Sublimasi Teoretikal Divestasi Freeport
Tulisan ini adalah catatan ketiga saya tentang divestasi PT Freeport Indonesia. Pertama (Kompas, 5/10/2017), catatan tentang strategi dasar usaha ”mengembalikan” PT Freeport Indonesia ke pangkuan Indonesia dengan corporate action: pendirian induk usaha industri pertambangan dan penunjukan seorang pakar finansial, Budi G Sadikin, di pucuk pimpinan PT Indonesia Asahan Aluminium.
Dengan dua langkah aksi ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, tokoh yang paling bertanggung jawab dalam pengembangan dan pemberdayaan BUMN kabinet Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019), memfokuskan perhatian pada akumulasi modal pertambangan dan membuka kemungkinan memperoleh daya finansial bagi divestasi saham PT Freeport Indonesia.
Nasionalisme ekonomi pasar
Dalam tulisan kedua, persis setahun kemudian (Kompas, 4/10/2018), saya menekankan interpretasi pada munculnya ”nasionalisme ekonomi pasar” sebagai landasan soft action yang mendorong aksi korporasi divestasi PT Freeport Indonesia tersebut tidak menjadi ledakan politik tingkat global ataupun
domestik.
Semua ini dimungkinkan karena the structure of event (struktur kejadian) yang berhubungan dengan Irian Barat (kini Papua) dan eksistensi PT Freeport Indonesia secara substansial telah berubah. Struktur kejadian sebelumnya lebih mencerminkan aksi ”nonpasar” atas titik tumpu yang sama. Akibat Konferensi Meja Bundar tahun 1949 yang tak konklusif atas nasib Irian, ledakan politik domestik 1956-1958 menjadi tak terhindarkan.
Dan, pendirian PT Freeport Indonesia secara insting politik tak lepas dari aksi nonpasar ini. Dukungan penuh Amerika Serikat (AS) di Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kedaulatan Indonesia atas Irian Barat menjadi latar belakang utama pendirian, kinerja, dan eksistensi PT Freeport Indonesia.
Walau seakan-akan dibalut prosedur mekanisme pasar (Undang-Undang Penanaman Modal Tahun 1967 dan kontrak karya), ”proteksi politik” rezim Orde Baru atas PT Freeport Indonesia juga mengandung elemen nonpasar. Struktur kejadian inilah yang menetap hingga awal periode Reformasi.
Sejak 2009, demi penyerapan tenaga kerja dan pengalihan teknologi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) berusaha membalikkan struktur kejadian dengan mewajibkan setiap korporasi pertambangan membangun instalasi pemurnian (smelter) sebelum melakukan ekspor.
Akan tetapi, usaha ini kian membuktikan kuatnya posisi PT Freeport Indonesia secara nonpasar. Kendati perintah itu dikukuhkan dengan undang-undang (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009), tarik ulur antara negara dan PT Freeport Indonesia terjadi hampir dalam posisi seimbang.
Dalam arti, hingga masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono berakhir, perintah undang-undang tersebut tak pernah terlaksana. Dengan negosiasi tertentu, ekspor dalam bentuk konsentrat PT Freeport Indonesia tetap berlangsung. Kita bisa menyimpulkan bahwa otoritas politik domestik pada saat itu bukanlah tandingan PT Freeport Indonesia.
Dengan melunasi pembelian saham PT Freeport Indonesia sebesar 3,85 miliar dollar AS pada Jumat, 21 Desember 2018, Presiden Joko Widodo merombak struktur kejadian yang sebelumnya didasarkan pada aksi nonpasar ini. Di sini, melalui aksi korporasi industri pertambangan Rini Soemarno, yang melahirkan kemampuan mengakumulasi dana tersebut, PT Freeport Indonesia dibawa ke dalam lingkungan mekanisme pasar.
Dan, seperti saya tulis sebelumnya, perombakan struktur kejadian ini kian dikukuhkan oleh hadirnya tokoh- tokoh ”Jokowinomics” yang telah memahami mekanisme pasar global secara teknikal dan profesional. Selain Rini Soemarno, tokoh-tokoh itu adalah Ignasius Jonan, Sri Mulyani Indrawati, dan Arcandra Tahar.
Ujung tombak kelompok tokoh ini adalah duet Budi G Sadikin dan Harry Fajar Sampurno. Sementara Budi bergerak menembus ”kabut” jaringan finansial global, Harry, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media, memberikan dukungan kebijakan birokrasi.
Pemberontakan atas penjajahan kesadaran
Dapatkah kita memberikan sublimasi teoretikal atas perubahan struktur kejadian ini?
Salah satu usaha menjawabnya, hemat saya, adalah dengan memperhatikan tokoh-tokoh yang tampil dalam gambar utama Kompas pada 20 dan 21 Desember 2018. Gambar pertama, dengan latar belakang kerangka besi Kalikuto, Kendal, Jawa Tengah, Kompas memperlihatkan Presiden Joko Widodo dan istri diapit oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Gambar kedua, Kompas memperlihatkan Presiden Joko Widodo sedang bersalaman dengan Direktur Freeport McMoran Richard Adkerson. Keduanya diapit Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Rini Soemarno, Direktur Utama PT Inalum Budi G Sadikin, dan Jaksa Agung M Prasetyo.
Tentu beragam tafsir bisa diberikan atas kedua gambar tersebut. Akan tetapi, dalam perspektif tertentu, saya ingin menyatakan, kedua gambar tersebut merefleksikan salah satu pertanda pengguliran sejarah baru ekonomi Indonesia dalam kerangka Jokowinomics.
Kata yang pada mulanya diperdengarkan Andrinof Chaniago dalam sebuah diskusi buku Prof Didin S Damanhuri pada 2014 ini saya konseptualisasikan dalam beberapa tulisan di Kompas. Dan, hampir bersamaan dengan itu, ekonom Arif Budimanta menguraikan lebih lanjut Jokowinomics ini dalam sebuah tulisan di The Jakarta Post (14/10/2014).
Belakangan, harian Bisnis Indonesia pada 2017 menerbitkan buku laporan ”keberhasilan” pembangunan ekonomi di bawah Presiden Joko Widodo dengan judul Jokowinomics: Sebuah Paradigma Kerja.
Tidak terlalu penting mendiskusikan inti Jokowinomics di sini. Cukuplah dikatakan di sini bahwa dalam tulisan sumbangan untuk buku Jokowinomics: Sebuah Paradigma Kerja di atas, saya menggunakan kata heresy (penyimpangan) untuk mencandra Jokowinomics. Istilah heresy ini saya pinjam dari sejarawan ekonomi Robert L Heilbroner.
Ketika menguraikan posisi pemikiran ekonom Inggris terkenal, John Maynard Keynes (1883-1946), dalam bukunya, The Worldly Philosophers: The Lives, Times, and Ideas of the Great Economic Thinkers (1972 [1953]), Heilbroner memberi judul The Heresies of John Maynard Keynes.
Mengapa? Karena pemikiran Keynes dianggap ”menyimpang” dari aliran utama ekonomi yang dominan. Jokowinomics dalam kacamata ekonom konvensional juga dianggap tidak lazim. Bagaimana mungkin ”membangun dari pinggiran”? Bukankah itu merupakan pertaruhan besar bagi ekonomi mengingat dukungan fiskal yang tak memadai? Bagaimana mungkin mengedepankan ”kemandirian” di tengah struktur ekonomi global yang kian saling tergantung?
Bagaimana mungkin menghadirkan negara dalam perekonomian ketika justru realitas politik-ekonomi global menuntut mundurnya otoritas politik dalam bisnis?
Akan tetapi, dua gambar di atas memperlihatkan sesuatu yang lain: titik-titik gerak sejarah ekonomi baru berdasarkan Jokowinomics. Jika gambar pertama menjadi pertanda ”runtuh”-nya mitos Herman Willem Daendels yang pada 1808-1811 sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda membangun jalan dari Anyer ke Panarukan, yang kedua ”meruntuhkan” kekuasaan modal global atas otoritas politik domestik. Yang terakhir ini ”menyempurnakan” pengambilalihan Inalum dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dari modal swasta Jepang dalam periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebagai titik-titik gerak sejarah ekonomi baru, hasil akhir Jokowinomics tentu masih harus kita saksikan. Akan tetapi, menggunakan istilah pemikir Perancis, Michel Foucault, Jokowinomics ini bisa kita lihat sebagai the insurrection of subjugated knowledges (pemberontakan pengetahuan yang tertindas).
Dalam usaha mencari penjelasan baru soal kekuasaan, Foucault menciptakan frasa menarik, subjugated knowledges, dalam ceramah pada 7 Januari 1976 yang dibukukan menjadi Society Must Be Defended: Lectures at the Collége de France 1975-1976 (1997).
Yang dimaksudkan dengan ini adalah endapan serial pengetahuan di tengah-tengah masyarakat yang tertindas di bawah supremasi narasi ilmu pengetahuan resmi dan baku. Dalam narasi yang dominan, konsepsi kekuasaan, ujarnya, sangat dipengaruhi pandangan legal formal dan fungsionalistik. Maka, politik dan kekuasaan, dalam pandangan Foucault, pada dasarnya adalah perlawanan serial endapan pengetahuan tertindas itu terhadap narasi mapan. Inilah yang disebut sebagai the insurrection of subjugated knowledges.
Tak mungkin menguraikan lebih panjang tema ini. Melalui alasan relevansi dengan divestasi PT Freeport Indonesia, cukuplah kita fokus pada penolakan Foucault atas konsepsi kekuasaan Marxisme. Yaitu pandangan bahwa kekuasaan adalah kekuatan yang berusaha menjamin keberlangsungan relasi produksi kapitalis untuk mereproduksi kelas kapitalis yang dominan. Sementara penolakan Foucault beranjak pada sifat fungsionalitasnya, dalam divestasi PT Freeport Indonesia kita melihat Jokowinomics sebagai pemberontakan kesadaran yang tertindas (the insurrection of subjugated consciousness).
Negara vs aktor kapital global
Aksi penyelesaian pembayaran 51 persen saham PT Freeport Indonesia pada Jumat, 21 Desember 2018, itu adalah sebuah pemberontakan terhadap kesadaran yang selama ini dipaksakan narasi dominan akan ketidakmampuan negara berhadapan dengan aktor kapital global.
Dan, berbeda dengan formula Marxisme, pelaksanaan Jokowinomics melalui aksi divestasi itu bukan untuk mereproduksi dan memperkuat posisi kelas kapitalis. Namun, hal itu untuk menyempurnakan posisi kekuasaan ekonomi rakyat melalui peranan negara dalam jagat kapitalisme yang impersonal itu.
Di sini, melalui Foucault, kita bisa menyublimasikan Jokowinomics dalam sebuah kerangka teori besar: the insurrection of subjugated consciousness alias pemberontakan kesadaran yang tertindas oleh narasi besar dan resmi yang banyak dianut ekonom konvensional dewasa ini.
Fachry Ali Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia