialogis dan komunikatif. Karenanya, seringkali justru yang dominan adalah aksi-reaksi politik yang nyinyir, saling melecehkan, mencari kesalahan lawan politik sembari menutupi kelemahan sendiri, saling menjatuhkan.
Sikap-sikap galak sering dipertontonkan secara terbuka. Tampaknya semakin galak sepertinya semakin mengalami political trance. Dengan instrumen media sosial, politik galak justru semakin menyebar luas ke publik yang terus terdisrupsi dengan kontestasi politik “permusuhan”. Barangkali ada yang percaya bahwa mereka yang merebut opini publik di dunia maya berbanding linier dengan tingkat elektabilitas. Tak peduli apakah berdampak kurang baik bagi penataan demokrasi ke depan.
Perbedaan itu rahmat
Kalau sudah demikian, maka motif politik hanya mempertontonkan nafsu kekuasaan. Hanya mencari keuntungan. Apapun event politik dapat dikapitalisasi untuk menguntungkan kubu masing-masing. Siapa yang jeli dan mampu menggunakan trik, bisa memanfaatkan momentum, sekalipun bukan acara politik.
Dalam kasus reuni 212, tak ayal lagi menjadi panggung politik buat Prabowo. Kali ini Prabowo mendapat “untung”. Sebaliknya Jokowi yang sebetulnya dapat dikategorikan “alumni” justru dianggap rugi (buntung). Itulah politik yang dilukiskan oleh ilmuwan politik Harold Dwight Lasswell (1902-1978) sebagai “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”. Inilah babak-babak terkeras dalam kontestasi politik era pemilihan langsung sekarang ini.
Namun, bila kita resapi lebih jauh sebetulnya kita dapat menyaksikan bahwa inilah demokrasi. Artinya tidak semuanya harus berada pada satu kubu.
Perbedaan menunjukkan bahwa proses demokrasi tengah berjalan. Demokrasi tidak ingin membuat semuanya seragam. Keseragaman mungkin monoton tidak berwarna, kurang indah. Apalagi perbedaan itu adalah rahmat, dan itu mesti disadari betul.
Dengan ceruk umat Islam yang begitu besar (sebagai mayoritas), Prabowo memiliki basis tersendiri, begitu juga Jokowi yang mempunyai basis massa Islam juga. Biarkan kebebasan untuk memilih menjadi warna dan dinamika yang menghidupkan demokrasi. Asalkan saja tidak menyuburkan politik kebencian dan kebohongan.
Karena, misi suci politik yang dirintis sejak zaman Yunani sesungguhnya sebagai ladang untuk menggapai kesejahteraan dan kemaslahatan bersama. Tentu saja, ini membutuhkan kedewasaan dan kewarasan berpolitik.
(Bintaro, 4 Desember 2018)