Tantangan Perbankan 2019
Sekalipun 2019 sarat dengan peristiwa politik seperti pemilu presiden dan pemilihan legislatif, bank umum diharapkan tetap mampu menghadapi segunung tantangan. Bagaimana bank umum menghadapi tantangan seraya menggapai harapan pada 2019?
Sejauh mana kinerja bank umum? Kredit mampu tumbuh 13,63 persen dari Rp 4.374,04 triliun per Oktober 2017 menjadi Rp 4.970,10 triliun per Oktober 2018. Namun, dana pihak ketiga (DPK) hanya tumbuh 7,53 persen dari Rp 4.932,35 triliun menjadi Rp 5.303,58 triliun, yang menyiratkan gersangnya likuiditas. Akibatnya, rasio kredit terhadap DPK (loan to deposit ratio/LDR) naik signifikan dari 88,68 persen menjadi 93,71 persen melewati ambang batas rasio ideal 78-92 persen.
Apa saja tantangan bank umum? Lantas, langkah tegap apa saja untuk mampu menghadapi tantangan 2019?
Sejumlah tantangan
Pertama, tekanan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed Fund Rate/FFR). Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR) 25 basis poin (bps) dari 5,75 persen menjadi 6 persen. Selama 2018, BI telah menaikkan BI 7 DRRR sebanyak enam kali sebesar 175 bps, dari 4,25 persen pada 19 April 2018 menjadi 6 persen pada 15 November 2018.
Seperti telah diduga, FFR naik lagi 25 bps menjadi kisaran 2,25-2,5 persen pada 20 Desember 2018. Sebaliknya, BI tetap mempertahankan suku bunga acuan 6 persen. Namun, ketika FFR yang diprediksi akan naik dua kali pada 2019, BI rasanya sulit untuk tidak mengikutinya. Pasti, kenaikan BI 7 DRRR itu bertujuan untuk memelihara imbal hasil investasi asing agar tetap cantik sehingga dapat menahan derasnya dana pulang kampung. Celakanya, kenaikan suku bunga acuan itu akan mendorong kenaikan suku bunga deposito lantaran bank umum harus mengeluarkan biaya lebih besar berupa suku bunga deposito yang lebih tinggi.
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 19 Desember 2018 menunjukkan, suku bunga rata-rata deposito (dalam rupiah) menebal 22 bps dari September 2018 menjadi Oktober 2018. Inilah rinciannya. Suku bunga rata-rata deposito naik dari 6,28 persen menjadi 6,50 persen untuk tenor satu bulan dan dari 6,29 persen menjadi 6,46 persen untuk tenor tiga bulan.
Untuk tenor enam bulan, suku bunga rata-rata deposito naik dari 6,42 persen menjadi 6,57 persen, sedangkan untuk tenor 12 bulan naik 6,46 persen menjadi 6,54 persen. Hal itu bisa menyulut kembali perang suku bunga deposito. Tapi, suku bunga kredit justru turun. SPI mencatat suku bunga rata-rata kredit (dalam rupiah) menipis 33 bps, dengan rincian kredit modal kerja dari 10,63 persen menjadi 10,50 persen dan kredit investasi dari 10,54 persen menjadi 10,38 persen. Untuk kredit konsumsi, dari 11,90 persen menjadi 11,83 persen.
Kedua, ketika suku bunga deposito naik, tetapi suku bunga kredit turun, maka margin bunga bersih (net interest margin/NIM) akan menipis. Tengok saja, NIM menipis dari 5,14 persen pada September 2018 menjadi 5,13 persen per Oktober 2018. Dalam setahun, NIM menipis 19 bps dari 5,32 persen per Oktober 2017 menjadi 5,13 persen per Oktober 2018. Akan tetapi, bank umum tidak akan mati angin.
Ketiga, mengapa kredit konsumsi menipis 7 bps dari 11,90 persen menjadi 11,83 persen? Upaya itu diambil untuk lebih menarik nasabah agar tetap menikmati sedapnya kredit konsumsi yang merupakan kredit perseorangan dengan aneka bentuk. Sebut saja, kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), kredit kendaraan bermotor (KKB), kartu kredit, dan kredit tanpa agunan (KTA). Upaya itu merupakan jurus untuk mengimbangi penipisan NIM (net off).
Untunglah, kini terdapat 245 proyek strategis nasional (PSN) ditambah dua program, yakni program kelistrikan dan industri pesawat terbang. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 58/2017 tentang Perubahan atas Perpres No 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN. PSN yang meliputi 15 sektor pada tingkat proyek dan dua sektor pada tingkat program dengan biaya Rp 4.197 triliun itu merupakan tantangan sekaligus harapan bagi bank umum. Data itu muncul dalam Seminar Kebangkitan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sektor Perhubungan yang digelar Pusat Studi BUMN pada 28 Agustus 2018 di Jakarta.
Untuk itu, bank umum—terutama papan atas—akan terus menggenjot kredit infrastruktur. Proyek infrastruktur meliputi pembangunan jalan tol, jalan kereta api termasuk mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT), jembatan, bandara, pelabuhan laut, irigasi, dan pusat tenaga listrik. Ujung-ujungnya, pendapatan dari bunga akan mengalir deras.
Keempat, tantangan berupa persaingan perbankan pun makin sengit. Jangan lupa CIMB Niaga sudah masuk dalam kelompok bank umum kategori usaha (BUKU) 4 (modal inti di atas Rp 30 triliun) bersama BRI, Bank Mandiri, BCA, dan BNI. Bank Panin dan Bank Danamon segera menyusul dengan modal inti masing-masing sekitar Rp 28 triliun. Itu berarti serbuan bank asing bakal lebih kencang.
Sayangnya, bank umum papan bawah bisa merana dalam menghadapi persaingan demikian ketat. Mengapa? Karena mereka belum sanggup merebut rezeki dari kredit infrastruktur yang dibungkus dalam kredit sindikasi. Akhirnya, mereka harus terjun dalam perang suku bunga deposito dengan menawarkan suku bunga lebih tinggi.
Untuk itu, OJK hendaknya tetap mempertahankan kebijakan batas atas (capping) suku bunga deposito bagi BUKU 3 (modal inti Rp 5 triliun-Rp 30 triliun) dan BUKU 4 masing-masing sebesar 100 bps dan 75 bps di atas suku bunga acuan 6 persen. Kebijakan itu akan memberikan ruang cukup lebar bagi bank umum papan bawah untuk meraih likuiditas.
Kelima, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) pun menjadi tantangan berat meski telah menipis dari 2,96 persen per Oktober 2017 menjadi 2,65 persen per Oktober 2018 di bawah ambang batas 5 persen. Kegagalan perundingan untuk meredam perang dagang antara AS dan China dapat menggoyang ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi yang lesu dapat menekan laju kredit perbankan.
Berebut potensi rezeki
Keenam, bank umum juga makin tertekan oleh serangan financial technology (fintech) atau perusahaan teknologi finansial (tekfin) yang tumbuh begitu subur. Selama ini, bisnis perusahaan tekfin yang mencorong adalah peer to peer lending atau (P2P) lending. Bisnis itu merupakan layanan keuangan digital untuk mempertemukan pihak yang membutuhkan pinjaman dan pihak yang memberikan pinjaman.
Namun, simpanan (investasi) itu tidak dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang berarti potensi risiko terbuka lebar. Ini sungguh layak menjadi perhatian investor.
Kini muncul perbedaan antara fintech atau tekfin dan technology finance (techfin). Perusahaan yang hanya memanfaatkan teknologi dalam bisnis keuangan dapat dikategorikan sebagai techfin. Sebaliknya, perusahaan yang memanfaatkan teknologi dalam bisnis keuangan dan menawarkan model bisnis yang berbeda dengan bisnis perbankan dapat dikategorikan sebagai fintech (tekfin). Katakanlah, perusahaan tekfin yang menyajikan layanan lebih cepat dan mudah karena tidak memerlukan pertemuan tatap muka dan bahkan agunan.
Sekalipun saat ini volume pembiayaan tekfin masih kecil, kelak akan terus membengkak, yang bisa menggerus pangsa pasar bank umum. Karena itu, bank umum harus berdamai dengan perusahaan tekfin dengan menggandeng mereka untuk meraup laba lebih tinggi. Ada kiat lain, bank umum dapat membentuk perusahaan modal ventura sebagai kendaraan untuk menempatkan dana di perusahaan tekfin yang pasti membutuhkan modal besar untuk penetrasi pasar.
Investor asing pasti sudah melirik potensi rezeki yang amat gurih dengan memeluk perusahaan tekfin. Untuk itu, OJK perlu membatasi mayoritas kepemilikan saham tekfin lokal oleh investor asing maksimal 40 persen sehingga pelaku bisnis nasional masih memiliki kendali yang lebih perkasa.
Apakah perusahaan tekfin tanpa risiko? Pasti ada. Simak saja, suku bunga kredit yang mencekik leher dan cara penagihan yang kasar. Anehnya, OJK belum sudi mengatur tingkat suku bunga kredit itu. Untuk itu, konsumen sebaiknya lebih waspada mengingat ada 227 aplikasi pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi tidak terdaftar. Mayoritas di antaranya buatan asing dan dari China (Kompas, 28/7/2018). Sebelum telanjur terjebak investasi dan pinjaman online bodong, hendaknya konsumen mengunjungi laman OJK untuk mengetahui perusahaan tekfin yang telah berizin.
Ketujuh, untuk membentengi diri dari serangan perusahaan tekfin, bank umum patut menggalakkan laku pandai. Laku pandai adalah kegiatan jasa layanan perbankan dan jasa keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor lembaga keuangan secara fisik. Bisnis itu memanfaatkan teknologi dan bekerja sama dengan bank, terutama untuk melayani masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan. Konsumen tak perlu memiliki rekening bank, tetapi cukup nomor seluler untuk mengirim atau menerima kiriman uang melalui perbankan.
Sejatinya, laku pandai juga mampu menciptakan kesempatan kerja baru. Dengan bahasa lebih bening, masyarakat dapat menikmati legitnya bisnis ini dengan jadi agen sebagai kepanjangan tangan bank untuk melayani nasabah. Kini telah muncul Rumah Sahabat Desa sebagai agen laku pandai dalam melayani transaksi keuangan nasabah di perdesaan. Rasanya, model bisnis itu bisa disebut sebagai tekfin rasa desa. Perusahaan asuransi dan pegadaian juga dapat menawarkan produk asuransi dan gadai melalui laku pandai. Inilah kiat praktis menjaring konsumen dan keuntungan. Berbekal aneka langkah tegap demikian, bank umum sangat diharapkan dapat menghadapi tantangan 2019 dengan kepala lebih tegak.
Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI