Indeks Integritas
Rilis KPK tentang Indeks Integritas menunjukkan peringkat 36 kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang menjadi lokus survei (Kompas, 22/11/2018). Ketimbang sedih atau bangga pada peringkat, lembaga pemerintah bisa fokus memacu perbaikan dengan menggunakan data yang ada.
Selama ini integritas sebuah lembaga pemerintah secara sederhana dilihat dari ada atau tidaknya aparatur yang tersangkut kasus korupsi. Semakin banyak aparatur yang tertangkap, semakin korup sebuah lembaga pemerintah di mata masyarakat. Padahal tidak selalu demikian. Kadang kala banyak kasus korupsi terungkap justru karena lembaga-lembaga pemerintah serius memberantas korupsi.
Pada lembaga pemerintah yang telah membangun whistle blowing system dengan baik misalnya, pelapor tak akan ragu-ragu menggunakannya sehingga banyak kasus korupsi terungkap. Sistem ini juga bisa efektif hanya jika penanaman nilai-nilai antikorupsi telah berhasil dilakukan oleh lembaga ini sehingga pelapor memiliki keteguhan mengabaikan relasi-relasi personalnya demi pemerintahan yang lebih bersih.
Sebaliknya, pada lembaga-lembaga lain, korupsi bisa tak terlihat masyarakat. Tak ada aparatur yang tertangkap karena ada konsensus “tahu sama tahu” sehingga saling tutup mata.
Atau yang lebih parah justru bahu-membahu saling melindungi pelaku korupsi demi nama baik lembaga. Dengan spirit ini, kasus-kasus korupsi, yang jelas-jelas merupakan tindak pidana, bisa diselesaikan secara ”adat” agar tidak mencuat ke masyarakat.
Sekalipun dalam berbagai dokumen pemerintah persoalan korupsi menjadi target keberhasilan, harus diakui bahwa saat ini belum ada alat ukur yang kuat. Salah satu ukuran yang selama ini sering dirujuk pemerintah ialah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan Transparency International.
Memang indeks ini satu-satunya ukuran tentang korupsi yang diterima secara global, tetapi bukan berarti tanpa persoalan. Misalnya dari sisi penggunaan data, negara-negara diukur dengan menggunakan data dari survei-survei yang tak semuanya sama.
Belum lagi dari sisi intervensi, di mana CPI lemah dalam menunjukkan persoalan riil yang terjadi di berbagai lembaga pemerintah. Kondisi ini yang membuat Indonesia perlu mengambil langkah lebih maju dengan membuat pengukuran yang sesuai kebutuhan.
Berbeda dengan indeks pengukuran tingkat korupsi yang lain, indeks integritas yang digagas KPK bisa dibilang lebih lengkap dari sudut pandang sumber penilaian. Indeks integritas ini terinspirasi dari integrity assessment yang dilakukan KPK-nya Korea Selatan (ACRC). Namun, dalam pengukuran di Indonesia, KPK mengembangkan instrumen yang lebih detail dan melakukan berbagai penyesuaian.
Indeks integritas ini menggunakan empat sumber penilaian, yaitu internal, eksternal (pengguna layanan), penilaian ahli, dan penilaian dokumen (laporan masyarakat dan kepatuhan pada LHKPN).
Dimensi yang diukur juga mencakup hampir semua lini: mulai dari pencegahan hingga penindakan korupsi, yaitu budaya antikorupsi, pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan anggaran, dan sistem antikorupsi. Keseluruhan dimensi ini dinilai melalui dua pendekatan: persepsi dan pengalaman.
Dengan cara ini, integritas sebuah lembaga pemerintah bisa dipotret dengan lengkap karena penilaian berasal dari beberapa sumber. Responden internal bisa saja dikondisikan untuk menjawab yang baik-baik saja. Namun, trik ini bisa memunculkan pukulan balik jika terdapat kesenjangan yang lebar dengan penilaian dari pengguna layanan dan penilaian ahli.
Integritas lembaga pemerintah akan terlihat buruk karena kompak menutupi persoalan korupsi yang terjadi. Sebagai tambahan informasi, responden ahli diambil dari tokoh pers, LSM antikorupsi, akademisi, tokoh masyarakat, inspektorat, dan sebagainya.
Hasil indeks integritas diberikan kepada setiap lembaga yang menjadi lokus survei sehingga persoalan-persoalan yang perlu diperbaiki bisa dilihat dengan detail. Ada lembaga pemerintah yang pelayanan masyarakatnya hampir bebas suap, tetapi pengelolaan anggarannya masih ditemukan masalah.
Demikian pula ada lembaga pemerintah yang pengelolaan anggarannya sudah baik, tetapi untuk kebijakan sumber daya manusia seperti perekrutan, mutasi, dan promosi masih ditemukan adanya suap.
PR bersama
Berbagai temuan yang diungkap Indeks Integritas harus membuat lembaga-lembaga pemerintah terpacu melakukan perbaikan. Terlebih lagi persoalan tiap-tiap lembaga pemerintah telah rinci tergambar dalam Indeks Integritas. Pada beberapa lembaga bahkan nominal uang suap yang diberikan bisa diungkap.
Oleh karena itu, para pemimpin lembaga pemerintah perlu memanfaatkan momentum ini, baik secara mandiri maupun bersama-sama KPK, membuat program pencegahan korupsi yang lebih baik. Langkah ini sejalan dengan arah Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang tertuang dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2018.
Dalam jangka pendek, dua langkah awal bisa dilakukan untuk fondasi peningkatan integritas. Pertama, menggagas budaya organisasi yang kuat. Pemimpin lembaga pemerintah perlu memberikan penegasan keberpihakannya pada pemberantasan korupsi melalui berbagai kampanye antikorupsi. Upaya ini harus dikuatkan dengan contoh nyata, dengan menemukan berbagai pelanggaran yang masih terjadi dan menindak oknum yang terlibat.
Kedua, membangun whistle blowing system yang kredibel. Selama ini persoalan di banyak lembaga pemerintah adalah kerahasiaan pelapor. Hasil Indeks Integritas 2017, misalnya, menemukan fakta bahwa jika dua dari 10 pegawai menyaksikan pelapor korupsi justru mendapat perlakuan buruk, seperti dikucilkan, diberi sanksi, atau dihambat kariernya. Persoalan lain adalah laporan yang masuk tidak ditindaklanjuti.
Untuk mengatasi itu, lembaga pemerintah bisa mencoba membuat sistem yang dikelola oleh pihak lain, misalnya KPK atau swasta. Berbagai laporan yang masuk dihilangkan identitas pelapornya, kemudian diserahkan kepada inspektorat untuk diverifikasi dan ditindaklanjuti.
Pimpinan lembaga harus mendapat tembusan, dan menjadikan tindak lanjut berbagai laporan tersebut sebagai indikator kinerja inspektorat. Pengecualian jika laporan terkait pimpinan lembaga pemerintah, tindak lanjutnya harus kepada aparat penegak hukum.
Memang butuh kelapangan hati untuk melakukan dua langkah ini. Tetapi, untuk membangun kepercayaan, tak ada salahnya dimulai. Dua langkah ini bisa jadi fokus awal sembari memperbaiki persoalan lain.
Upaya ini bukan hanya perlu dilakukan 36 kementerian/lembaga yang sudah diukur dalam Indeks Integritas 2017 karena ke depan KPK berencana memperluas jangkauan survei.
Agus Pramono Tim Penyusun Indeks Integritas, Bekerja di BPS