Awal Tahun
Tepat satu minggu yang lalu, Anda membaca tulisan saya yang berjudul ”Akhir Tahun”. Dalam tulisan itu ada tiga hal yang akan saya akhiri. Tidak lagi membandingkan hidup saya dengan orang lain, mau mengakhiri ketidakkonsistenan dalam keputusan yang diambil, dan tidak lagi memercayai siapa pun, termasuk diri saya sendiri.
Tidak percaya
Hari ini, saya menulis dengan judul ”Awal Tahun”. Tadinya saya berencana menulis tentang perbuatan baik apa yang patut saya awali untuk dilakukan. Ternyata, belum juga keputusan perbuatan baik itu ditetapkan, saya sudah tersenyum sinis pada sebuah pesan masuk dari seorang teman lama.
Sejak beberapa tahun lalu, saya telah memutuskan untuk tidak lagi berteman dengannya. Tidak memusuhi, tetapi tak mau lagi berteman. Ada sebuah kalimat dalam pesan itu yang mengatakan bahwa ia rindu dengan saya.
Nah, karena akhir tahun lalu saya sudah memutuskan untuk tidak lagi memercayai orang, maka pesannya itu tak saya gubris sama sekali. Saya tak percaya dengan kalimat dalam pesan itu. Sebab, beberapa tahun lalu perkataan semacam itu juga yang telah membuat saya memutuskan untuk tidak berteman lagi.
Di saat saya membuat tulisan ini, otak saya berpikir. Apakah tidak memercayai orang lain itu adalah suatu bentuk perbuatan baik? Buat saya, yang sudah mengalami hidup seperti ayunan, dan menghadapi tabiat sejuta manusia termasuk diri saya sendiri, tidak memercayai itu baik. Saya tak tahu kalau untuk Anda sekalian.
Teman saya itu dulu pernah berteman cukup dekat dengan saya. Awalnya, kami bertemu melalui pekerjaan dan kemudian menjadi teman. Kalau saya melihat kembali kehidupan sosial saya, sebagian besar pertemanan yang saya dapatkan terjadi seperti itu.
Niat untuk tidak memercayai orang lain, juga diri saya sendiri, timbul karena saya ini orang yang mudah sekali memercayai orang, apalagi kalau dalam tahun berjalan mereka tetap memperlihatkan perbuatan yang baik.
Akan tetapi, saya sering lupa, kalau orang berbuat baik di tampilan luarnya, itu tak selamanya didasari dengan niat yang baik. Perbuatan baik itu tidak sama dengan orangnya memang baik. Ada perbuatan baik yang dapat dilakukan dengan niat yang sama sekali tidak baik, dan dilakukan dari orang yang dikenal jahat.
Pepesan kosong
Contoh paling mudah adalah pesan teman lama saya di atas itu. ”Kangen banget, Mas, sama dirimu.” Dan kerinduan itu pun tak dieksekusi segera. Padahal, dalam kata kangen itu ada sense of urgency-nya. Ada yang setelah beberapa bulan gendang telinga saya mendengar kerinduan palsu itu, sampai tulisan ini Anda baca, kerinduan itu hanya seperti pepesan kosong.
Maka, awal tahun ini saya mau melakukan sebuah perbuatan baik dengan tidak memercayai pepesan kosong. Sebab, tidak memercayai orang telah memberikan rasa yang membahagiakan. Hal itu tentu buat saya. Saya tak tahu apakah mereka bahagia membuat pepesan kosong.
Kebahagiaan itu timbul karena saya tak lagi berharap apa pun atas janji yang meluncur dengan mudahnya dari lidah tak bertulang. Tidak memberi kepercayaan buat saya bukan semata-mata karena saya memiliki isu kepercayaan terhadap orang lain. Akan tetapi, ternyata, tidak memercayai itu jadi sebuah isu kebahagiaan yang membuat saya menjalani hidup dengan lebih legawa.
Bukankah kebahagiaan dan kelegawaan adalah hal penting yang diperlukan untuk menjadi bekal menjalani kehidupan yang tak semakin lebih mudah ini? Sebab, saya ini selalu percaya, problema kehidupan akan lebih mudah dihadapi kalau dihadapi dengan batin yang bahagia dan perasaan yang legawa.
Saya pernah menghadapi kehidupan yang porak poranda dengan hati dan jiwa yang juga porak poranda. Saya menjalani kehidupan dengan memercayai banyak pepesan kosong dengan sejuta alasan yang masuk akal sehingga pepesan yang sejatinya kosong itu terlihat seperti pepes tahu yang nikmat.
Seperti saya tuliskan minggu lalu, saya sering tidak konsisten terhadap apa yang saya putuskan untuk dijalani. Maka, awal tahun yang baru ini akan menjadi titik awal untuk benar-benar menjadi konsisten dalam keputusan yang saya buat.
Saya akan konsisten untuk tidak memercayai siapa pun lagi dan ingin menjalani kehidupan dengan rasa bahagia. Maka, pesan yang mirip pepesan kosong yang keluar dari mulut tak bertulang yang akan saya jumpai dalam waktu berjalan tak akan lagi saya percayai.
Semoga kebahagiaan batin dan kelegawaan saya menjadi alarm ketika ada pepesan kosong yang mencoba disodorkan kepada saya. Kalau kemudian ada yang merasa saya berubah dan menjadi orang ”lain”, saya sangat menghargai hak mereka untuk berpikir demikian, seperti hak menebar pepesan kosong dari lidah yang tak bertulang.