Pemilu dan Budaya Demokrasi
Harian Kompas (5/12/2018) memberitakan pesan kebudayaan Mufakat Budaya Indonesia yang diwakili Radhar Panca Dahana kepada Komisi Pemilihan Umum agar momentum Pemilu 2019 dapat dimanfaatkan sebagai sebuah titik untuk menciptakan budaya politik baru.
Harapan itu bertumpu pada semua pemangku kepentingan agar bertindak dalam batasan rambu-rambu kesepakatan bersama bangsa Indonesia, serta mengaitkan erat-erat pada nilai-nilai dasar Indonesia sebagai bangsa bahari, yakni kejujuran, keterbukaan, kesantunan, saling menghargai, dan toleran.
Pesan kebudayaan memang senantiasa bernuansa harapan. Tak mudah, dalam hal ini, mempertemukan antara yang ideal dan praktiknya. Pemilu dan budaya demokrasi telah menjadi isu abadi yang akan muncul kapan saja, dari masa ke masa, termasuk hari-hari ini, ketika rakyat Indonesia berderap menuju Pemilu 2019. Pemilu sebagai manifestasi kontestasi demokrasi sejatinya juga ujian kebudayaan, bahkan peradaban suatu bangsa. Keberhasilannya membutuhkan sikap dan tindakan yang dewasa dalam berdemokrasi.
Gambaran kemerosotan
Dalam perspektif pembangunan politik, pemilu berkait erat dengan stabilitas dan integrasi bangsa. Konsekuensinya, tidak boleh kontestasi politik yang berskala nasional tersebut merosot sekadar menjadi adu jotos menang-kalah di antara para kandidat. Pemilu harus dipertautkan dengan kualitas penyelenggaraan dan partisipasi khalayak. Prosesnya wajib dijaga agar tidak bergerak ke titik nadir kemerosotan politik (political decay). Dua kutub, yakni pembangunan alias kemajuan versus kemerosotan, selalu merupakan pertaruhan dalam kontestasi demokrasi suatu negara yang plural seperti Indonesia.
Tidak semua proses pemilu berujung ke penguatan integrasi bangsa. Jack Snyder dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, From Voting to Violence, Democratization and Nationalist Conflict, telah mengingatkan dan mengilustrasikan dengan jelas. Pemilu damai bisa terbajak oleh konflik nasionalis, termasuk di dalamnya jenis nasionalisme etnisitas (nationalism ethnicity) atau dalam istilah kita nasionalisme SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Pada abad ke-21 ini, kita pun masih menjumpai potret fatalnya konflik politik yang tak terkelola, Pada 2007, misalnya, kemelut antarsuku memanas di Kenya pascapemilu bulan Desember yang kacau dan penyelenggaraannya jauh di bawah standar internasional. Akibatnya, lebih dari seribu orang tewas, dan sedikitnya 250.000 warga mengungsi. Satu dekade sebelumnya, perang antarsuku yang dipicu pula oleh politik terjadi di Rwanda. Setengah juta lebih orang dari kelompok minoritas suku Tutsi diburu dan dibantai sayap ekstremis bersenjata mayoritas suku Hutu. Konflik ini juga melebar ke negara tetangga, Burundi. Ratusan ribu orang dari kedua suku tewas dalam lingkaran konflik politik mematikan itu.
Potret-potret kemerosotan politik yang ekstrem di atas tentu merupakan referensi yang berharga bagi bangsa majemuk seperti Indonesia. Pada masa transisi pasca-Orde Baru, kita juga masih ingat, konflik sosial yang mengancam integrasi bangsa juga kita rasakan kendati kini justru pengalaman demikian menjadi pelajaran sangat berharga.
Sepanjang penyelenggaraannya, manakala kita tengok sejarah, pemilu-pemilu di Indonesia belum pernah berakhir dengan kegagalan. Pada 1955 pemilu berjalan baik dan partisipatif, disintegrasi bangsa tidak terjadi. Pemilu-pemilu Orde Baru, kendatipun formalistik dan merosot kualitas demokrasinya, tetap berjalan. Stabilitas politik tetap terjaga kendati yang sering mengemuka justru pendekatan keamanan. Pemilu-pemilu era Reformasi, setidaknya hingga 2014, yang karakternya berbeda dengan Orde Baru, juga dapat berjalan baik. Singkat kata, eksperimentasi demokrasi kita tidak gagal terlepas fluktuatif kualitasnya.
Demokrasi kontestatif yang dijauhkan dari perspektif kebudayaan akan menyempit ke sekadar kontestasi menang-kalah. Lazim disebut, kebudayaan itu berpintu banyak, dan hanya ada satu pintu dalam politik. Kebudayaan memberi banyak alternatif menuju konsensus kehidupan berbangsa yang harmonis dan produktif, sementara politik dalam memandang segala sesuatu sering kali sebatas, meminjam Kuntowijoyo, ”kacamata kuda”. Politik berisiko kontraproduktif. Tanpa bingkai kebudayaan, politik hanya akan berkutat pada pragmatisme-transaksional dan paradigma menang-kalah.
Yang jadi masalah, dan inilah yang harus terus kita ikhtiarkan, adalah kualitas pemilu dan demokrasi. Ukuran-ukurannya bertumpu nilai-nilai substansial demokrasi agar dapat terimplementasi secara baik. Sebagai bangsa yang mampu merawat kebinekaan dan persatuan, terlepas gegap gempitanya dinamika sosial dan politik sepanjang lintasan sejarah bangsa, sesungguhnya kita telah memiliki modal kebudayaan yang kondusif bagi demokrasi. Para elite politik masa lalu, terlepas adanya pula masa suram, telah meninggalkan sejumlah referensi perilaku politik berharga dalam pembentukan budaya politik bangsa yang demokratis. Paling tidak, referensi nilai-nilai dasar kebangsaan bahari sebagaimana diingatkan Mufakat Budaya Indonesia di atas pernah terpancar dengan kuat, kendati sering kali tak selalu bertahan lama.
Kultur bahari
Meminjam pandangan Nurcholish Madjid, tampak sekali nilai-nilai dasar kebangsaan bahari di atas selaras dengan kultur atau etos pesisiran yang ditandai tradisi dan mental terbuka, inklusif, dialogis, toleransi yang tinggi, pembelajar, jujur apa adanya, dan semangat kerja sama dan konsensus. Ia berkebalikan dengan etos atau kultur pedalaman yang secara umum bersifat tertutup, eksklusif, antiperbedaan atau kemajemukan, antidialog, tak ada tradisi intelektual, dan hal-hal yang kontras lainnya dengan watak demokrasi. Kultur bahari atau pesisiran hadir karena kekayaan khazanah perjumpaan dan interaksi ragam subkultur, multi-identitas, dan kemajemukan. Keterbukaan, saling belajar dan kerja sama untuk membangun konsensus, menjadi kata kunci penting ketimbang ketertutupan, konflik, perpecahan, dan kekerasan. Karakter Bhinneka Tunggal Ika terbangun dari kultur keterbukaan dan kerja sama demikian itu.
Karena itu, dapat dipahami manakala kultur bahari relevan dengan ideal-ideal demokrasi. Namun, perlulah kita catat bahwa kesejarahan kita yang panjang, juga diwarnai oleh realitas kontestatif di antara kedua kultur. Kita pernah mengalami masa ketika rezim berkuasa tak memberikan ruang kebebasan yang cukup bagi rakyat berdemokrasi. Negara menghegemoni rakyat ke arah mental tertutup. Namun, sebagaimana kemerdekaan, proses kita dalam berdemokrasi adalah dengan cara diikhtiarkan. Lazimnya, demokrasi cocok diterapkan di negara yang sudah cukup lengkap segala prasyaratnya. Tapi, dalam kasus Indonesia, tidak demikian adanya.
Kita lebih memilih dan menjalani demokrasi proses ketimbang demokrasi persyaratan. Ada unsur kemauan keras untuk itu, apa pun risikonya. Memang pada mulanya, seolah-olah semangat rakyat Indonesia masuk ke era Reformasi sekadar menjatuhkan rezim otoritarian berkuasa. Kita nyaris tak sepenuhnya percaya ketika mendadak harus berubah dari situasi dan sistem politik otoritarian ke demokrasi. Secara teknis, banyak hal yang kita capai dalam demokratisasi kita. Akan tetapi, secara substansif, kita masih terus bergerak mencari jalan keluar dari labirin demokrasi yang justru terbentuk oleh ragam kontradiksi politik yang menyertai.
Ujian demokrasi
Bagian terpenting dalam demokrasi politik yang melibatkan partisipasi masyarakat luas adalah pemilu. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu merupakan indikator peradaban demokrasi suatu bangsa. Pada praktiknya, demokrasi membutuhkan prasyarat dasar, yakni kedewasaan dalam berpolitik. Hal ini terkait erat dengan proses pembentukan kultur demokratis yang harus terus diikhtiarkan. Prosesnya tak bisa serta-merta, tetapi perlu kesabaran ekstra, mengingat isu semua merupakan resultan dari ragam gerak dan interaksi antar-elemen bangsa yang dinamis dan terus berkembang.
Pemilu damai dan beradab merupakan ikhtiar wajib semua pihak. Cara pandang demikian meletakkan asumsi utama bahwa bukan masalah menang-kalah yang menjadi fokus kita sebagai bangsa, tetapi pembelajaran politik, bagaimana nilai-nilai kebangsaan bahari pelan-pelan mampu terimplementasikan secara kokoh dalam budaya politik kita yang berkarakter demokrasi. Karena itu, ujian Pemilu 2019 harus dapat kita respons sebaik-baiknya, menjauhkan dari potensi, sekecil apa pun, kegagalannya.
M Alfan Alfian Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional dan Pengurus Pusat HIPIIS