Pemimpin Besar Revolusi Indonesia
Menjelang pilpres, ada baiknya kita membuka sekelumit sejarah sebagai bahan pembelajaran agar kita tidak mengulang sejarah yang buruk, terutama di era Bung Karno sebagai presiden,
Kala itu, pergolakan perpolitikan nasional diwarnai berbagai konflik multidimensi berupa kepentingan ideologi, partai, dan juga daerah. Alhamdulillah, bangsa ini dapat melewati masa itu dengan selamat.
Presiden pertama Indonesia, Bung Karno, sebagaimana kita ketahui, juga dikenal sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa besar kepemimpinan Bung Karno di kancah perpolitikan nasional di waktu itu, yang masih diwarnai konflik ideologi yang demikian tajam. Akan tetapi, Bung Karno tetap pada garis perjuangannya: bahwa Pancasila, kegotongroyongan, merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar. Hal ini ditunjukkan dalam beberapa sikapnya di tengah perpolitikan nasional waktu itu.
Pascapemilihan umum pertama tahun 1955, di bawah pemerintahan/Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi), ketika muncul empat partai besar—PNI, Masyumi, NU, dan PKI—Bung Karno menyampaikan gagasan ”Kabinet Kaki Empat” yang didukung empat partai terbesar pemenang pemilihan umum tersebut. Namun, yang kemudian terbentuk adalah Kabinet Ali/Roem/Idham (koalisi PNI/Masyumi/NU). PKI tidak masuk kabinet.
Setelah terbentuk Kabinet Ali/Roem/Idham, kondisi perpolitikan nasional ternyata juga belum mantap. Kabinet itu hanya berusia 17 bulan. Sementara di Konstituante, yang terpilih secara demokratis itu, kesepakatan dasar negara tidak tercapai.
Selain itu, pergolakan daerah mulai muncul. Ada PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara yang melibatkan beberapa tokoh nasional. Bung Karno sudah tentu kecewa dengan kondisi seperti itu dan bahkan kecewa dengan peran partai-partai politik yang ada. Bung Karno kemudian menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet dan terbentuklah Kabinet Djuanda (nonpartai).
Dampaknya, Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Terbitlah tulisan Bung Hatta yang terkenal dengan judul ”Demokrasi Kita” di majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Buya Hamka.
Dalam kondisi seperti itu, Bung Karno menilai perlunya mempersatukan kembali potensi bangsa. Kondisi perpolitikan nasional sampai pada kesimpulan perlunya mengeluarkan tindakan khusus mengingat pendekatan musyawarah sudah tertutup. Keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Menakjubkan, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memperoleh dukungan luas, termasuk dari partai-partai politik Islam. Bung Karno, sebagai presiden, dengan demikian memikul tanggung jawab sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Namun, konflik-konflik politik di antara kekuatan politik tetap tidak terbendung.
Sementara di sisi lain, Perang Dingin antara Blok Barat (AS dkk) dan Timur (Rusia dkk) semakin memuncak. Kondisi ini wajar apabila lebih menguntungkan PKI sebagai bagian dari kekuatan komunisme internasional. Ofensif PKI semakin meningkat, antara lain tuntutan terhadap pembubaran partai/organisasi yang dinilainya ”kontrarevolusi”, di antaranya Masyumi, PSI (Partai Sosialis Indonesia), dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), berhasil dibubarkan.
Namun, tuntutan terhadap pembubaran HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) gagal. Bung Karno secara tegas menolak tuntutan pembubaran HMI secara terbuka dalam rapat umum CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) di GBK, Senayan, hanya dua hari sebelum peristiwa G30S/1965. Polarisasi perpolitikan nasional menjadi Bung Karno, PKI, dan TNI (khususnya Angkatan Darat) meskipun semuanya bertumpu pada Bung Karno. Karena itu, Bung Karno—demi stabilitas nasional—disetujui diangkat sebagai presiden seumur hidup dalam Sidang MPRS tahun 1963.
Pilpres 2019
Tahun ini, 2019, kita akan memilih presiden dan wakil presiden. Akan tetapi, tentu saja bukan presiden seumur hidup atau Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Dengan proses demokratisasi yang terus berjalan, rasanya tidak akan lagi terpilih presiden seumur hidup atau Pemimpin Besar Revolusi meskipun esensi cita-cita Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, yaitu pengamalan Pancasila dan kegotongroyongan, tetap hidup. Presiden yang akan kita pilih hanya bertugas untuk lima tahun mendatang, dengan kondisi perpolitikan nasional yang telah mengalami banyak perubahan, terutama ketentuan konstitusi dan perundang-undangan pasca-Reformasi.
Konflik yang bersifat ideologis telah jauh berkurang meskipun aspek pengelolaan negara semakin kompleks. Siapa yang menduga, ada ribuan peraturan daerah yang dikabarkan tidak sesuai dengan perundang-undangan di atasnya. Inilah, antara lain, konsekuensi pilihan otonomi daerah sehingga kemandirian daerah tingkat I dan II begitu luas. Siapa pun yang terpilih tidak akan mudah melaksanakan tugasnya tanpa dibantu seluruh warga masyarakat.
Sementara di sisi lain, kualitas sumber daya manusia kita juga masih perlu ditingkatkan, khususnya dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Kemampuan kompetisi di forum global sangat menentukan masa depan Indonesia.
Oleh karena itu, Pilpres 2019 tidak boleh dianggap sebagai Perang Bharatayudha, sebagaimana digambarkan dalam cerita pewayangan, di mana pemenangnya menghancurkan lawannya. Betapapun sengit pertarungan dua kubu capres-cawapres, pilpres harus semakin mendekatkan kita pada kesejahteraan rakyat, keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang ditandai dengan semakin menurunnya koefisien gini, meningkatnya ketahanan nasional, sehingga cita-cita untuk berdikari semakin didekati. Hal ini hanya akan dapat tercapai kalau semangat gotong royong dapat terwujud, ketika pemenang pilpres dan yang kalah bisa bekerja sama membangun bangsa, sehingga mobilisasi potensi bangsa maksimal.
Semoga partai-partai pendukung capres-cawapres dapat menyertai sikap ini sehingga jumlah partai yang banyak tidak menjadi penghambat terwujudnya rekonsiliasi nasional pascapemilu.
Sulastomo Ketua Umum PB HMI Periode 1963-1966