Soal Netralitas TNI AD
Menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019, muncul kekhawatiran kembali jika terjadi ”ketidaknetralan” TNI, termasuk TNI AD. Isu politik ini langsung menimbulkan reaksi dan polemik. Presiden Joko Widodo pun akhirnya memilih Letjen TNI Andika Perkasa sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) baru menggantikan Jenderal TNI Mulyono. Momen pergantian ini pun tidak lepas dari sorotan publik, mengingat figur dan riwayat penugasan Letjen Andika dianggap memiliki ”kedekatan” dengan Presiden Jokowi.
Persoalan ini tentunya menarik untuk dikritisi lebih lanjut. Pertanyaannya: bagaimana sebaiknya masalah netralitas TNI AD dipahami dan dibuktikan secara arif dan obyektif dalam pelaksanaannya?
Reformasi kultural TNI AD
Reformasi internal TNI AD yang dilaksanakan hampir dua dasawarsa ini secara faktual sudah banyak merespons dinamika tuntutan masyarakat. Saat ini TNI AD masih terus berupaya melanjutkannya secara bertahap, baik aspek struktural maupun kultural. Upaya gradual ini bertujuan untuk mewujudkan postur TNI AD yang solid, andal, dan profesional. Reformasi aspek struktural sudah dilaksanakan melalui pembenahan organisasi, doktrin, pendidikan, dan latihan serta pemenuhan kesejahteraan prajurit TNI AD. Meski demikian, harus jujur diakui, reformasi struktural sulit diwujudkan secara optimal apabila tidak didukung oleh reformasi kultural.
Membangun kultur TNI AD yang demokratis sudah merupakan keputusan dari UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ditegaskan, TNI AD harus mengikuti ”kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia”. Dengan demikian, tuntutan profesionalisme TNI AD hendaknya diwujudkan dalam suatu kultur yang demokratis. Komitmen ini pun sebenarnya sudah diupayakan sejak awal reformasi internal TNI AD dilakukan hingga sekarang. Hanya saja yang menjadi persoalannya adalah kelanjutan program penuntasan reformasi ini ada kala terhambat pada realisasi kelanjutan penataan kultur TNI.
Reformasi kultural dimaksudkan untuk mewujudkan karakter prajurit TNI AD yang profesional dan bermoral sesuai Sapta Marga, Delapan Wajib TNI, dan Jati Diri TNI AD serta ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini tak mudah diwujudkan begitu saja karena konsekuensinya terletak pada perubahan tingkah laku prajurit TNI AD itu sendiri. Dalam UU TNI, ketentuan yang relevan jadi ukuran bagi TNI AD untuk dapat membangun kultur yang demokratis adalah ”prajurit TNI AD tidak boleh berpolitik praktis”. Implikasi politisnya jelas menuntut posisi strategis TNI AD ke depan untuk menjaga ”netralitasnya” sebagai alat negara yang sah dalam pelaksanaan setiap proses demokrasi (pemilu/pilkada) di Indonesia.
Dengan demikian, setelah reformasi internalnya berhasil diwujudkan, seyogianya sudah menjadi konsensus nasional bahwa ”TNI AD tidak akan pernah berpolitik kembali” seperti di masa Orde Baru. Dalam implementasi di lapangan sesungguhnya TNI AD secara kelembagaan telah menunjukkan kerelaan dan konsistensinya melaksanakan kebijakan ”tidak berpolitik praktis’ itu sampai sekarang ini.
Oleh karena itulah, sesungguhnya isu yang dikemukakan berbagai pihak perlu diletakkan pada paradigma dan kepentingan nasional tersebut. Termasuk dalam menanggapi semua isu atau rumor politik yang ”memanasi” pergantian jabatan KSAD kali ini, di mana Presiden Jokowi memilih mantan Danpaspampres menjadi KSAD baru.
Dalam kaitan ini, komitmen Presiden Jokowi, DPR, dan masyarakat untuk mendorong ”agar TNI AD benar-benar tidak berpolitik praktis lagi” perlu dikritisi terus. Hal krusial bagi TNI AD untuk meningkatkan keseriusannya menjaga komitmen ini antara lain dengan pembuktian konsistensi ”netralitas politik TNI AD” dalam setiap pemilu dan pilkada. Pembuktian ini jelas bermanfaat bagi pemahaman transisi kekuasaan dalam proses demokrasi pergantian pemerintahan di negara kita, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Demikian halnya pembuktiannya bisa diamati dalam pelaksanaan Pilkada DKI 2017 (apalagi salah satu kandidat pesaingnya mantan Pamen TNI AD). Ternyata pimpinan TNI AD (dalam hal ini KSAD Jenderal TNI Mulyono) telah mampu mengendalikan prajuritnya untuk bersikap netral dan Agus Harimurti Yudhoyono dengan koalisi parpol pendukungnya tak berusaha menggiring pemihakan TNI AD kepada dirinya. Penekanan yang mengharuskan ”netralitas politik TNI AD” ini merupakan penjabaran doktrin TNI untuk selalu bersikap yuridis konstitusional dan lebih mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan kelompok politik.
Terakhir, dalam pelaksanaan Pilkada 2018, beberapa pati TNI AD ikut berlaga menjadi kandidat gubernur/wagub, misalnya Letjen TNI Edy Rachmayadi di Provinsi Sumut, Brigjen TNI Edy Nasution di Provinsi Riau, serta Mayjen TNI (Purn) Sudrajat dan Mayjen TNI (Purn) TB Hasanudin di Provinsi Jawa Barat. Meskipun sempat ramai isu dan rumor akan ”ketidaknetralan” oknum pejabat pimpinan TNI AD di daerah itu, secara umum hasilnya tak sampai terbukti adanya pemihakan TNI AD dalam pilkada lalu.
Konsistensi pembuktian
Sepanjang sejarahnya, TNI AD secara kelembagaan selama ini secara prinsip dinilai tak berkeinginan untuk kembali berpolitik praktis. Apalagi disinyalir secara tendensius masih memiliki ”tradisi kudeta ataupun pendukung makar”, suatu hal yang kecil kemungkinannya. Karena sesuai dengan doktrinnya (Sumpah Prajurit dan Sapta Marga), TNI AD didirikan oleh ”the founding fathers”-nya agar tetap setia pada ideologi Pancasila, Konstitusi UUD 1945, dan NKRI serta pemerintahan yang konstitusional.
Komitmen kesetiaan ini jelas telah dibuktikan oleh pimpinan TNI AD dalam beberapa periode masa pemerintahan RI. Meskipun pada masa pemerintahan Orde Baru TNI AD sempat ”terpolitisasi” dari koridor doktrinnya, ternyata naluri berpolitik para perwira tidak sampai tergoda pada ”upaya kudeta”. Malahan di akhir pemerintahan Orde Baru dan di masa awal era Reformasi, TNI AD tak ”tergoda” menggunakan peluang yang ada untuk melakukannya (menyikapi kasus lengsernya Presiden Soeharto dan Presiden Abdurrahman Wahid).
Pada Wisuda Bhakti Pati TNI AD, 11 November 2018, di Magelang, mantan KSAD Jenderal TNI Mulyono mengajak para purnawirawan pati AD yang ”terjun ke politik” pada kontestasi Pilpres 2019 ini agar tak sampai merusak soliditas, netralitas, dan profesionalisme prajurit TNI AD. Keteguhan komitmen di antara mantan pimpinan TNI AD ini tentunya sangat tepat untuk kembali diingatkan karena, baik secara doktrinal ideologis maupun secara yuridis konstitusional, lembaga TNI AD dan semua prajuritnya harus bisa membuktikan konsistensi ”netralitas politik”-nya saat ini dan ke depan.
Menyikapi isu ”kudeta atau makar”, baik yang dituduhkan kepada elite politik sipil yang mungkin saja ”bersikap kritis dan antipati” terhadap pemerintahan sekarang maupun yang ”dibiaskan” kepada oknum purnawirawan TNI (termasuk TNI AD), perlu adanya tanggapan dan sikap arif dari KSAD baru. Untuk itulah, dalam menyikapi setiap kemungkinan ”blunder politik” yang memanas menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, KSAD baru Jenderal TNI Andika Perkasa tertantang untuk secara tepat dan hati-hati memosisikan TNI AD pada pendiriannya yang ”selalu setia kepada NKRI”.
Dalam esensi pemahaman ini diharapkan TNI AD secara kelembagaan harus menyadari dirinya bukanlah sekadar alat pemerintahan yang berkuasa belaka (dengan dukungan koalisi politik yang pragmatis dan spekulatif), tetapi secara ideologis dan yuridis konstitusional sedari awal pendiriannya TNI AD merupakan ”alat negara” yang implementasinya dalam konteks ”kontrol demokratik” oleh supremasi sipil (democratic control under civilian supremacy), (lihat Samuel P Huntington, 1957, dan dimodifikasi secara konsepsional oleh Andrew Cottey, dkk, 2002).
Sebagai pembuktian pertama untuk meneguhkan ”TNI AD sebagai alat negara” adalah konsistensi sikap ini bertumpu pada sikap ”kenegarawanan” para pemimpin TNI AD untuk tegas menolak ”kudeta atau makar” bagi pemerintahan yang konstitusional. Kedua, sikap dan pandangan yang profesional dari setiap prajurit TNI AD (terutama perwiranya) untuk tak tergoda pada manuver politik praktis dengan menyalahgunakan institusi TNI AD. Dalam hal ini tantangan krusial yang dilematis muncul dari sikap dan komitmen Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai KSAD yang dianggap publik memiliki ”kedekatan khusus” dengan Presiden Jokowi untuk benar-benar dapat menjaga ”netralitas politik TNI AD”.
Oleh karena itu, komitmen TNI AD untuk ”tetap netral dalam setiap pelaksanaan pilkada/pemilu” pada tahun-tahun politik ini (2018 dan 2019) hendaknya juga agar didukung secara obyektif oleh semua pihak, terutama pimpinan pemerintah, pimpinan parpol, dan DPR (objective civilian control, Samuel P Huntington, 1957). Dengan kata lain, diharapkan perlu adanya sikap yang arif dan konsisten dari penguatan otoritas sipil yang benar-benar ”demokratis, adil, tidak korup, dan menjunjung tinggi hukum” sesuai ideologi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 untuk benar-benar mendukung ”netralitas politik TNI AD”.
Sabartain Simatupang Akademisi Universitas Pertahanan Indonesia dan Alumnus Magister Manajemen Pertahanan KSKN UI