Pidato terakhir Kaisar Jepang Akihito, yang akan turun takhta pada 30 April 2019, menutup era kekaisaran Jepang pasca-Perang Dunia II.
Kaisar Akihito menyatakan dua pernyataan monumental yang akan dikenang rakyat Jepang sebagai babak akhir era Heisei. Pidato pertama adalah saat ulang tahunnya yang ke-85 pada 22 Desember 2018, yang kedua adalah pidato Tahun Baru pada 2 Januari 2019.
Inti pidato Akihito adalah ucapan pamit dan rasa syukurnya bahwa selama era kekaisarannya Jepang tidak pernah mengalami perang. Pernyataan ini sangat penting bagi Akihito karena ia merasakan pahit getirnya dampak Perang Dunia (PD) II. Terlebih saat ayahnya, Kaisar Hirohito, mendeklarasikan Jepang kalah perang. Pernyataan kalah perang itu dideklarasikan setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh pesawat Amerika Serikat (AS) pada Agustus 1945 yang total menewaskan sekitar 200.000 jiwa.
Dampak pasca-PD II juga berlanjut ketika AS menduduki kepulauan Okinawa sampai 1972 dan sampai kini wilayah itu menjadi pangkalan militer AS. Kehadiran pasukan AS di Jepang merupakan konsekuensi dari Konstitusi Jepang yang pasifis. Negeri ini tak memiliki pasukan militer, tetapi mempunyai pasukan pembela negara dan tidak boleh berperang. Konstitusi ini juga menempatkan seorang kaisar hanya sebagai simbol dan tidak memiliki kekuasaan politik.
Akihito merasa nyaman dengan posisi itu yang mendorong kerajaan menjadi lebih terbuka dan lebih dekat dengan rakyat. Di era Akihito, keluarga kerajaan memberikan kepedulian yang besar pada perdamaian, kelompok minoritas, dan penyandang disabilitas. Kecintaan rakyat kepada Akihito tecermin dari kerelaan untuk mengabulkan permintaan abdikasi Akihito karena alasan kesehatan.
Putra Mahkota Pangeran Naruhito akan menggantikan Akihito pada 1 Mei 2019. Naruhito akan memulai tugasnya saat Jepang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Tak hanya itu, Jepang juga dalam satu dekade terakhir bergeser pandangannya terhadap konstitusi yang pasifis, khususnya sejak kekuasan Perdana Menteri Shinzo Abe.
Sejak terpilih kembali sebagai perdana menteri pada September lalu, Abe meneguhkan ambisinya untuk mengubah konstitusi Jepang. Ambisi itu didasari pandangannya akan ancaman keamanan, khususnya dari Korea Utara yang sepanjang 2017 terus menggelar uji coba rudal, yang mampu mencapai Jepang. Kekuatan militer dan ekspansi China di kawasan juga mendasari pertimbangan itu. Perubahan konstitusi merupakan isu tabu bagi rakyat Jepang yang tak ingin mengalami perang lagi. Namun, isu keamanan yang dimainkan Abe perlahan mengubah persepsi ini sehingga dukungan terhadap perubahan konstitusi terus menguat.
Kondisi seperti inilah yang akan dihadapi Naruhito kelak. Akankah ia ”tunduk” pada ambisi Abe atau berpegang teguh pada ideologi cinta damai dan pasifis yang dianut ayahnya? Waktu yang akan menentukan.