Menahan Laju Korupsi
Korupsi di Indonesia berlangsung tanpa henti. Bahkan, para koruptor seperti berpacu adu berani, adu hebat, adu tidak punya malu. Saat ditangkap dan digiring petugas, mereka senyum-senyum, bahkan ada yang melambaikan tangan kepada jurnalis dan publik.
Para koruptor seakan-akan berkompetisi. Merasa sudah terjun ke arena pertandingan yang keren dan mengasyikkan, jadi tidak masalah sekarang tertangkap. Kelak masih terbuka kesempatan menang! Apalagi eks koruptor boleh kembali menjadi pejabat publik.
Nah, kalau korupsi sudah menjadi suatu hal yang mencandu, bisakah dihentikan? Atau setidaknya ditahan lajunya? Jawabnya sederhana saja: bisa! Optimistis.
Pasti bisa kalau korupsi tidak hanya dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga tegas dicanangkan sebagai penistaan terhadap agama. Mengapa? Karena menganggap Tuhan tidak ada artinya. Dengan demikian, orang akan bergerak dan bersatu mengutuk pelakunya.
Ada bukti yang kuat bahwa kelakuan korupsi telah meresahkan masyarakat dan mengabaikan kehidupan beragama. Bayangkan! Bersumpah dengan menyebut nama Tuhan ketika dilantik sebagai pejabat publik, tetapi kemudian melanggarnya. Seakan-akan menyebut nama Tuhan formalitas birokrasi belaka.
Pernahkah di tempat-tempat ibadah para tokoh agama menyatakan bahwa korupsi itu dosa dan ganjarannya adalah neraka? Dan yang membiarkan ikut berdosa?
Juga para cendekiawan agama bicara tentang hal ini secara terbuka? Di media sosial—kini mungkin telah terhapus—pernah ada isu bahwa korupsi itu sah-sah saja bila hasilnya digunakan untuk membangun rumah ibadah, menyantuni anak yatim, menolong orang miskin, dan sebagainya. Korupsi boleh dilakukan karena ada tujuan mulia di belakangnya? Dalam hal ini, pernyataan para pemuka agama amat penting karena suara merekalah yang akan didengar oleh para pengikutnya.
Kalau mereka tegas menyatakan korupsi itu haram dan pelakunya merendahkan Tuhan dan memberikan contoh buruk kepada masyarakat, akan muncul gerakan di dalam masyarakat untuk bersikap antikorupsi. Gerakan inilah yang akan menahan laju korupsi di Indonesia!
Zainoel B Biran
Perumahan Dosen UI Ciputat, Tangsel, Banten
Sekali Lagi Asuransi
Menyikapi dua tulisan di Kompas tentang upaya menyehatkan keuangan Bumiputera 1912 (14/11/2018 dan 1/12/2018) serta banyaknya keluhan para pemegang polis perusahaan yang klaimnya belum dibayar, saya ikut prihatin. Bumiputera di usia yang sudah lebih dari seabad terpaksa mengalami kesulitan keuangan.
Sebagai perusahaan yang berasaskan gotong royong dan turut menginspirasi asas kegotongroyongan seperti dimuat dalam Pasal 33 UUD 1945 serta telah berjasa kepada jutaan nasabahnya, tentulah peristiwa ini tidak serta-merta terjadi mendadak, tentu dalam proses pengawasan dan tindakan.
Maka, pertanyaan saya kepada yang berwenang mengawasi lembaga keuangan adalah apakah pengawasan sudah dilakukan dengan benar, mengingat jutaan pemegang polisnya menggantungkan kesejahteraan hari tuanya kepada Bumiputera 1912? Janganlah otoritas keuangan tersebut dengan mudah melepaskan tanggung jawab. Seharusnya kondisi Bumiputera sudah terpantau lama.
Dari apa yang saya ketahui— mengambil contoh di Jepang—walau kalah dalam Perang Dunia dan ekonominya tercabik-cabik—Jepang konsekuen membantu dengan pinjaman kepada semua perusahaan asuransi guna membayar klaim para nasabahnya.
Di Indonesia, Bumiputera adalah salah satu perusahaan asuransi jiwa yang perlu dibantu. Perusahaan ini merupakan aset nasional yang perlu dijaga kelangsungan hidupnya.
Hapsoro Siswopranoto
Jalan Bukit Nusa Indah,
Ciputat, Tangsel, Banten