Catatan Akhir Tahun Dunia Penerbangan Nasional
Ada tiga catatan penting di dunia penerbangan selama 2022, satu diantara-nya kehadiran negara yang belum optimal dalam melindungi rakyat dalam dua kecelakaan pesawat tragis terakhir. Posisi korban atau ahli waris lemah.
Tak terasa pengujung tahun segera menghampiri. Waktu tepat melakukan evaluasi dunia penerbangan nasional sepanjang 2022.
Banyak pihak menganggap penandatanganan perjanjian pengalihan Flight Information Region (FIR) RI-Singapura sebagai karya teragung tahun ini. Tak salah mendalilkan demikian meski perjanjian itu hingga Desember ini belum efektif.
Tiga catatan
Setidaknya ada tiga catatan penting di dunia penerbangan selama 2022. Pertama, kehadiran negara belum optimal dalam melindungi rakyat dalam dua kecelakaan pesawat tragis terakhir. Pihak terlemah tak lain penumpang yang menjadi korban maupun ahli waris.
Manusia selaku individu berhadapan dengan industri besar, termasuk pabrikan berskala global. Alhasil, upaya mengejawantahkan keadilan terkait penentuan jumlah ganti kerugian berpotensi bias. Tragedi kelam Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta- Pontianak tentu masih terkenang di benak masyarakat.
Baca juga : Aneka Pertanyaan tentang FIR
Penerbangan naas 9 Januari 2021 ini menelan 62 korban jiwa tanpa seorang pun luput dari maut. Setahun lebih berselang, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memaparkan hasil investigasi akan dugaan faktor penyebab kecelakaan di Rapat Dengar Pendapat Komisi V DPR (3/11/2022). Tujuan utama investigasi KNKT mencegah terulangnya kecelakaan serupa di kemudian hari.
Di forum yang sama, Kementerian Perhubungan menyampaikan, 27 ahli waris belum menerima ganti rugi. Fakta ini perlu dilihat sebagai fenomena gunung es jika mengedepankan perspektif perlindungan konsumen. Menjadi problematik seandainya keterlambatan ganti kerugian terjadi akibat polemik penandatanganan klausul release and discharge.
Ketentuan ini terkait kesepakatan ahli waris untuk tak menggugat maskapai beserta para pihak terkait setelah menerima kompensasi Rp 1,25 miliar.
Polemik terkait klausul ini juga mengemuka pada tragedi Lion Air JT-610, Oktober 2018. Besaran Rp 1,25 miliar berlaku hanya bagi penerbangan domestik, sesuai Peraturan Menteri Perhubungan No 77/2011.
Sangat logis keluarga korban menolak klausul ini. Ada kemungkinan korban berpenghasilan tinggi sehingga kompensasi Rp 1,25 miliar tak memadai. Hak perdata untuk menggugat pabrikan pesawat tetap terbuka lebar berkaca dari kasus Lion Air JT-610 Boeing 737 MAX.
Ilustrasi
Rezim konvensi Warsawa 1929 maupun Montreal 1999 mengatur pertanggungjawaban maskapai pada rute internasional, dengan sistem two-tier liability. Maskapai beserta agen tetap bertanggung jawab atas kecelakaan pesawat yang mengakibatkan tewasnya penumpang, berupa pemberian kompensasi hingga suatu jumlah maksimal.
Batasan hingga jumlah maksimal itu tak berlaku sehingga menjadi ”tak terhingga” jika kecelakaan terjadi akibat kelalaian maskapai. Keluarga korban bisa mengajukan total kompensasi berdasar perhitungan potensi pendapatan, inflasi, dan angka harapan hidup. Alhasil, sistem two-tier liability menciptakan jaring pengaman bagi korban, maskapai dan industri asuransi.
Faktanya, UU No 1/2009 tentang Penerbangan beserta Permenhub No 77/2011 mengadopsi roh konvensi Warsawa-Montreal. Kehadiran sistem two-tier liability di Indonesia termuat dalam Pasal 141 Ayat (2) UU No 1/2009. Tertera jelas maskapai penerbangan dilarang membatasi tanggung jawab. Maka, segala perjanjian dengan ahli waris memuat klausul release and discharge menjadi batal demi hukum, alias tidak pernah ada.
Faktanya, UU No 1/2009 tentang Penerbangan beserta Permenhub No 77/2011 mengadopsi roh konvensi Warsawa-Montreal.
Sayangnya, perihal advance payment belum teradopsi di Permenhub No 77/2011. Adanya pembayaran di muka tak kalah penting mengingat mandat konvensi Warsawa-Montreal ialah pemberian ganti kerugian selekas mungkin. Tujuannya, agar kehidupan yang ditinggalkan tak seketika berubah drastis.
Sebagai contoh, pemenuhan biaya pendidikan, berobat, atau cicilan rumah tetap terpenuhi dalam jangka pendek.
Pemerintah seyogianya merevisi Permenhub No 77/2011 agar mengakomodasi kompensasi bertahap guna meringankan derita. Pada saat bersamaan meningkatkan besaran kompensasi, baik untuk korban jiwa atau cedera fisik. Angka tertera sudah tak relevan jika mengacu inflasi satu dekade ini.
Kedua, terkait urgensi penunjukan Dirjen Perhubungan Udara. Pos krusial jangan sampai kosong atau diemban pejabat pelaksana tugas. Salah satu komponen penilaian International Civil Aviation Organization (ICAO) Universal Safety Oversight Audit Programme ialah organisasi. Penetapan pejabat definitif mengukuhkan keseriusan Indonesia menjunjung tinggi keselamatan penerbangan.
Pribadi terpilih akan termotivasi karena tak sekadar mengisi kekosongan. Kuasa melekat pada jabatan definitif perlu dilihat sebagai kesempatan menciptakan kebijakan berkualitas.
Salah satu tanda tanya besar ialah keputusan Indonesia tak mencalonkan diri pada pemilih- an anggota ICAO Council 2022- 2025. Selain soal prestise, keanggotaan ini strategis dalam upaya mengawal pengambilalihan FIR. Sangat disayangkan mengingat beberapa negara terpilih tak memiliki kontribusi sesignifikan Indonesia dalam penyelenggaraan pelayanan navigasi udara. Indonesia tengah memimpin G20 saat pemilihan berlangsung. Lobi dapat digalakkan jika kesadaran telah ada.
Kehadiran dirjen definitif yang mumpuni diharapkan membawa angin segar. Implementasi ASEAN-EU Open Skies segera terjadi. Kemenhub menghadapi tantangan mengejawantahkan kompetisi sehat hingga batasan subsidi, termasuk bagi penerbangan code-share.
Perjanjian multilateral ini ikut menciptakan kesempatan bagi maskapai ASEAN menerbangi rute Eropa. Dewasa ini maskapai Timteng mendominasi berbekal keunggulan geografis bandara mereka. Status quo mungkin berubah. Jangan sampai peluang kembali terbuang.
Kemenhub perlu menambah bandara pengumpul seandainya konsep hub and spoke dipertahankan.
Konektivitas antardaerah
Catatan terakhir terkait konektivitas antardaerah. Sejumlah transit dominan, melalui Jakarta, meski rute penerbangan domestik berasal dari dan menuju pulau lain. Ini imbas konsep bandara pengumpul dan pengumpan (hub and spoke).
Permenhub No PM 39/2019 yang mengatur tatanan kebandaraan nasional bertujuan mendorong kesetaraan akses transportasi udara. Namun, penerapannya belum ideal sehingga menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat di luar Jawa. Tercipta penambahan jarak, waktu tempuh, dan biaya perjalanan.
Kemenhub perlu menambah bandara pengumpul seandainya konsep hub and spoke diperta- hankan. Sejalan dengan reservasi Indonesia pada multilateralisme ASEAN Open Skies per se, lima kota bandara pengumpul ialah Denpasar, Jakarta, Makassar, Medan, dan Surabaya. Beberapa opsi tambahan kota antara lain Balikpapan atau Samarinda (sehubungan akses IKN) dan terpenting di Sumatera maupun Indonesia timur.
Secara paralel, pemerintah perlu bekerja keras mendorong maskapai memindahkan kantor pusat ke bandara pengumpul selain Soekarno-Hatta. Tanpa itu, hub and spoke ibarat sekadar di atas kertas dan Jawa-sentris. Ketergantungan pesawat dari Jakarta demikian tinggi sehingga setiap keterlambatan dari dan menuju Soekarno-Hatta memengaruhi jadwal di bandara lain secara signifikan.
Realistis seandainya sejumlah maskapai enggan meninggalkan Soekarno-Hatta. Jika pemerintah berkemauan kuat, Pelita Air selagi tengah mencari jati diri dapat diminta pindah. Alasan logisnya, Pelita Air mendapatkan sokongan Kementerian BUMN, sesuatu yang tidak dimiliki maskapai swasta.
Salah satu tujuan ideal ialah Bandara Kualanamu, berbekal investasi GMR Airports Consortium asal India. Bandara ini berambisi menjadi hub Asia Selatan. Sinergi dapat menciptakan jembatan udara yang kokoh, dimulai dengan meningkatkan konektivitas antarkota di Sumatera. Jangan ragu untuk mengambil langkah pertama.
Ridha Aditya Nugraha Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya