Tangan Besi
Moskwa, 9 Juli 2016. Pada pagi yang cerah saya melangkah memasuki sebuah koridor. Agak pelan karena ruangan agak temaram. Pencahayaan sangat kurang. Bangunan tembok besar itu minim ventilasi. Terasa dingin. Suasananya agak menyeramkan. Dalam hening terdengar suara deritan pintu yang bergeser dan entakan langkah kaki yang keras.
Itulah atmosfer saat memasuki koridor Museum Gulag di Samotechnyy Pereulok, Moskwa. Audio menghadirkan suasana asli di penjara-penjara Gulag, salah satu potret kelam sejarah Rusia (sewaktu masih bernama Uni Soviet). Gulag (Glavnoye Upravleniye Ispravitelno-trudovykh Lagerey) adalah penjara dan tempat pembuangan tahanan politik, pembangkang, dan penjahat Uni Soviet. Gulag adalah sistem kamp kerja paksa dan kamp-kamp penyiksaan di bawah kekuasaan Stalin dari era 1920-an hingga pertengahan 1950-an.
Museum yang didirikan oleh AV Antonov-Ovseenko, sejarawan, penulis, dan salah satu korban sistem Gulag pada 2001 itu memang didedikasikan untuk korban kekejaman Gulag. Diperkirakan 20 juta orang tewas selama masa teror di bawah rezim Stalin.
Pada puncak teror, era 1930-an, para korban yang dituduh subversif kemudian dieksekusi secara massal. Bagaimana kekejaman rezim Stalin semua terlihat di museum itu. Ukuran sel yang kecil. Sel dengan luas 9 meter persegi bisa diisi 25 tahanan. Bahkan, dalam satu sel ada yang dijejalkan hingga 170 tahanan. Semua sel pengap dan tertutup tanpa ventilasi.
Berbagai barang, seperti tempat tidur tahanan, barang-barang pribadi tahanan, dan surat-surat, juga dapat dilihat. Bahkan, pintu sel asli yang begitu kokoh dengan lubang intip dan jendela kecil ukuran kira-kira 30 x 25 cm untuk lubang memasukkan makanan dengan gerendel besi berlapis.
Gulag ini tak terendus sampai salah satu korbannya, sastrawan peraih Nobel Sastra tahun 1970, Alexander Solzhenitsyn (1918-2008), menerbitkan buku Gulag Archipelago pada 1973. Itulah praktik tangan besi Stalin sejak berkuasa dari 1924 hingga 1953.
Lalu ketika mencoba menyusuri Taman Museum Seni di tepi Sungai Moskwa, tak jauh dari patung Tsar Peter The Great (1721-1725) terhampar berbagai patung para pemimpin Uni Soviet sejak era Vladimir Lenin (1922-1924), bahkan ada patung ideolog komunis Karl Marx.
Di sekitaran patung-patung itu ada karya seni instalasi batu yang dipahat berupa bentuk-bentuk kepala manusia yang dikerangkeng besi. Karya seniman Chubarov itu menggambarkan korban-korban kekejaman rezim komunis Uni Soviet era 1980-an yang menjalankan pemerintahan secara tangan besi. Itulah korban-korban penerus Stalin, yaitu Leonid Brezhnev (1964-1983), Yuri Andropov (1982-1984), Konstantin Chernenko (1984-1985), hingga Mikhail Gorbachev (1985-1991) yang kemudian justru menjadi tokoh reformis.
Tangan besi sederhananya adalah kekuasaan secara kejam. Potret kekejaman di Museum Gulag dan pemerintahan rezim Uni Soviet teringat kembali ketika sepekan lalu muncul lagu ”Tangan Besi”. Beberapa penggalan liriknya: Kini kau tak malu lagi topengmu kian terbuka/Menampakkan wajah sebenarnya disaksikan ratusan juta mata/Kau adalah penguasa durjana menindas segala cara/Kau tak segan, tak segan lagi memberangus diskusi/Memperbanyak persekusi, membegal demokrasi/Kau tak segan, tak segan lagi memaki sambil main hakim sendiri….
Penciptanya adalah Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Video klipnya menggunakan make up pantomim. Selain Fadli, ada Ahmad Dhani, Fauzi Baadila, Sang Alang, Neno Warisman, kecuali Ustaz Derry Sulaiman, tampak semuanya berdandan ala pantomim.
Menurut Fadli, make up putih pantomim ini menggambarkan rakyat yang tak punya harapan, kondisi tertekan, dan terintimidasi, dan korban adu domba penguasa. Kira-kira watak penguasa yang digambarkan adalah keras, kejam, sewenang-wenang. Ini sinonim dengan zalim atau tirani. Ya, kekuasaan bertangan besi.
Bagaimana demokrasi?
Namanya lagu, biasanya bersifat metafora, tidak menunjuk langsung kepada pihak tertentu. Namun, publik sudah mafhum bahwa intensi lagu itu tak lain penguasa era sekarang. Itu pun juga jelas dibaca maksudnya adalah Presiden Joko Widodo.
Fadli dan kelompoknya memang lawan politik Jokowi. Fadli cs ini adalah pendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden bahkan sejak Pilpres 2014. Tak heran, ia paling keras bersuara terhadap Jokowi. Semua langkah dan kebijakan Jokowi dikritisi.
Bahkan, di media sosial, suara-suara hampir tak bisa dikendalikan, termasuk oleh sang pemilik suara sendiri. Rasanya terlalu banyak kasus yang menceritakan relasi negatif antara mereka dan Jokowi.
Sebetulnya sederhana saja mengonfirmasinya. Andai bacaan politik ini tidak keliru, yang ingin dikatakan dengan narasi ”tangan besi” itu sama saja tidak berjalannya demokrasi. Kalau begitu, beberapa pertanyaan dasar dapat diajukan: Apakah kebebasan sekarang terbatas? Apakah suara rakyat benar-benar dibungkam? Apakah ada penindasan?
Kalau membaca sejarah dalam 20 tahun terakhir ini, pascareformasi, Indonesia merupakan salah satu contoh terbaik negara yang mempraktikkan demokrasi. Banyak analis yang meneliti demokrasi di Indonesia yang begitu bergairah pascareformasi.
Tak mengherankan demokrasi di Indonesia banyak mendapat pujian dari dunia internasional. Setelah transisi, kemudian konsolidasi, sekarang malah banyak yang menuding bahwa demokrasi sudah kebablasan. Mungkin karena saking bebasnya dan sulit terkontrol. Sebab, begitu liarnya suara rakyat yang sudah dijamin konstitusi. Barangkali sudah tak terkendalikan.
Orang bisa menuding satu sama lain, tanpa bukti. Demokrasi benar-benar terasa mobokrasi ketika demokrasi benar-benar dikendalikan oleh kerumunan rakyat. Atau mungkin kakistokrasi ketika semua sistem pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) buruk. Dulu saat demokrasi di genggaman penguasa, demokrasi justru dikurung dan memunculkan tiran. Namun, sekarang demokrasi sudah berada di genggaman rakyat yang melahirkan demokrasi digital.
Lalu bagaimana praktik demokrasi di negara kita saat ini? Mari sama-sama kita cek data saja. Pada Agustus 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2017. Angkanya mencapai 72,11 dalam skala 0-100.
Ada tiga kategori tingkat demokrasi itu: baik (indeks di atas 80), sedang (indeks 60-80), dan buruk (indeks di bawah 60). Kalau melihat capaian angkanya, kinerja demokrasi kita memang masih berada di kategori ”sedang”, tetapi angkanya lebih dekat ke indeks 80. Dibanding IDI 2016 di angka 70,09, IDI 2017 ini mengalami peningkatan.
Ada tiga aspek demokrasi, di mana dua aspek mengalami peningkatan, yaitu kebebasan sipil 78,75 (dari tahun lalu 76,45) dan lembaga demokrasi 72,49 (dari tahun lalu 62,05). Aspek demokrasi yang turun adalah hak-hak politik dari 70,11 (2016) menjadi 66,63 (2017).
Menurut BPS, ada sejumlah indikator yang memerlukan perhatian khusus, antara lain masih adanya ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, persentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD provinsi, dan demonstrasi/mogok yang bersifat kekerasan.
Masih penasaran, coba bandingkan dengan Indeks Demokrasi 2017 yang dterbitkan The Economist Intelligence Unit. Indeks demokrasi itu disusun berdasarkan lima aspek: proses pemilihan dan pluralisme, kebebasan sipil, berfungsinya pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik.
Dari pengukuran itu ada empat kategori negara, yakni demokrasi penuh (full democracy); demokrasi cacat (flawed democracy); rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian regime). Posisi Indonesia berada di peringkat ke-68 dari 167 negara/wilayah. Dengan skor 6,39, Indonesia masuk kategori demokrasi cacat.
Rupanya faktor yang memengaruhi kemunduran demokrasi itu adalah pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017 ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang didakwa melakukan penistaan agama dikategorikan sebagai pembatasan berekspresi. Di Asia, ada dua negara demokrasi terbesar, yakni India dan Indonesia, yang demokrasinya mengalami penurunan signifikan.
Indonesia turun dari posisi ke-48 (2016) ke posisi ke-68. Lalu India turun dari posisi ke-32 pada 2016 menjadi ke-42 pada 2017, terutama terkait menguatnya ideologi agama konservatif yang menyebabkan munculnya vigilantisme dan kekerasan terhadap minoritas, khususnya Muslim.
Bagaimana kebebasan?
Bagaimana dengan kebebasan? Dalam Freedom in The World yang dikeluarkan Freedomhouse, Indonesia berada di urutan ke-64 dari 100 negara. Mendekati angka 100 berarti semakin bebas, sebaliknya mendekati angka 0 berarti semakin tidak bebas. Dalam hal ini Indonesia masuk kategori partly free alias setengah bebas.
Dalam overview-nya disebutkan bahwa Indonesia telah mencapai demokrasi yang impresif sejak jatuhnya rezim otoriter pada 1998, membangun kemajemukan yang signifikan dalam politik dan media, dan menjalani banyak transfer kekuasaan secara damai di antara partai-partai.
Namun, sampai saat ini Indonesia terus berjuang dengan tantangan, termasuk korupsi sistemik, diskriminasi dan kekerasan terhadap beberapa kelompok minoritas, ketegangan separatis di Papua, dan politisasi undang-undang pencemaran nama baik dan penistaan.
Rasanya kebebasan hampir tiada masalah. Buktinya berulang kali aksi unjuk rasa setelah kasus Ahok dibiarkan meramaikan kawasan Monas Jakarta. Aksi Bela Umat sejak 411, 212, hingga reuni 212 pada awal Desember 2018 ini membuat fenomena luar biasa begitu banyaknya umat bak lautan manusia. Dan, semuanya berjalan lancar.
Semua orang bebas dan bahagia melampiaskan aspirasinya, termasuk aspirasi politik. Itulah suasana demokrasi. Barangkali kalau penguasa tidak demokratis, sudah banyak yang diciduki atau ditembaki, seperti zaman Orde Baru atau rezim tiran lainnya.
Memang ada pelarangan organisasi, tetapi ada alasannya, yaitu terkait radikalisme dan ancaman terhadap ideologi negara. Ketika pemerintah tegas malah Presiden Jokowi dituding diktator. Ada juga memang sejumlah pihak yang mengalami persekusi, tetapi itu juga tak lepas hubungan sebab-akibat atau aksi-reaksi, terutama sesama massa. Hampir tiada yang bermotif tunggal.
Malah ada kelompok atau organisasi yang dianggap keras dan berbeda dengan pemerintah masih bebas beraktivitas. Tidak ada pelarangan. Di media sosial, bahkan kebebasan sudah pada taraf mengerikan karena bukan lagi bermakna bebas, melainkan sudah pada kebohongan, ujaran kebencian, dan fitnah. Jokowi berulang kali menjadi korban fitnah.
Nah, mereka yang menebar kebohongan, kebencian, dan fitnah tentu harus bertanggung jawab. Berdemokrasi itu bukan sekadar bebas, melainkan dituntut tanggung jawabnya. Karena perkataan-perkataan tersebut dapat mengandung perbuatan hukum, tentu ada konsekuensinya.
Tak heran juga demokrasi dirusak oleh kekerasan massa sendiri, dan pastinya korupsi para pejabat dan politikus. Demokrasi memang belum sempurna, tetapi tak lantas juga dituding sebagai tangan besi.
Kalau bicara tangan besi, bayangan yang muncul adalah kekejaman dan penindasan seperti di zaman Gulag. Jangankan sistem demokratis, memimpikannya saja bisa dipenjarakan. Kalau memang tangan besi pasti DPR sebagai lembaga kontrol tidak akan berdiam diri. DPR akan melakukan mekanisme kenegaraan untuk menjaga demokrasi. Tentu tidak lewat cara-cara berkicau di Twitter atau lewat videoklip.
Atau, narasi ”tangan besi” atau ”diktator” jangan-jangan semua karena persaingan politik. Maklum Pilpres 2019 semakin dekat sehingga perebutan ruang publik semakin kasar. Namun, mesti dipahami bahwa demokrasi juga mengajarkan fairness.
Jadi, apakah memang ada praktik tangan besi? Silakan pembaca menilai sendiri, deh!
Condet, 25 Desember 2018