Empat Tahun Daulat Pangan
Kedaulatan pangan menjadi tema besar pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sasaran program kedaulatan pangan periode 2015-2019 adalah tercapainya swasembada padi, jagung, dan kedelai serta peningkatan produksi daging dan gula (Renstra Kementan 2015-2019).
Untuk mencapai sasaran tersebut, anggaran sektor pertanian ditingkatkan dengan tajam; rehabilitasi 3 juta hektar jaringan irigasi dilakukan; waduk, dam, dan embung dibangun; pencetakan sawah baru seluas 1 juta hektar serta program reforma agraria.
Upaya peningkatan produksi dilakukan dengan masif melalui upsus pajale (upaya khusus peningkatan produksi padi jagung kedelai), subsidi pupuk dan benih, serta bagi-bagi alat dan mesin pertanian.
Struktur pasar yang dinilai kurang baik diatasi dengan pembentukan Satgas Pangan, kebijakan HET (harga eceran tertinggi), pembentukan Toko Tani Indonesia dan kebijakan Sergap untuk meningkatkan serapan gabah dan beras oleh Bulog. Untuk melaksanakan sebagian program tersebut, Kementerian Pertanian melibatkan TNI dan Polri.
Anggaran yang dikeluarkan untuk ketahanan pangan selama empat tahun ini Rp 408,9 triliun (BPK dan Kemenkeu, 2014-2018) di luar anggaran infrastruktur pertanian dan program reforma agraria.
Dengan demikian menjadi suatu keniscayaan bagi masyarakat awam untuk bertanya terkait bagaimana capaian berbagai program tersebut selama empat tahun terakhir ini.
Capaian program pertanian
Terkait dengan infrastruktur pertanian, target pembangunan waduk/bendungan sebanyak 65 hingga 2019 kemungkinan besar akan terpenuhi, sebagian merupakan lanjutan dari pemerintah sebelumnya. Terdapat 49 waduk/bendungan yang telah selesai dibangun, sedang dalam konstruksi, atau dalam proses kontrak hingga 2019 (Dirjen SDA Kementerian PUPR, 2017). Sebanyak 29 bendungan ditargetkan selesai pada 2019, sebanyak 55 persen berada di luar Jawa dan 45 persen di Jawa-Bali.
Waduk/bendungan memainkan peran sangat penting dalam pembangunan pertanian karena fungsinya mengurangi risiko banjir ketika curah hujan tinggi dan menyediakan air ketika kemarau. Keberhasilan program budidaya padi sawah di Thailand dan Vietnam juga tergantung dari waduk (Thailand) dan sistem kanalisasi (Delta Mekong, Vietnam).
Waduk yang sudah dan sedang dibangun akan memberikan manfaat optimumnya apabila kerja sama lintas sektoral berhasil. Hulu dan hilir waduk merupakan kewenangan kementerian lainnya yang memberikan jaminan pasokan air yang memadai dan mencegah pendangkalan waduk serta pemanfaatan air jika jaringan irigasi dan program pencetakan sawah berjalan dengan baik. Apabila kedua aspek tersebut tidak terpenuhi, sia-sialah pembangunan waduk/bendungan.
Bagaimana terkait produksi dan impor pangan? Bawang merah dan jagung adalah dua komoditas dominan yang impornya turun tajam dalam empat tahun terakhir. Impor bawang merah periode 2012-2014 rata-rata 97.744 ton/tahun, menurun menjadi 5.283 ton/tahun pada periode 2015-2018 (Pusdatin Kementan 2012-2018, impor November-Desember 2018 dihitung dari rata-rata 10 bulan sebelumnya).
Selain impor, Indonesia tiap tahun juga mengekspor bawang merah meskipun rata-rata ekspor empat tahun terakhir lebih rendah dibandingkan dengan periode 2012-2014, yaitu 5.941 ton rata-rata tahun 2015-2018, sedangkan pada periode sebelumnya 9.502 ton.
Penurunan volume impor yang tajam terjadi juga pada komoditas jagung. Dengan mengacu pada program peningkatan produksi jagung—atau lebih tepatnya pembatasan impor jagung—mulai 2016, impor menurun tajam dari rata-rata tahunan 3.389.839 ton (2013-2015) menjadi 1.017.219 ton (2016-2018). Di sisi lain terjadi peningkatan ekspor dari rata-rata tahunan 105.317 ton menjadi 162.820 ton.
Penurunan impor bawang merah yang sangat tajam sebesar 94,6 persen dipastikan karena peningkatan produksi melalui pengembangan sentra-sentra produksi bawang merah yang baru.
Produksi jagung Indonesia mengalami peningkatan rata-rata 500.000 ton jagung pipilan kering dan peningkatan luas panen sekitar 50.000 hektar per tahun (2016-2018) (FAS-USDA Desember 2018) meskipun angka tersebut jauh di bawah angka resmi yang dikeluarkan pemerintah.
Lalu mengapa penurunan impor jauh lebih tajam dari peningkatan produksi? Dipastikan jagung yang dibatasi impornya tergantikan oleh produk substitusinya, yaitu gandum untuk pakan dengan rata-rata 2,12 juta ton per tahun pada periode 2016-2018 hampir mirip dengan penurunan impor jagung rata-rata 2,37 juta ton per tahun pada periode yang sama.
Untuk beras, kedelai, gula, dan daging sapi, kondisinya praktis tak mengalami perubahan selama empat tahun terakhir. Setelah melalui kontroversi panjang, akhirnya BPS merilis data produksi beras dengan metode baru.
Hasilnya, data yang dikeluarkan Kementerian Pertanian 46,85 persen lebih tinggi dibandingkan hasil perhitungan BPS. Rata-rata impor beras juga meningkat. Pada periode 2005-2014 impor beras 0,920 juta ton/tahun, meningkat menjadi 1,138 juta ton/tahun dalam empat tahun terakhir ini (BPS 2000-2010, Kementan 2011-2018).
Ketergantungan Indonesia dari kedelai impor juga semakin tinggi, jika sebelumnya di kisaran 80 persen, saat ini sudah 92,9 persen (2017). Untuk gula, jika sebelumnya sekitar 50 persen, saat ini 80,0 persen harus dipenuhi dari impor (2017). Pemenuhan daging sapi juga tak beranjak membaik, tahun ini sekitar 260.000 ton setara daging masih harus diimpor.
Neraca pangan defisit
Volume impor pangan empat tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Impor 21 komoditas subsektor tanaman pangan pada 2014 sebesar 18,17 juta ton. Volume impor terus naik menjadi berturut-turut 19,27 juta ton; 20,69 juta ton; 20,52 juta ton, dan 22,26 juta ton pada 2015, 2016, 2017, dan 2018 (Basis Data Ekspor Impor Kementan 2014-2018).
Di tengah suksesnya program pengembangan bawang merah, total impor hortikultura yang terdiri atas 63 jenis mengalami fluktuasi, yaitu dari 1,65 juta ton di 2014 lalu turun menjadi 1,39 juta ton di 2015 dan meningkat lagi dua tahun berturut-turut menjadi 1,42 dan 1,72 di 2016 dan 2017. Pada 2018 mengalami penurunan kembali menjadi 1,53 juta ton.
Sejak 2015, defisit neraca perdagangan untuk komoditas pangan, hortikultura, dan peternakan meningkat dari 9,95 miliar dollar AS menjadi 10,59 miliar dollar AS di 2018. Neraca perdagangan komoditas pertanian sangat terbantu oleh subsektor perkebunan, terutama kelapa sawit yang membalikkan angka yang sebelumnya defisit menjadi surplus.
Surplus neraca perdagangan komoditas pertanian mencapai puncaknya pada 2011 sebesar 22,77 miliar dollar AS, kemudian terus mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada 2016 menjadi hampir setengahnya (10,92 miliar dollar AS).
Pada 2017 sempat naik ketika terjadi peningkatan produksi dan harga sawit, tetapi kemudian turun lagi menjadi 12,28 miliar dollar AS di 2018 (Jurnal Statistik Ekspor Impor Pertanian 2001-2013, Buletin Triwulan Ekspor Impor 2014, Basis Data Ekspor Impor Kementan 2015-2018).
Kembali ke kedaulatan pangan
Dengan melihat angka dan data tersebut muncul berbagai pertanyaan, mengapa kerja keras pemerintah dan jajaran Kementerian Pertanian selama ini tak menghasilkan capaian menggembirakan? Apa yang salah? Apakah mungkin ”kedaulatan pangan” bisa menjadi solusi?
Selama ini kedaulatan pangan menjadi terminologi yang sangat bias arti dan kian menjauh dari sisi akademis dan gerakan sosial yang mendasarinya. Masyarakat awam tak lagi melihat perbedaan antara kedaulatan pangan, ketahanan pangan, swasembada pangan, dan belasan istilah lain.
Semua campur aduk, padahal dalam literatur akademis dengan tegas dinyatakan kedaulatan pangan bertolak belakang dengan ketahanan pangan (Benford dan Snow, 2000; Lee, 2008). Semua kebijakan dan program yang selama ini dilakukan adalah konsep yang diturunkan dari paradigma ketahanan pangan meski diistilahkan sebagai kedaulatan pangan.
Terdapat enam pilar kedaulatan pangan yang dalam khazanah gerakan petani global disepakati, yaitu 1) hak atas pangan; 2) reforma agraria; 3) akses petani terhadap sumber daya produktif; 4) produksi pertanian agroekologi; 5) perdagangan dan pasar lokal; dan 6) demokratisasi pertanian.
Hak dasar atas pangan belum diadopsi dalam kebijakan nasional, tetapi baru akses atas pangan yang merupakan konsep ketahanan pangan. Selain itu, diversifikasi dan pangan lokal hanya jargon semata dan pangan pokok semakin mengerucut ke dua sumber, yaitu beras dan gandum. Bahkan gandum saat ini sudah menggantikan 25 persen beras.
Reforma agraria yang dijalankan setengah hati tidak akan menghasilkan apa pun. Yang kemudian terjadi adalah semakin tingginya ketimpangan penguasaan lahan antara kelompok kecil masyarakat dan kelompok besar petani kecil dan tuan tanah.
Pada periode 2003-2013 terjadi konversi kepemilikan lahan yang masif dari petani kecil ke bukan petani seluas 508.287 hektar di Pulau Jawa (diolah dari Sensus Pertanian 2013). Di sisi lainnya lahan sawah yang menghidupi 14,1 juta rumah tangga tani padi justru menyusut dari 7,751 juta hektar (2013) menjadi 7,105 juta hektar (BPS 2018).
Pertanian agroekologi terpinggirkan oleh Pertanian 4.0, tanaman transgenik, smart farming, serta pertanian rakus pupuk dan pestisida. Tahun 2014 hingga 2016 Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) melakukan kaji tindak pendekatan agroekologi di lahan ratusan hektar di 13 kabupaten dan menghasilkan peningkatan hasil padi sawah sebesar 57,36 persen.
Saat ini pendekatan yang sama dilakukan di Aceh Utara yang diawali melalui panen raya padi karya petani kecil AB2TI di 200 hektar sawah pada April 2018.
Saat ini program itu berkembang jadi ribuan hektar dengan tingkat produksi rata-rata 11 hingga 12 ton per hektar atau dua kali lipat pendekatan konvensional.
Perlindungan petani kecil dari sistem perdagangan internasional yang tak adil terpinggirkan oleh kenyataan kenaikan total impor komoditas pertanian menjadi 31,2 juta ton dengan nilai 16,8 miliar dollar AS di 2018 ini.
Demokratisasi pertanian yang bermakna petani kecil memiliki hak untuk menetapkan kebijakan pertanian pada semua tingkatan hanya berakhir di forum-forum diskusi yang tak berujung.
Sebagai epilog, konsep kedaulatan pangan bermuara pada satu hal: kemuliaan dan kesejahteraan petani serta hak petani atas benih, teknologi, budidaya, budaya, pendidikan, dan informasi.
Peningkatan produksi dan penurunan ketergantungan terhadap impor pangan hanyalah reward ketika upaya keras kita lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan hak mereka, bukannya sebaliknya. Semoga.
Dwi Andreas Santosa Guru Besar IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dan Associate CORE Indonesia