Membatalkan Perizinan Koruptif
Perizinan telah jadi sumber korupsi. Beberapa kasus yang terungkap baru-baru ini menunjukkan tingginya transaksi koruptif di balik sebuah izin. Kerugian negara akibat korupsi perizinan ini tak tanggung-tanggung, mencapai angka triliunan rupiah, serta memberikan dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan.
Pelakunya aparatur pemerintah dan korporasi. Tak jarang, korupsi perizinan itu berkaitan dengan pembiayaan politik. Korupsi terjadi di banyak sektor perizinan, dari izin pertambangan, izin lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan, izin eksplorasi, hingga lain sebagainya.
Dari sekian banyak kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, kesimpulannya adalah bahwa izin diberikan dengan menyalahgunakan wewenang dan melawan hukum serta menimbulkan kerugian negara.
Hal ini jelas jauh menyimpang dari prinsip pemberian izin. Secara filosofis, izin berfungsi untuk mengawasi dan mengendalikan aktivitas masyarakat agar tidak timbul kerugian bagi pihak lain.
Instrumen izin bertujuan melindungi kepentingan umum, bukan sebaliknya. Oleh karena itulah, untuk mendapatkan izin, ada syarat dan prosedur yang harus dipatuhi sebab pemerintah harus memastikan agar izin yang diberikan tak merugikan masyarakat atau kepentingan umum.
Syarat sah dan batal
Berkali-kali KPK menangkap koruptor perizinan dan pengadilan menghukum pelaku korupsi perizinan. Namun, bagaimana nasib izin yang telah dikeluarkan dengan cara koruptif itu? Apakah dapat dibatalkan?
Keputusan pemerintahan (termasuk izin) yang sah harus memenuhi syarat materiil dan formal. Syarat materiil di antaranya aspek kewenangan bahwa keputusan harus dibuat oleh badan/pejabat yang berwenang (bevoegd), didasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik dan substansi yang sesuai dengan obyek keputusan.
Sementara secara formal, sebuah keputusan harus dibuat sesuai dengan bentuk dan prosedur penetapannya. Apabila sebuah keputusan tidak memenuhi persyaratan tersebut, keputusan itu menjadi tidak sah, yang berakibat dapat dibatalkan.
Selain memenuhi syarat materiil dan formal di atas, sebuah keputusan pemerintah sah secara hukum jika tak mengandung kekurangan atau kecacatan yuridis. Dalam doktrin hukum, ada beberapa kekurangan atau kecacatan yuridis dimaksud. Pertama, adanya penipuan (bedrog). Kedua, adanya paksaan (dwang).
Ketiga, adanya penyuapan (omkoping), dan terakhir terjadi kekeliruan/kesalahan (dwaling). Jika timbulnya keputusan disebabkan oleh hal-hal tersebut, keputusan itu mengandung kecacatan yuridis. Konsekuensi hukumnya, keputusan tersebut menjadi tak sah (Utrech: 1960).
Berdasarkan doktrin hukum tersebut, apakah perizinan yang diperoleh dengan cara korupsi (suap) dapat dibatalkan? Jawabannya jelas bisa. Keputusan yang diperoleh dengan cara sogokan jelas mengandung kecacatan yuridis. Karena itu, keputusan tersebut jadi batal demi hukum.
Sangat patut diduga bahwa perizinan yang dikeluarkan karena adanya sogokan telah melanggar prosedur dan syarat-syarat dikeluarkannya sebuah izin. Uang sogok diperlukan untuk menutup ketidaklengkapan syarat dan ketidakpatuhan terhadap prosedur. Pertanyaan selanjutnya, lembaga mana yang berwenang membatalkan perizinan koruptif itu?
Kewenangan KPK dan pemerintah
KPK dan pemerintah adalah pihak yang dapat mencabut atau membatalkan keputusan yang koruptif. Dalam melakukan tugas penegakan hukum terhadap perkara korupsi, KPK diberikan kewenangan yang kuat.
Salah satu kewenangan tersebut adalah mencabut sementara perizinan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf g UU KPK yang menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan pencabutan sementara perizinan, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Pencabutan sementara tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan kerugian negara yang lebih besar.
Ini merupakan kewenangan administratif KPK dalam rangka penegakan hukum. Penerapan kewenangan ini tentu sangat selektif. Kewenangan itu lebih diarahkan kepada pihak-pihak (individu atau korporasi) yang melakukan atau memiliki izin, lisensi, dan konsesi. Jika perizinan itu terkait dengan korupsi, KPK dapat mencabut sementara perizinannya.
Kemudian, jika memang terbukti ada korupsi dalam penerbitan izin, adalah tugas pemerintah untuk membatalkannya. Pemerintah harus berperan aktif untuk mengoreksi keputusan-keputusan yang koruptif.
Peran aktif pemerintah ini berangkat dari asas ius contrarius actus. Asas ini menyatakan bahwa badan atau pejabat yang menerbitkan keputusan pemerintahan dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkan keputusan itu.
Asas contrarius actus menuntut setiap badan/pejabat pemerintahan untuk secara aktif mengambil tindakan apabila mengetahui bahwa keputusan yang diterbitkan bermasalah. Tindakan perbaikan atau pembatalan bisa dilakukan secara langsung tanpa harus menunggu pihak lain mengajukan keberatan atau mengajukan gugatan.
Bahkan, tanpa penegasan asas contrarius actus pun, sebenarnya secara logika, jika pejabat pemerintahan mengetahui bahwa keputusan yang diterbitkan bermasalah, tindakan perbaikan atau pembatalan harus dilakukan.
Penerapan asas contrarius actus diperkuat dengan ketentuan dalam UU Administrasi Pemerintahan. Ketentuan Pasal 6 Ayat (2) huruf d UU tersebut memberikan hak kepada pejabat pemerintahan untuk melakukan keputusan korektif.
Bahwa pejabat pemerintahan berhak menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan keputusan dan/atau tindakan. Ketentuan ini dapat dijadikan landasan hukum untuk melakukan pembatalan terhadap keputusan yang koruptif.
Dengan kewenangan yang kuat, kita berharap agar KPK dan pemerintah dapat menggunakan kewenangannya untuk mencabut atau membatalkan perizinan- perizinan yang koruptif.
Hal lain yang perlu diungkap oleh KPK adalah keterlibatan korporasi dalam korupsi perizinan. Dalam beberapa putusan pengadilan terungkap bahwa korporasi telah diperkaya secara melawan hukum oleh korupsi perizinan. Terhadap korporasi itu, seharusnya diterapkan pemidanaan korupsi.
Oce Madril Dosen Fakultas Hukum UGM, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM