Memilih Presiden
Masa kampanye pemilu presiden yang panjang ini telah menghabiskan waktu dan menguras tenaga kita. Dalam prosesnya, tidak tampak ada gambaran kehidupan rakyat jelata yang diuntungkan. Justru sebaliknya, debat panjang masa kampanye ini sampai batas tertentu telah merugikan kita semua dengan merusak basis kerukunan masyarakat dan mengacaukan nalar warga negara.
Penyebab utamanya, kampanye telah bergeser dari adu gagasan dan program ke debat kusir yang menonjolkan kampanye hitam keburukan lawannya dan kehebatan superfisial calon yang didukungnya. Inilah demokrasi kita saat ini yang bisa dan sudah mengakibatkan sebagian masyarakat jenuh dan rindu pada sistem lain, apabila ada, yang diharapkan mampu memberi lebih banyak kepastian. Kalau sudah begini, lalu apa yang akan dijadikan pegangan sebagai pertimbangan warga memilih presiden?
Panduan untuk memilih
Sebenarnya tidak terlalu sulit membuat daftar kualifikasi dan kriteria yang dapat jadi pegangan untuk memilih. Presiden yang ideal seharusnya adalah seorang yang jujur, bersih, dan bersedia menjadi pelayan warga, bukan sebaliknya minta dilayani. Dia adalah seorang pemimpin yang tegas berintegritas dan mampu memelihara persatuan dan kebinekaan bangsa serta menjaga kedaulatan teritorial negeri. Rekam jejaknya jelas, tidak cacat hukum, etika, nalar, dan moral serta sudah membuktikan bahwa dia seorang demokrat yang mengakui dan menghormati rakyat sebagai penguasa tertinggi di negerinya.
Seorang presiden terpilih harus mendahulukan kepentingan umum daripada diri, kerabat, dan kelompoknya. Dia cerdas, berani mengambil risiko, mampu memilih dan mengangkat para pembantu yang cakap di bidangnya serta tidak ragu menggantinya ketika sang pembantu gagal berprestasi. Program-program dalam misinya jelas mewujudkan kesejahteraan, kemajuan, dan kecerdasan bangsa dalam tata kehidupan yang aman dan damai.
Calon presiden yang kita dambakan bukan sekadar politisi, melainkan lebih pada negarawan yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang berkeadilan, menghormati dan mampu menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Pandangannya jauh ke depan dan tidak mengorbankan kemaslahatan jangka panjang demi popularitas jangka pendek dengan menawarkan kebijakan sesaat yang menghibur.
Sebagai bangsa yang religius, tetapi majemuk dalam agama, suku, dan ras, kita menginginkan presiden yang tidak kurang religiositasnya, tetapi toleran, menghargai perbedaan, menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta menolak segala bentuk kekerasan fisik dan verbal dalam beragama. Capres ini juga tidak menunggangi agama sebagai kendaraan untuk meraih dukungan dengan cara mengedepankan sentimen dan emosi keagamaan yang memecah-belah.
Presiden yang ideal adalah yang percaya diri, optimistis tentang masa depan, komunikatif, serta inspiratif, mampu mengilhami rakyatnya untuk bekerja mendukung suksesnya program-program yang ditawarkan sehingga rakyat merasa bahwa itu adalah program miliknya, bukan sekadar program presiden. Calon presiden jenis ini adalah juga capres yang rendah hati, tidak menonjolkan ke-aku-annya, serta mampu menghargai hasil kerja dan prestasi orang lain.
Presiden yang kita cari adalah yang punya kemampuan membaca dan mengantisipasi perubahan-perubahan cepat yang terjadi di dunia. Ia menyiapkan rakyatnya agar dapat menghadapi persaingan global dengan menciptakan iklim usaha yang kreatif dan inovatif dengan memberi dukungan finansial dan fasilitas bagi warganya yang berbakat serta proyek-proyek penelitian nasional dan swasta yang menjanjikan.
Tentu saja masih ada kualifikasi umum lain, seperti kesehatan yang prima serta tidak cacat fisik dan mental, yang dapat menghambat kinerja dan tanggung jawab seorang presiden yang sangat berat. Seorang presiden haruslah yang sanggup bekerja maksimal, tidak mudah mengeluh dan mengambinghitamkan pihak lain apabila gagal, serta menjadi teladan bagi bawahan dan warganya.
Adakah capres yang ideal?
Tidak terlalu salah apabila kita mengatakan hampir mustahil menemukan calon presiden yang memenuhi semua persyaratan ideal di atas, di negeri yang sedang bereksperimen dengan demokrasi ini.
Kalaupun ada satu-dua warga negara yang memenuhi semua kriteria di atas di antara 260 juta warga Indonesia, kemungkinan orang jenis ini tidak akan pernah berpikir untuk ikut dalam kontes pemilu. Sebab, ia tidak punya minat dan nyali untuk masuk ke dalam kehidupan politik yang dikenal penuh intrik dan gesekan.
Akibatnya, warga harus puas dengan memilih calon yang dianggap tidak harus ideal, tetapi mendekati kriteria ideal. Atau pemilu lebih sering merupakan ajang memilih yang paling sedikit buruknya di antara kandidat yang menawarkan diri: bukan yang terbaik di antara yang maju bersaing.
Dalam sistem demokrasi liberal dan persaingan terbuka, ketika informasi otentik tentang latar belakang kontestan tidak mudah didapat, pemilih juga sering terperosok ke dalam imajinasi yang keliru tentang karakter calon dari penampilannya di publik, televisi, atau media lain. Terlebih lagi apabila kontestan menggunakan jasa para ahli pencitraan untuk memoles bopeng yang ada dalam karakter aslinya.
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat adalah contoh mutakhir tentang bagaimana seorang yang dikenal pembohong dengan pengalaman kenegaraan yang nihil dapat menang dalam sebuah pemilu presiden di negeri yang boleh dianggap sudah sangat matang sistem demokrasinya. Kasus Trump ini sudah dan akan terus diulas selama bertahun-tahun mendatang tentang bagaimana konstituen dimanipulasi dengan strategi kampanye yang, antara lain, menggunakan teknologi mutakhir analitik data tentang kecenderungan pasar yang dalam hal ini adalah calon pemilih.
Ketika era ideologi telah lewat dan warga negara cenderung lebih pragmatis dalam menentukan pilihannya dengan pertimbangan keuntungan nyata bagi kehidupannya sehari-hari, pilihannya akan jatuh pada kandidat yang dianggap akan memenuhi harapannya. Warga yang lebih cerdas tidak akan berhenti di situ. Ia juga akan mempertimbangkan apakah karakter, latar belakang, dan rekam jejak calon dapat diandalkan untuk merealisasikan janji kampanyenya.
Di negeri seperti Indonesia, di mana kelas menengah belum dominan memainkan peran yang menentukan dalam persaingan politik dan masih banyak warga yang terkungkung ke dalam unsur-unsur primordialisme, maka sentimen agama, ras, dan kesukuan masih besar pengaruhnya dalam menentukan pilihan. Menyadari hal ini, capres yang merasa rekam jejak, karakter, dan prestasinya tak cukup bisa dipercaya untuk mendukung gagasan dan janji perbaikan hidup yang ditawarkannya akan merancang kampanyenya ke arah menguras emosi dan sentimen primordial warga daripada bertarung untuk memenangi nalar pemilih.
Tanda-tanda ke arah itu makin jelas tampak di depan mata dan, apabila kita lengah, berisiko meruntuhkan kerukunan hidup bersama yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa ini. Pemerintah, penegak hukum, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan media arus utama serta masyarakat madani tidak boleh terus berpangku tangan dan membiarkan proses tidak sehat ini berjalan tanpa koreksi.
Militansi mereka yang haus kekuasaan dengan menghalalkan segala cara tak boleh dianggap remeh. Sudah cukup banyak contoh negeri yang rusak karena ulah provokator politik yang tidak peduli kepada kehancuran bangsanya dengan membelah bangsa dan menciptakan permusuhan di antara sesama warga negara.
Abdillah Toha Pengamat Politik