”Orang-orang yang menipu diri dan memercayai tipuannya sendiri akan sampai pada suatu titik, di mana mereka tidak dapat lagi mengenal kebenaran di dalam diri mereka, atau di sekitar mereka, dan dengan demikian mereka kehilangan rasa hormat terhadap diri mereka sendiri dan terhadap orang lain”
Oleh
Trias Kuncahyono
·5 menit baca
Fyodor Dostoyevsky, yang nama lengkapnya Fyodor Mikhaylovich Dostoyevsky, lahir pada tanggal 11 November (ada juga yang menulis 30 Oktober) 1821 di Moskwa, Rusia. Dostoyevsky dikenal sebagai seorang cerpenis dan novelis yang kerap disebut sebagai novelis terbaik sepanjang masa, ia meninggal pada 9 Februari 1881 di St Petersburg.
Dalam salah satu karyanya yang berjudul Karamazov Bersaudara (1880), Dostoyevsky menulis, ”Orang-orang yang menipu diri dan memercayai tipuannya sendiri akan sampai pada suatu titik, di mana mereka tidak dapat lagi mengenal kebenaran di dalam diri mereka, atau di sekitar mereka, dan dengan demikian mereka kehilangan rasa hormat terhadap diri mereka sendiri dan terhadap orang lain”.
Dostoyevsky melanjutkan, ”Dan, ketika mereka tidak lagi memiliki rasa hormat kepada diri mereka sendiri, mereka akan berhenti mencintai, dan kemudian untuk menyibukkan diri dan mengalihkan perhatian dari diri mereka yang tanpa kasih, mereka mengumbar berbagai nafsu dan kenikmatan badani, serta tenggelam dalam ketamakan yang menyerupai binatang, dalam kebiasaan untuk terus-menerus berbohong kepada sesama dan diri mereka sendiri”.
Menarik apa yang dikatakan oleh Dostoyevsky bahwa mereka ”tidak dapat lagi mengenal kebenaran di dalam diri mereka, atau di sekitar mereka”. Kebenaran itu tidak sekadar mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi, ”menyingkap kenyataan”, sebagaimana kebenaran diartikan dalam istilah Yunani kuno, yaitu aletheia (dari kata a-lethès, ’tidak tersembunyi’).
Kebenaran mencakup keseluruhan hidup kita. Kebenaran mengandung makna dukungan, soliditas, dan kepercayaan, seperti yang tersirat oleh akar kata ”aman”, asal-usul kata ”amin”. Kebenaran adalah sesuatu ke mana Anda dapat bersandar agar tidak jatuh.
Akan tetapi, ”kebenaran” tempat bersandar itu sekarang pelan-pelan mulai menguap, mulai hilang. Apalagi di panggung politik. Mengapa? Karena panggung politik tak ubahnya panggung sandiwara. Sebuah panggung tempat pentas dipertontonkan, dengan aneka ragam cerita, dan tentu pelakonnya pun berbeda-beda, bergantung pada lakon yang dimainkan.
Dramaturgi
Melihat panggung politik di negeri ini, ingatan langsung mengarah kepada Erving Goffman. Tokoh yang lahir di Mannville, Alberta, Kanada, 11 Juni 1922 dan meninggal tahun 1982 ini dikenal dengan teori dramaturginya. Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia.
Dramaturgi, menurut Kathleen M German (Encyclopedia of Communication Theory, 2009) disebut juga dramatisme, yakni suatu pendekatan yang digunakan untuk memahami penggunaan simbol-simbol dalam dunia sosial. Pendekatan dramatisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Kenneth Burke pada awal tahun 1950-an menyatakan bahwa interaksi manusia dapat digambarkan sebagai sebuah drama.
Menurut Kenneth Burke, hubungan antara kehidupan dan teater bersifat literal, bukan metafora. Pendekatan dramatisme sangat penting dalam teori komunikasi, menurut para ahli, karena penggunaan simbol utamanya terjadi melalui bahasa sebagai alat komunikasi. Pendekatan dramatisme kemudian merambah ke dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu politik, sosiologi, dan retorika, serta disiplin ilmu lainnya.
Sekarang ini, kalau mengikuti pemahaman yang diberikan oleh Erving Goffman, banyak kita lihat bagaimana politisi memilih peran yang diinginkannya. Goffman menyebut peran ada yang bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Front mencakup setting, personal front (penampilan diri), dan expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri).
Adapun bagian belakang adalah the self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada Front.
Belakangan ini banyak drama atau bahkan sinetron di panggung politik. Untuk menarik simpati, dalam memperebutkan suara dan dukungan, cara yang paling banyak digunakan adalah menjadikan diri sebagai korban. Ini yang disebut sebagai mentalitas korban.
Mentalitas korban adalah sifat kepribadian yang diperoleh di mana seseorang cenderung mengenali diri mereka sebagai korban tindakan negatif orang lain.
Mentalitas korban adalah sifat kepribadian yang diperoleh di mana seseorang cenderung mengenali diri mereka sebagai korban tindakan negatif orang lain. Dan, berperilaku seolah-olah ini adalah kasus dalam menghadapi bukti sebaliknya dari keadaan semacam itu.
Mereka adalah orang-orang yang selalu mengeluh tentang hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup mereka karena keadaan di luar kendali mereka. Tidak ada yang terasa benar untuk mereka. Kesulitan mengikuti mereka ke mana pun mereka pergi.
Orang-orang yang terjangkit mentalitas korban juga merupakan ahli manipulasi, yang dapat membuat interaksi dengan mereka menyebalkan. Seolah-olah mereka mengundang orang untuk membantu mereka, hanya untuk membuktikan bahwa upaya penyelamatan mereka sia-sia.
Untuk menambahkan penghinaan, mereka sangat baik membalikkan keadaan, mengklaim bahwa upaya penyelamat mereka untuk membantu sebenarnya merusak mereka. Hal ini dapat memengaruhi perilaku mereka sedemikian rupa sehingga sebenarnya menyebabkan harapan ini terpenuhi (Manfred FR Kets de Vries, 2012).
Dengan demikian, benarlah yang dikatakan Dostoyevsky bahwa ”Orang-orang yang menipu diri dan memercayai tipuannya sendiri akan sampai pada suatu titik, di mana mereka tidak dapat lagi mengenal kebenaran di dalam diri mereka, atau di sekitar mereka, dan dengan demikian mereka kehilangan rasa hormat terhadap diri mereka sendiri dan terhadap orang lain.”
Akan tetapi, rasanya hal semacam itu tidak menjadi soal bagi mereka yang memimpikan bahwa dengan cara seperti itu akan memperoleh kekuasaan. Apabila demikian, yang namanya etika politik tidak relevan lagi.
Karena itu, jangan heran kalau sekarang ini dan di masa-masa mendatang akan banyak orang bermentalitas korban; berlaku seolah-olah dirinya menjadi korban pihak lain, membayang-bayangkan bahwa orang lain sangat kejam terhadap dirinya.
Mereka itu lupa bahwa orang sekarang makin cerdik sehingga—meminjam istilah Erving Goffman—orang dengan mudah mengetahui yang di bagian belakang (back): yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada Front.