Kalau sampai waktunya banyak orang berubah dungu (akeh wong mbambung), banyak orang saling tuduh (akeh wong dakwa dinakwa), orang tekun terjerembab (wong sregep krungkep), itulah tanda zaman terbolak-balik atau wolak waliking zaman. Ramalan Jayabaya, raja Kediri yang dianggap sebagai Nostradamus Jawa, masih sering dijadikan acuan oleh sebagian orang terutama dari kalangan masyarakat Jawa. Ratusan jumlah ramalannya mengenai bakal tibanya zaman tak keruan, yang ditandai termasuk oleh fenomena mengecilnya dunia (bumi saya suwe saya mengkeret).
Kuasa ramalan: bumi yang makin mengecil, bukankah itu fenomena globalisasi? Banyak orang berubah dungu, adakah yang dimaksud adalah era post truth atau pasca-kasunyatan? Kepakaran mati. Semua orang merasa diri paling pintar, paling benar, bicara dan saling tuduh tanpa dasar.
Bagaimana posisi jurnalisme ketika otoritas pakar dianggap tidak lagi ada? Data dan fakta tak dipercaya? Orang hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar? Di luar yang ingin mereka dengar dikategorikan kampret dan cebong?
Pertama-tama, simpati mendalam terhadap para jurnalis yang setia melakukan darmanya di zaman yang sulit ini. Beberapa pihak mencoba mendelegitimasi peranan pers dengan cara menghina, meremehkan, sampai mengintimidasi. Sepertinya ini akan terus berlanjut secara sistematis dan terstruktur.
Belum lagi revolusi digital yang membuat informasi bagai air bah dan menghilangkan humanitas. Kebohongan diproduksi dan direproduksi besar-besaran. Terutama bagi media yang ingin mempertahankan kredibilitas, kondisi ini jelas membuat mereka harus terus-menerus meninjau ulang dirinya.
Kini berita mengenai suatu peristiwa muncul kontinyu tiada henti. ”Updating” dilakukan setiap menit, sampai pada suatu paradoks: kalau semua peristiwa aktual, maka tak ada lagi peristiwa aktual.
Jika peristiwa tak lagi ada makna aktualnya, apa yang masih bisa aktual?
Problem. Peristiwa kucing kawin, betapa pun ramainya, sulit ditemukan problematiknya. Peristiwa yang terjadi di dekat situ, di Istana maupun seberang Istana, saat ini, hari ini, kemarin, atau kapan itu, belum tentu dengan sendirinya aktual untuk diberitakan. Sejumlah media, terutama cetak, bergulat mengangkat persoalan-persoalan masyarakat yang dianggap problematik.
Aktualitas dan kedekatan. Aktualitas berhubungan dengan waktu, kedekatan atau proximity berhubungan dengan ruang. Dikarenakan globalisasi dan revolusi digital, ruang dan waktu kita berubah. Banyak orang menjadi kehilangan pegangan.
Dalam pandangan lama termasuk pandangan Jawa, selalu ada yang makro dan mikro. Ketika yang makro berubah, yang mikro ikut berubah. Begitu pun sebaliknya. Ruang di luar dan ruang di dalam (diri) sejatinya sama saja.
Ruang adalah diri kita. Memelihara nalar sehat, memelihara kepribadian, merupakan bagian dari memelihara ruang. Ingar bingar suatu peristiwa, jika pada dirinya tidak terdapat nalar sehat, tidak perlu diberi ruang. Itulah cara memelihara ruang dalam diri kita, memelihara yang mikro, agar di zaman edan tidak ikut edan. Memelihara yang mikro berarti ikut serta memelihara yang makro, termasuk kehidupan bersama yang menjadi bagian misi suci pers.
Selain ruang, waktu juga berada dalam diri kita. Manifestasi waktu dalam diri adalah energi. Mereka yang bermain drama, tari, dan berbagai kegiatan olah tubuh tahu itu. Sebutannya dinamika. Di situ ada irama, ritme, tempo.
Orang yang menyadari fungsi energi akan menjaga pikiran, kata-kata, dan tindak tanduk, agar yang keluar adalah energi positif. Bandingkan dengan yang energinya negatif. Mereka mencaci-maki, tindakannya culas dan keji, melucu pun jatuhnya menyebalkan, gemar menyebarkan pesimisme. Huh, bangsa tidak bisa dibangun dengan pesimisme.
Mari, tantangan makin berat. Tak terkecuali jurnalisme. Jayabaya telah meramalkannya. Kata dia: wong dosa sentosa (orang berdosa sentosa), tukang mangan suap saya ndadra (pemakan suap merajalela), luwih utama ngapusi (lebih utama berbohong).