Tujuh dekade sesudah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) 1948, ada banyak pencapaian penuh harapan dalam konteks penghargaan HAM. Pertama, pada apa yang terekam dalam sekian banyak konvensi HAM, baik di level regional maupun internasional. Kedua, ratifikasi Deklarasi Universal HAM yang dilakukan hampir semua negara. Ketiga, munculnya refleksi dan kesadaran baru tentang HAM di ruang sosial. Meski begitu, pengingkaran yang berujung pada penistaan nilai-nilai kemanusiaan masih jadi cerita yang begitu jamak kita temukan.
Kita menyaksikan semakin seringnya serangan kekerasan dialami individu dan kelompok minoritas. Kejahatan migrasi (crimigration) dalam bentuk perdagangan manusia menjadi sumber kepedihan zaman ini. Kita begitu mudah menemukan tragedi kemanusiaan berhamparan pada semua level dengan beragam alasan.
Bencana kemanusiaan yang timbul akibat dua perang dunia serentak memunculkan Deklarasi Universal HAM sebagai idolatria baru dalam peradaban kita. Namun, banyak orang memendam keraguan mendalam pada narasi suci Deklarasi Universal HAM (Ignatieff, 2001). Pandangan dan perasaan semacam ini bukan tidak beralasan. Deklarasi Universal HAM tidak pernah bisa menjangkau dinamika sosial, politik, kultural yang berimplikasi pada perusakan HAM di ranah nasional dan subnasional.
Deklarasi Universal HAM dan segenap turunan pencapaiannya, di hadapan kisah kemanusiaan yang terluka, hanya menjadi sebuah lukisan indah, tetapi penuh tipu daya akan janji perlindungan politik. Janji yang tidak mudah ditepati karena perlindungan bukan sesuatu yang mengalir tanpa pamrih. Perlindungan politik sekian sering tersandera akibat tukar guling kepentingan dan keuntungan para penguasa ekonomi-politik.
Dengan itu, meskipun HAM meraih kesuksesan normatif dan teoretis dalam bentuk pendasaran filosofis dan justifikasi moral, prinsip-prinsipnya pada akhirnya tinggal sebagai sebuah kerangka kosong tanpa makna. Itu dirasakan atau paling tidak teralami sebagai bagian dari pengalaman keseharian sebagian individu dan kelompok sosial.
Dimensi politik
Dimensi politik, bagi sebagian pemikir, memainkan peran sentral dalam membangun kerangka perlindungan HAM (Beitz, 2011). Maka, bisa dengan terbuka dikatakan bahwa basis filosofis dan moral HAM pada akhirnya hanya menjadi pajangan konseptual belaka, tanpa gerakan dan dukungan politik yang memadai.
Pembumian prinsip-prinsip HAM niscaya bersinggungan dengan konsepsi politik. Term politik dalam konteks ini berhubungan dengan implementasi prinsip-prinsip HAM ke dalam dua sisi dari satu dimensi tunggal yang saling berkaitan, yaitu kebijakan politik dan tindakan politik. Kedua aspek ini saling mengandaikan dalam membangun kerangka kuat pemenuhan dan perlindungan HAM.
Lebih penting, berbicara tentang dimensi politik HAM secara esensial berkaitan dengan posisi negara dalam penegakan prinsip-prinsip HAM. Negara niscaya mempertanggungjawabkan peran kunci sebagai pemegang tugas utama (duty bearer) perlindungan HAM (Petersen, 2011). Pada banyak pengalaman, rapuhnya konsistensi politik negara dalam pemenuhan HAM sering menjadi basis penodaan HAM.
Di Indonesia, menempatkan isu HAM dalam konteks Pemilu 2019 juga sepertinya hanya akan berlabuh dalam kekosongan. Di satu sisi, beberapa waktu lalu, dalam konteks empat tahun rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla, Komisi Nasional HAM menyodorkan evaluasi kritis kepada pemerintah. Kejahatan HAM masa lalu masih diselimuti kabut hitam ketidakjelasan. Di sisi lain, menaruh harapan pada sosok Prabowo dalam penuntasan kejahatan HAM dan penghargaan HAM rasanya adalah kemustahilan belaka. Dimensi politik akan secara terus-menerus mengganjal prospek perlindungan HAM di tanah air kita.
Max Regus Lulusan Program Doktor Universitas Tilburg, Belanda, sekarang menetap di STKIP St Paulus Ruteng, Flores, NTT