Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi menggandeng birokrasi dan perguruan tinggi diwujudkan melalui Rapat Kerja Nasional Pendidikan Antikorupsi di Jakarta, Selasa-Rabu (11-12/12/ 2018). Acara ini patut diapresiasi mengingat 86 persen koruptor yang ditangkap KPK merupakan produk PT (Suwidi Tono, ”Diseminasi Antikorupsi”, ”Kompas”, 5/11/2018). Secara makro, acara ini juga mencerminkan upaya mendekatkan pendidikan dengan problematika bangsa: korupsi.
Pendidikan kita memang sudah selayaknya hadir sebagai solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi negeri ini. Bukan hanya korupsi, pendidikan kita juga harus mampu menyediakan solusi atas segudang persoalan lain, seperti ancaman disintegrasi bangsa, intoleransi, maraknya ujaran kebencian dan berita bohong, serta sampah plastik dan semacamnya. Namun, bukan soal pendidikan antikorupsi yang hendak diulas di sini. Artikel ini lebih menyoroti urgensi perubahan paradigma pendidikan kita dari deduktif ke induktif.
Keterjarakan dan anomali
Memang tidak semua persoalan bangsa mesti diakomodasi ke dalam struktur kurikuler pendidikan kita. Hal ini karena pendidikan bukanlah lembaga kursus atau pelatihan vokasional yang hanya menangani persoalan-persoalan kecil dan berjangka pendek.
Pendidikan haruslah mampu memayungi berbagai persoalan makro-generik agar elan vital akademiknya tidak pupus. Inilah mengapa materi liberal arts yang bersifat disipliner tetap penting untuk diajarkan di sekolah.
Persoalannya adalah jika pendidikan kita terlalu ”berjarak” dari realitas kehidupan keseharian dan berbagai problematika bangsa. Keduanya seakan tidak saling terhubung. Apa yang diajarkan di sekolah kurang memiliki relevansi dengan kebutuhan sehari-hari.
Pendidikan kita sering tergagap-gagap merespons isu-isu kekinian yang berpotensi menyebabkan efek destruktif bagi keberlangsungan bangsa ini. Alih-alih responsif, dalam derajat tertentu, pendidikan kita justru larut ke dalam pusaran berbagai problematika yang ada.
Meskipun jika terdapat respons atas berbagai persoalan dimaksud, pendidikan kita cenderung reaktif, sporadis, dan tambal sulam. Setiap kali ada masalah baru, muncul desain dan formula baru dalam pembelajaran.
Namun, berbagai problematika tersebut tetap saja bergeming. Lihat saja bagaimana pendidikan kewargaan kita—sebagai ganti dari Pendidikan Moral Pancasila—belum mampu mengatasi friksi dan pembelahan sosial masyarakat kita.
Di tingkat perguruan tinggi, apa yang diteliti oleh segenap sivitas akademika di kampus ternyata tidak dijadikan sebagai referensi utama bagi lahirnya kebijakan publik. Publikasi ilmiah dan laporan hasil penelitian dosen dan mahasiswa hanya menghiasi rak-rak perpustakaan kampus, dibiarkan lapuk ditelan zaman.
Mestinya terdapat ketersambungan antara yang diajarkan di ruang kuliah, yang diteliti dosen dan mahasiswa, serta yang diterapkan di ruang publik. Perguruan tinggi kita alih-alih lebih banyak dihegemoni dan dikooptasi oleh kekuatan eksternal.
Selain keterjarakan, terdapat anomali akut antara apa yang diajarkan di dunia pendidikan dengan pengalaman sehari-hari. Pendidikan kita kurang down-to-earth, kurang membumi. Di satu sisi sekolah mengajarkan moralitas adiluhung, di sisi lain yang dipraktikkan di masyarakat adalah perilaku sebaliknya: korupsi beserta aneka derivatnya.
Anak-anak bangsa tidak bisa jujur dan berintegritas bukan karena mereka tidak pernah diajarkan tentang kedua hal tersebut di sekolah oleh para gurunya. Materi pembelajaran tentang moralitas justru melimpah.
Dengan kata lain, terjadi keterbelahan epistemologis dalam dunia pendidikan kita; antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Konsep tentang benar di otak peserta didik, misalnya, belum tentu tersambung dan terintegrasi ke dalam kesadaran mereka yang terinternalisasikan ke dalam laku keseharian mereka.
Pengetahuan peserta didik (kognitif) tentang nilai-nilai moral ternyata tidak ekuivalen dengan kesadaran nurani (afektif) dan perilaku sehari-hari (psikomotorik).
Anehnya, para guru sering kali ikut ”memperkeruh” suasana dengan berapologi bahwa lemahnya moralitas bangsa terjadi akibat kurangnya jam pelajaran yang diterima oleh peserta didik.
Tidak sedikit dari mereka secara gegabah mengasumsikan bahwa satu-satunya obat mujarab bagi persoalan defisit moralitas adalah dengan cara menambah ”dosis” pelajaran tentang moral kepada peserta didik! Sebuah apologi yang kurang bijak.
Resepsi vs produksi
Salah satu penjelasan mengapa pendidikan kita tidak mampu membongkar berbagai problematika bangsa adalah karena kuatnya cengkeraman nalar deduktif dalam pembelajaran. Pertama, pendidikan kita terlalu menekankan pada transmisi atau transfer of knowledge secara top-down, tidak bottom-up.
Proses pembelajaran terlalu menekankan pada proses resepsi atau penerimaan peserta didik atas materi pembelajaran yang sudah jadi. Model pembelajaran semacam ini tentu saja kurang mengasah kemampuan berpikir tingkat tinggi (high-order thinking skills/HOTS).
Mestinya, pendidikan kita lebih banyak mengembangkan aspek produksi ilmu pengetahuan melalui latihan-latihan HOTS, seperti berpikir analitis-kritis, imajinasi kreatif, inovasi, bahkan invensi. Sayangnya, aspek-aspek HOTS semacam ini relatif absen dari pembelajaran kita.
Yang banyak dipraktikkan adalah materi pembelajaran yang mengandalkan kemampuan berpikir tingkat rendah (low-order thinking skills/LOTS), seperti menghafal. Akibatnya, penguasaan materi hanya bersifat kognitif verbatim dan verbalistik, tidak menukik ke jantung persoalan.
Kedua, paradigma deduktif cenderung mengabaikan pengalaman empiris dan kehidupan sehari-hari sebagai bagian integral dari proses pembelajaran. Akibatnya, peserta didik sulit memahami dan menguasai materi pembelajaran karena keterjarakannya dari pengalaman atau realitas kehidupan sehari-hari.
Padahal, menurut John Dewey (Experience and Education; 1997), inti pendidikan adalah mengalami. Oleh sebab itu, pengalaman sehari-hari adalah laboratorium terpenting dalam pendidikan.
Pola pembelajaran berparadigma deduktif ini mengingatkan kita pada teori banking concept of education-nya Paulo Freire (1970) yang lebih menekankan pada aspek resepsi ketimbang produksi pengetahuan.
Dalam konteks ini, peserta didik diperlakukan sebagai ”bejana kosong” yang siap menerima materi apa pun dari sang guru tanpa ada proses dialektika analitis-kritis. Mestinya, pendidikan harus mampu membangkitkan kesadaran eksistensial peserta didik lewat keterpaparan pada pengalaman hidup sehari-hari.
Ketiga, paradigma deduktif tak menempatkan pendidikan sebagai solusi atas berbagai persoalan yang ada. Bahkan, ada kecenderungan bahwa pendidikan menjadi bagian dari permasalahan itu sendiri.
Hal ini terjadi karena—sekali lagi—pendidikan diceraikan dari realitas empiris kehidupan sehari-hari yang penuh dinamika sosial. Oleh karena itu, pendidikan antikorupsi dapat dimaknai sebagai usaha menyediakan solusi atas problematika korupsi.
Masdar Hilmy Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya