Menjelang Tahun Baru 2019, tajuk utama Tempo ”Bahaya Retorika Prabowo”. Ia dianggap telah menempatkan diri pada tataran keilahian, sebagai messiah (sang juru selamat), sementara lawan politiknya sumber masalah. Konstatasi lugas tersebut mengeksplisitkan suasana kebatinan masyarakat yang miris, cemas, dan dirundung rasa takut (angst psychose) karena histeria hoaks serta kobaran kebencian menjadi santapan sehari-hari. Apabila kontestasi politik sudah pada tataran doktrinal keilahian, Pemilu 2019 dikhawatirkan akan membelah masyarakat secara kategoris dan antagonistik, hitam-putih, hidup-mati, atau surga-neraka.
Ranah publik semakin kumuh dan rusuh dengan pemelintiran dan kebohongan telah melebihi kemampuan daya pikul masyarakat. Ucapan Prabowo tentang ”tampang Boyolali” yang merupakan ekspresi keakraban, misalnya, ”digoreng” secara masif sebagai tindakan yang menghina dan merendahkan martabat masyarakat setempat. Sebaliknya, tuduhan Joko Widodo adalah PKI selalu diulang-ulang meskipun sosok yang dianggap sebagai biang keladi, La Nyalla Mattalitti, telah minta maaf dan berbalik mendukung Jokowi-KH Ma’ruf Amin. Tidak mengherankan, karena berulang-ulang ditanya rumor tersebut, KH Ma’ruf Amin gemas merespons: ”PKI matamu”. Ekspresi manusiawi yang ingin menegaskan rumor itu tidak benar.
Harapan publik, Pemilu 2019, siapa pun pemenangnya, harus mampu mengantisipasi tantangan yang tidak ringan tentang pengelolaan kekuasaan setidak-tidaknya 50 tahun ke depan. Isu sentralnya adalah apakah demokrasi sebagai tatanan kekuasaan yang mengejawantahkan kedaulatan rakyat selama ratusan tahun masih dapat dilakukan dengan pakem, protokol, proses politik, serta institusi-institusi politik tradisional, seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, birokrasi. Demokrasi modern dianggap semakin usang.
Penyebab utamanya, menurut Yuval Noah Harari dalam buku masa depan manusia Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2017), adalah tingkat akselerasi kecanggihan teknologi yang menghasilkan kecerdasan artifisial (artificial intelligence) tidak dapat diikuti oleh kemampuan manusia membentuk institusi politik sejalan tingkat percepatan tersebut. Beberapa puluh tahun ke depan diprediksi bukan ramalan yang harus terwujud, tetapi kecenderungan yang mungkin diraih; kesahihan teknologi telah mampu menyusun data biokimia dalam algoritma sehingga organisme manusia sekadar algoritma. Manusia semakin mampu merekayasa organisme manusia.
Singkatnya, semua pengalaman manusia terdiri dari aspirasi, emosi, ambisi, dan pikirannya dapat diproses dalam sistem pemrosesan yang sedemikian canggih sehingga membahayakan kemanusiaan. Kecenderungan pemilih dalam pemilu serta pilihan barang dagangan oleh pelanggan dapat disetir algoritma. Kecanggihan menyusun algoritma memisahkan kemampuan intelijen dengan kesadaran.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan, ambisi manusia mencoba meraih kebahagiaan, imortalitas, serta keilahian. Manusia seakan ingin menjadi ”manusia Tuhan” (Homo Deus), melampaui evolusi manusia tertinggi kekinian, Homo sapiens. Data menjadi mahakuasa, pertarungan kemampuan pemrosesan megadata yang rumit menentukan siapa paling unggul dan menguasai dunia. Dewasa ini muncul religi baru yang disebut ”agama data”.
Dalam perspektif politik, Yuval mengatakan, ”Demokrasi akan pudar bahkan lenyap... lembaga-lembaga politik seperti pemilihan umum, partai politik, dan parlemen menjadi kedaluwarsa, bukan karena lembaga-lembaga tersebut tidak etis, melainkan tidak mampu memproses data lebih efisien….” (halaman 436).
Menghadapi tantangan semacam itu, bangsa Indonesia dilarang pesimistis, apatis, kehilangan harapan. Sebaliknya, harus waspada dan tidak mudah percaya omongan bahwa bangsa akan lenyap karena kalah pemilu. Retorika itu hanya takhayul politik yang dijadikan momok membuat rasa cemas dan legitimasi untuk tampil sebagai messiah.
Strategi politik kekuasaan yang membuat rakyat ketakutan akan melawan sejarah. Sejak bangsa dan negara Indonesia terbentuk, para pendiri bangsa gagah berani melawan kepentingannya sendiri dan golongannya untuk menjadi bangsa bersatu dalam keragaman. Sejarah perumusan ideologi Pancasila menjadi monumen kegagahan otentik bangsa Indonesia memuliakan kehidupan bersama dalam aneka kebinekaan primordial, agama, bahasa, serta kepercayaan.
Sikap gagah berani juga terpahat dalam sejarah kemerdekaan dan dilanjutkan dengan kemampuan menghadapi tantangan-tantangan berat lain yang mungkin kalau dialami bangsa lain akan menjadi porak poranda. Elite politik jangan karena daya pukau kekuasaan menjual rasa belas kasihan, memelas, mengekor kebijakan negara lain yang bertentangan dengan prinsip garis perjuangan kebijakan negara. Mereka dituntut memberikan keteladanan untuk menghadapi tantangan yang tidak sederhana, demokrasi yang semakin usang, agama data, serta ambisi korporat raksasa yang ingin meraih hasrat melebihi kodrat manusia sebagai ciptaan Tuhan.