Belum lama ini pemerintah mengumumkan hasil koreksi data yang terkait dengan beras. Data luas baku sawah, yang pada tahun 2013 seluas 7,75 juta hektar, pada tahun ini dikoreksi menjadi 7,1 juta hektar. Data prediksi panen padi tahun 2018 oleh Kementerian Pertanian (Kementan) seluas 15,99 juta hektar dikoreksi menjadi hanya 10,9 juta hektar. Adapun angka potensi produksi sebesar 83,03 gabah kering giling (GKG) dikoreksi menjadi 56,54 juta ton GKG.
Pengurangan luas baku sawah selama lima tahun yang mencapai 650.000 hektar tersebut mempunyai efek pengganda sangat signifikan. Bukan saja terhadap kuantitas produksi berbagai komoditas pangan, juga berpengaruh sangat signifikan terhadap besarnya anggaran yang harus disediakan pemerintah untuk membiayai eksploitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Bukan hanya itu, pengurangan luas baku sawah tersebut mestinya juga akan mengurangi anggaran yang disediakan pemerintah terkait subsidi pertanian, yang dari tahun ke tahun cukup menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran subsidi pupuk, misalnya, pada 2016 dialokasikan pemerintah dalam APBN sebesar Rp 30,1 triliun, tahun 2017 Rp 31,2 triliun, tahun 2018 Rp 28 triliun, dan tahun 2019 direncanakan Rp 29,5 triliun.
Langkah pemerintah dalam mengoreksi data terkait beras tersebut patut diapresiasi. Hal ini mengingat banyak kalangan menyangsikan validitas data beras yang selama ini digunakan pemerintah dalam mengeksekusi kebijakan strategis. Penggunaan data beras yang validitasnya disangsikan itu telah menimbulkan berbagai kegaduhan dan polemik terbuka di antara para petinggi negara terkait kebijakan impor beras.
Setali tiga uang
Kita berharap langkah pemerintah dalam koreksi data ini tidak berhenti hanya pada komoditas beras, tetapi juga dilakukan koreksi secara menyeluruh pada data komoditas pangan penting lainnya. Saat ini kondisi data semua komoditas pangan hampir setali tiga uang dengan data beras.
Kesemrawutan data komoditas jagung dan perunggasan, misalnya, dituding sebagai biang dari kegaduhan di bidang usaha perunggasan rakyat beberapa bulan terakhir. Di satu sisi harga pakan unggas naik tajam karena kurs dollar AS yang terus naik, tetapi ironisnya harga jual telur dan daging ayam potong justru terpuruk.
Kegaduhan sempat terjadi di tengah Rapat Koordinasi Ketersediaan Jagung dan Perkembangan Perunggasan di Kantor Gubernur Jawa Tengah yang diselenggarakan pertengahan September 2018. Rapat diikuti para pemangku kepentingan di bidang usaha ternak unggas dari pusat dan daerah, antara lain dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), dinas/instansi tingkat provinsi/kabupaten/kota, serta Perhimpunan Insan Peternak Rakyat (Pinsar) Indonesia.
Narasumber terakhir dari Pinsar Indonesia menyampaikan narasi paparan dengan nada cukup tinggi. Ia mempertanyakan kondisi paradoks yang tengah melingkupi usaha ternak unggas rakyat. Harga telur ayam di tingkat peternak saat itu hanya Rp 16.000-Rp 16.300 per kilogram. Padahal, harga pokok produksi (HPP) telur (asumsi harga pakan pabrikan Rp 5.700/kg) Rp 19.950, jadi peternak tekor Rp 3.700/kg.
Kondisi paradoks ini, menurut narasumber tersebut, antara lain dipicu oleh perbedaan data yang sangat tajam antara data BPS dan data Pinsar. Menurut data BPS Jateng tahun 2017, jumlah populasi ayam petelur (layer) di provinsi ini mencapai 22.453.270 ekor, sementara menurut estimasi Pinsar, populasinya mencapai 29.500.000 ekor. Terdapat selisih jumlah ayam petelur sangat signifikan, yang diduga menjadi penyebab melimpahnya produksi telur.
Terkait tingginya harga pakan, narasumber tersebut mempertanyakan validitas data produksi jagung yang dikeluarkan Kementan. Dengan nada tinggi, narasumber itu minta untuk ditunjukkan di mana saat itu ada stok jagung. Berapa pun jumlahnya, akan dibeli Rp 4.500/kg. Saat itu harga jual jagung di tingkat petani di kisaran Rp 5.000/kg.
Tingginya harga jagung tersebut dinilai sangat ironis. Sebab, pemerintah melalui Kementan telah mengumumkan bahwa saat ini produksi jagung nasional mengalami surplus cukup besar, bahkan sempat diekspor. Menurut prediksi Kementan, produksi jagung 2018 mencapai 30,05 juta ton. Hingga semester I (Januari-Juli), angka produksi telah mencapai 19 juta ton.
Kebutuhan jagung untuk pabrik pakan seluruh Indonesia (91 pabrik) hanya sekitar 651.000 ton per bulan atau 7,812 juta ton setahun. Jika data itu benar, produksi pada semester I-2018 cukup untuk memenuhi kebutuhan pabrik pakan selama dua tahun (Kompas, 28/9/2018). Pertanyaannya, kalau benar surplus produksi, mengapa para peternak kesulitan untuk mendapatkan jagung? Mengapa harga jagung tetap stabil tinggi?
Sejak awal September 2018, harga jagung dengan kadar air 15 persen berkisar Rp 5.000-Rp 5.250 per kg. Harga itu jauh di atas harga acuan yang diatur dalam Permendag No 58/2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen, yaitu Rp 3.150/kg di tingkat petani dan Rp 4.000/kg di pabrik pakan.
Neraca pangan
Lagi-lagi data populasi ayam pedaging dan petelur serta data produksi jagung yang tidak akurat telah memicu kegaduhan usaha ternak unggas rakyat. Sangat bisa dimengerti jika kemudian para peternak unggas anggota Pinsar Jawa Tengah berunjuk rasa dengan membagikan ribuan ayam hidup di Pasar Jongke, Solo, sebagai bentuk protes kenaikan harga produksi, tetapi harga jual hasil ternak justru terpuruk.
Kita menunggu kebijakan pemerintah untuk mewujudkan satu data pangan nasional untuk pembangunan bangsa ini. Satu data pangan yang akurat untuk menghitung neraca pangan nasional. Data neraca pangan nasional diperoleh dari selisih antara angka ketersediaan semua jenis pangan (produksi) dan angka kebutuhan (konsumsi).
Neraca pangan yang akurat akan sangat membantu pemerintah dalam mengeksekusi kebijakan strategis di bidang pangan. Apakah perlu dilakukan impor? Berapa jumlahnya? Kapan waktu paling tepat dilakukan impor? Berdasarkan data neraca pangan nasional yang akurat, semua pertanyaan itu dapat dijawab tanpa menimbulkan kegaduhan yang menguras energi bangsa.
Toto Subandriyo Pengamat Sosial-Ekonomi Pertanian Lulusan IPB dan Pascasarjana Unsoed