Transformasi Layanan Kesehatan Primer Berkeadilan Jender
Oleh
Diah S Saminarsih
·5 menit baca
Akhir Oktober lalu terjadi pertemuan tingkat dunia: para menteri kesehatan lebih dari 100 negara berkumpul di Astana, Kazakhstan, guna mengulang dan memperkuat komitmen yang dinyatakan 40 tahun silam untuk penguatan layanan kesehatan primer. Ini sebuah peristiwa bersejarah di sektor kesehatan yang terjadi di perempat terakhir tahun ini. Dalam teks yang disebut Deklarasi Alma Ata dijanjikan layanan kesehatan primer yang transformatif, berpihak pada manusia, inklusif, dan efisien di dalam sistem kesehatan yang tangguh dengan layanan yang berkualitas.
Salah satu transformasi dan aspek inklusi dalam layanan kesehatan primer adalah deliberasi paradigma dan perspektif jender. Dunia mengakui, sejak International Convention on Population and Development (1994) dan Beijing Platform for Action (1995), keberhasilan pembangunan global amat terkait pada kesehatan populasi, khususnya populasi perempuan. Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), apalagi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), semakin menegaskan, kesehatan dan perempuan adalah faktor pelontar yang mengantarkan dunia mencapai target pembangunan.
Apa implikasi ini semua bagi dunia dan Indonesia? Jawabnya lugas: kebijakan dan praktik layanan kesehatan primer harus mengenakan lensa jender.
Keadilan jender dalam kesehatan
Keadilan jender jadi kunci mengingat jender punya relevansi tinggi karena sifatnya sebagai sebuah konstruksi sosial yang dinamis, berubah mengikuti ruang dan waktu. Jender lebih luas daripada kondisi biner laki-laki dan perempuan. Ia dijelaskan sebagai perilaku, aktivitas, atribut, dan kesempatan yang sama untuk semua. Pembentukan pemahaman jender dibangun melalui norma dan relasi antarmanusia dalam konteks sosial yang merefleksikan pembagian otoritas dalam relasi-relasi tersebut (WHO, 2018).
Dalam MDGs, narasi jender terbangun melalui kesehatan ibu, target pembangunan global yang terbukti jadi faktor penentu tiap negara dalam memastikan keberhasilan pembangunan. Lima belas tahun MDGs (2000-2015) menunjukkan kemajuan yang amat jauh melampaui harapan. Walau dibayangi kegagalan mencapai target, pemahaman dunia terhadap kesehatan bergeser. Kesehatan jadi sentral dari berhasil tidaknya dunia mencapai kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Saat dunia memperkuat komitmennya melalui SDGs (2015-20130), implementasi aksi pembangunan yang berlandaskan keadilan dalam kesehatan, selain memastikan jaminan kesehatan semesta (UHC), juga dipertajam oleh determinan pengungkit lain: keadilan jender.
Selama 40 tahun ini, sejak Deklarasi Alma Ata dinyatakan, dinamika pembangunan dunia mengalami perubahan mendasar. Empat puluh tahun lalu, pembangunan dipandang sangat sektoral. Kesehatan dilihat tak lebih sebagai sektor yang hanya butuh serangkaian upaya kuratif untuk mengoreksi penyakit yang diderita manusia. Konsekuensinya: intervensi baru dilakukan apabila seseorang mengakses layanan kesehatan primer. Padahal, saat itu sangat mungkin kondisi mereka membutuhkan intervensi yang butuh keahlian khusus dengan biaya lebih tinggi, yang hanya bisa diberikan di layanan kesehatan sekunder atau tersier.
Hal ini dialami oleh hampir semua negara di dunia. Layanan kesehatan primer lumpuh dan berdampak pada terpuruknya kondisi ekonomi dan rentannya sistem kesehatan nasional. Kondisi inilah yang membuat dunia tergerak untuk memperbarui komitmen dalam memastikan layanan kesehatan primer tidak hanya tersedia, tetapi berkualitas. Lebih penting lagi, ia berfungsi sebagai garda terdepan penyedia layanan kesehatan pertama untuk seluruh warga.
Implementasi prinsip ”kesehatan untuk semua” tak jatuh dari langit. Di tingkat global setidaknya ada dua dokumen kunci WHO: Global Program of Work 13, yang menunjukkan arah strategis pembangunan kesehatan, dan A Healthier Humanity: The WHO Investment Case for 2019-2023, yang memberi rekomendasi arah investasi kesehatan. Selain itu, tentu rekomendasi kelompok masyarakat sipil global yang turut memastikan transformasi layanan kesehatan primer.
Di tingkat nasional, beberapa waktu lalu hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 diumumkan. Data mutakhir tentang status gizi, cakupan pemeriksaan kehamilan, cakupan imunisasi, jumlah perokok, jumlah penduduk mengidap penyakit tak menular, kesehatan jiwa, hingga akses air bersih dan sanitasi diluncurkan kepada publik untuk memberi gambaran mengenai status kesehatan populasi Indonesia. Meski banyak data menunjukkan perbaikan, Riskesdas melaporkan peningkatan pada prevalensi penyakit tidak menular, kesehatan jiwa, dan jumlah perokok; ketiganya termasuk dalam indikator pendekatan keluarga yang dilaksanakan pada tingkat layanan kesehatan primer.
Riskesdas menunjukkan bahwa layanan kesehatan primer yang berkualitas dan menjangkau semua adalah penentu berhasil tidaknya Jaminan Kesehatan Nasional. Baik di tingkat global maupun nasional, layanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan adalah dua sisi dari satu mata uang untuk mencapai jaminan kesehatan semesta. Layanan kesehatan primer titik konvergensi antara sistem kesehatan dan populasi. Ini membuatnya punya nilai strategis baru: tulang punggung keberhasilan pembangunan kesehatan.
Desain kebijakan
Dengan pemahaman ini, dan pemahaman bahwa keadilan jender adalah pemasti keberhasilan transformasi layanan kesehatan primer, desain kebijakan kesehatan seperti apa yang harus tersedia baik di tingkat global maupun nasional? Perubahan cara pandang apa yang dibutuhkan agar cita-cita SDGs dalam hal kependudukan tercapai? Apa saja faktor penentu keberhasilannya?
Pertama, pemahaman makro tentang pentingnya kesehatan untuk mencapai perdamaian, keamanan, dan keberhasilan pembangunan sosial ekonomi nasional. Kemampuan layanan kesehatan untuk memberikan intervensi kuratif yang berkualitas harus dibarengi kampanye, advokasi, komunikasi, dan tata kelola kesehatan yang sama baiknya. Hal ini akan memicu tumbuhnya keinginan publik untuk secara aktif melakukan berbagai upaya guna menjaga kesehatan diri, keluarga, dan lingkungannya.
Kedua, memastikan layanan kesehatan primer jadi platform paling inklusif, efektif, dan efisien untuk memastikan kesehatan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial. Sekali lagi harus disadari bahwa layanan kesehatan primer adalah titik strategis sistem kesehatan nasional untuk mencapai jaminan kesehatan semesta.
Ketiga, mencari solusi atas tantangan kesehatan saat ini, seperti beban penyakit tidak menular, kurang gizi, resistensi antimikrobial, konsumsi rokok yang terus meningkat, dan bencana alam. Layanan kesehatan primer yang transformatif butuh penekanan khusus pada pentingnya aspek promotif, preventif, kuratif, dan paliatif di layanan kesehatan primer dengan menerapkan prinsip keadilan jender.
Keempat, membuat keputusan dan pilihan politis yang secara sadar berpihak pada kesehatan populasi, membuang ego sektoral, dan melakukan perencanaan pembangunan yang holistik menuju layanan kesehatan primer yang berlandaskan prinsip kemanusiaan, keadilan, dan solidaritas. Hal ini mensyaratkan pelibatan semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama membangun layanan kesehatan primer yang andal.
Kelima, melakukan investasi untuk penguatan layanan kesehatan primer dengan memastikan tersedianya sumber daya manusia kesehatan yang berkualitas serta teknologi dan inovasi yang mendukung peningkatan kualitas layanan.
Kunci mencapai lima hal tersebut adalah dialog kebijakan lintas sektor pada tingkat subnasional agar sistem kesehatan dibangun sesuai dengan kebutuhan populasi. Selain itu, memastikan agar layanan kesehatan primer secara konsisten dilihat dari lensa keadilan jender.
Diah S Saminarsih Penasihat Senior/Direktur Bidang Jender dan Kepemudaan pada Kantor Dirjen WHO Geneva; Pendiri CISDI