Tanah-Air dalam Negara Kepulauan
Muhamad Yamin, ketika masih berusia 17 tahun, menggelorakan semangat untuk mencintai tanah airnya. Pada awalnya, tanah air tersebut adalah Andalas (baca: Sumatera), tempat ia dilahirkan. Sebagai ungkapan rasa cintanya kepada tanah kelahirannya, maka—pada 1920—ia menciptakan puisi dengan judul ”Tanah Air”.
Tanah air adalah konsep penting untuk memupuk rasa nasionalisme Indonesia yang sedang tumbuh secara dinamis pada masa itu. Tanah air adalah konsep asli Indonesia dan tak ada dalam konsep Barat sekalipun. Di Barat yang ada adalah daratan (land/ continent), lautan (ocean) ataupun kampung halaman (motherland/homeland). Akan tetapi, tanah air adalah suatu cara pandang kita terhadap bangsa beserta segala isinya. Ini sebuah konsep menyatunya tanah dan air dengan segala isinya, yang mendasari konsep negara kepulauan.
Sebagai sebuah konsep, penulisan kata tanah air mestinya tidak dipisah menjadi dua kata, tetapi digandeng atau dengan tanda sambung ”tanah-air”. Ide tersebut pernah disampaikan sejarawan Susanto Zuhdi pada waktu pengukuhan guru besar di Universitas Indonesia.
Pada 1922, sajak ”Tanah Air” yang semula terdiri atas tiga bait dan dimuat dalam majalah Jong Sumatera tahun 1920, kemudian diterbitkan bersama tambahannya menjadi sebuah buku berjudul Tanah Air, yang dipersembahkan penyairnya untuk menyongsong peringatan lima tahun berdirinya perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Konsep tanah-air yang tadinya hanyalah sebuah puisi semakin lama berubah jadi sebuah cita-cita politik ketika dicetuskan menjadi bertanah air satu adalah Indonesia. Untuk itulah tanah-air terus diperjuangkan dalam upaya penyatuan wilayah geografis Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 adalah bagian implementasi dari bagaimana melakukan pengelolaan tanah air untuk kemakmuran bersama-sama.
Setelah Indonesia merdeka, wilayah Indonesia mengacu pada Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie tanggal 18 Agustus 1939. Berdasarkan ordonansi ini, wilayah Indonesia terdiri atas sejumlah wilayah daratan, berupa pulau-pulau dengan wilayah perairannya, dengan ketentuan setiap pulau memiliki wilayah laut seluas 3 mil.
Konsekuensi dari peraturan ini, maka lebar wilayah laut, dari satu pulau ke pulau lainya hanya 2 x 3 mil laut. Dengan demikian, laut di luar wilayah tersebut merupakan laut bebas dan terbuka bagi semua bangsa sehingga secara hukum wilayah tersebut dikuasai hukum internasional. Hal ini mengakibatkan Laut Jawa, Selat Karimata, Laut Sulawesi, dan Laut Banda bebas dilalui kapal-kapal asing.
Deklarasi Djuanda
Atas dasar itulah pada 17 Oktober 1956 dibentuk suatu kepanitiaan yang diketuai Kolonel Laut RMS Pirngadi, yang kemudian disebut Panitia Pirngadi. Panitia ini bertugas untuk menyusun sebuah rencana UU mengenai wilayah perairan Indonesia dan lingkungan maritim. Namun, setelah setahun bekerja, panitia ini tidak membuahkan hasil yang maksimal.
Untuk itulah, atas dasar pemikiran Mochtar Kusumaatmadja, pada 13 Desember 1957 pemerintah mengumumkan mengenai batas laut Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan Perdana Menteri Djuanda, yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda.
Prinsip dari deklarasi ini adalah garis dasar atau titik pangkal laut teritorial ditarik dari ujung ke ujung yang menghubungkan titik-titik luar dari pulau-pulau yang terluar. Dari garis ini, dihitung 12 mil ke luar, itulah laut teritorial Indonesia, jalur selebar 12 mil di sekeliling Indonesia.
Dengan perhitungan ini, luas wilayah Indonesia mengalami perubahan dari 2.027.087 kilometer persegi menjadi 5.193.250 kilometer persegi. Berdasarkan prinsip-prinsip negara kepulauan (archipelago state), maka yang dimaksud dengan kepulauan ialah sekumpulan pulau, perairan yang saling bersambung, dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian eratnya sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis, politis, dan historis. Dengan demikian, laut tak lagi jadi pemisah, tetapi menjadi pemersatu pulau-pulau yang ada.
Tentu saja reaksi keras menentang Deklarasi Djuanda datang dari negara-negara besar, seperti AS, Inggris, Perancis, Jepang, Jerman, Australia, terlebih dari Belanda. Mereka menentang tindakan unilateral Indonesia ini. Namun, perjuangan untuk mempertahankan prinsip archipelago atas dasar wawasan Nusantara itu akhirnya diterima dunia internasional dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) III di Montego Bay, Jamaika, 1982.
Wawasan Nusantara untuk pertama kali dimasukkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada 1973, merupakan terobosan sangat penting bagi negara dan bangsa apabila dilihat dari segi strategi militer, kepentingan politik, dan ekonomi. Wilayah kedaulatan Indonesia diperluas secara geografis, baik ruang udara dan dasar laut yang mengandung minyak dan gas bumi. Namun, perluasan dan penambahan wilayah laut ini ternyata tak hanya berdampak pada perluasan wilayah semata, tetapi juga bertambahnya kewajiban untuk melindungi aset itu.
Halaman depan
Meskipun sudah lebih dari 50 tahun bangsa Indonesia memantapkan dirinya jadi negara kepulauan, ternyata masalah-masalah perbatasan dan penamaan pulau-pulau masih belum selesai. Padahal, untuk mengurus penamaan sebuah pulau prosesnya cukup rumit karena harus mendapat persetujuan dari PBB.
Selain itu, daerah-daerah yang berbatasan dengan negara tetangga masih mengalami marginalisasi pemberdayaan. Masyarakat di wilayah perbatasan mengalami hambatan akses terhadap komunikasi dan transportasi sehingga tidak mengherankan jika mereka sering mendapat informasi lebih lengkap dan cepat dari negara-negara tetangga.
Dilihat dari segi pertahanan laut, negara kita masih mengalami hambatan yang sangat besar pula. Sebut saja misalnya KRI Gajah Mada masih merupakan kapal peninggalan Belanda hasil nasionalisasi. Belum lagi personel yang masih sangat terbatas. Peralatan pertahanan laut yang masih sangat terbatas dibandingkan dengan wilayah laut yang sangat luas ini mengakibatkan digunakannya jalur laut sebagai jalur penyelundupan, perdagangan manusia, perompakan, dan terorisme.
Selain itu, pulau dan laut di wilayah perbatasan belum dimanfaatkan secara optimal. Misalnya saja pengembangan wisata maritim. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam kaitanya dengan pariwisata ini. Hal ini menjadi penting jika dikaitkan dengan kekalahan Indonesia atas Malaysia dalam kasus Sipadan dan Ligitan. Salah satu butir kekalahan pihak Indonesia adalah masalah pemberdayaan rakyat di wilayah yang disengketakan. Karena ternyata kehadiran Pemerintah Indonesia, baik dalam bentuk pembangunan dan pemanfaatan sumber alam, di wilayah tersebut jadi ukuran kepedulian kita dalam menangani suatu wilayah.
Kini, telah ada upaya untuk memperbaiki kondisi ini dengan menempatkan wilayah perbatasan sebagai halaman depan bangsa Indonesia. Pintu-pintu keluar masuk antarnegara terus diperbaiki. Namun, karena luasnya wilayah laut Indonesia, pembangunan di pintu-pintu gerbang ini belum cukup. Masih diperlukan upaya berkesinambungan untuk mengembalikan kejayaan bahari yang pernah ditunjukkan pelaut-pelaut Nusantara pada masa lalu.
Tol laut dan poros maritim yang dijalankan pemerintah pada empat tahun terakhir telah menunjukkan hasil nyata, terutama dalam hal peningkatan ekonomi. Namun, sebagai upaya membangun budaya bahari sebagai cara pandang sekaligus pemahaman geografis masih diperlukan upaya secara terus-menerus.
Membangun kembali ”tradisi besar kemaritiman” di Nusantara dapat dilakukan melalui berbagai cara. Pendidikan vokasi yang sekarang digiatkan oleh pemerintah tentu butuh sumbangan kebudayaan dalam membangkitkan memori tentang kejayaan di laut. Saatnya siswa diajak mengenali budaya bahari melalui tembang, nyanyian, tradisi kelautan, dan teknologi kelautan yang semakin berkembang. Pembangunan memori kolektif melalui tradisi kelautan harus ditanamkan sejak dini.
Restu Gunawan Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia, Pengurus HIPIIS; Saat Ini Direktur Kesenian Kemdikbud