Tsunami Selat Sunda
Bencana kembali melanda negeri tercinta. Belum usai derita penduduk Pulau Lombok akibat gempa tektonik, 29/7/2018, datang gempa diikuti tsunami-likuefaksi di Palu-Donggala, Sulawesi Tengah, 28/9/2018. Sabtu (22/12/2018), masyarakat dikejutkan lagi oleh bencana tsunami vulkanik di pesisir pantai Pandeglang, Banten, dan Lampung Selatan, Lampung.
Akibat bencana Sabtu malam itu, sementara tercatat 437 orang meninggal, 10 orang hilang, ribuan orang luka-luka, dan puluhan ribu warga mengungsi. Mereka tercabut dari akarnya.
Kesimpulan para ahli dari lembaga-lembaga terkait, seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Geologi, serta Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, tsunami di Selat Sunda terjadi akibat longsornya lereng atau dinding Gunung Anak Krakatau yang tengah erupsi.
Namun, sebelumnya terjadi simpang siur informasi. Lembaga terkait, terutama BMKG, sempat salah memberikan informasi. Bak kebakaran jenggot, lembaga-lembaga terkait lain pun ikut bereaksi. Tampaklah bagaimana kurang koordinasinya lembaga terkait dalam menyikapi bencana tsunami ini.
Gunung Anak Krakatau lahir tahun 1927. Di usianya yang ke-91, sudah ratusan kali gunung ini meletus, besar atau kecil. Dengan demikian, para ahli dan lembaga-lembaga yang berkompeten seharusnya sudah paham karakter Anak Krakatau berikut potensi ancamannya bagi lingkungan dan masyarakat.
Kajian-kajian ilmiah itu, menurut saya, sudah lebih dari cukup untuk memahami Anak Krakatau. Oleh karena itu, saya sungguh tidak bisa mengerti mengapa pihak yang berwenang terkesan gagap ketika gunung api ini erupsi.
Benar apa kata Mbah Rono (Dr Surono), pakar geologi, bahwa alam tak pernah berbohong. Oleh sebab itu, kita juga harus jujur menyikapinya. Kerja sinergi dan koordinasi sangat diperlukan dalam memahami dan menanggulangi bencana tsunami di Selat Sunda ini.
Kita hidup di negeri yang rawan bencana: kawasan cincin api, pertemuan lempeng, dan dikelilingi samudra luas. Oleh karena itu, kesiapsiagaan menghadapi bencana sangat diperlukan agar mampu mengamankan masyarakat sehingga tidak menjadi korban sia-sia.
Budi Sartono
Cilame,
Kabupaten Bandung Barat
Berdasar Egogram
Saat ini, egogram menjadi salah satu pertimbangan personalia dalam menerima karyawan karena bisa menggambarkan diri seseorang dari tingkat kepedulian, moral, tanggung jawab, hingga kemampuan bersaing.
Egogram diperkenalkan oleh Eric Berne. Egogram membagi ego manusia menjadi tiga: orang tua (O), dewasa (D), dan kanak-kanak (K). John M Dusey kemudian membaginya menjadi lima ego. Orang tua kritikal (OK), orang tua pengasuh (OP), dewasa (D), kanak-kanak bebas (KB), dan kanak-kanak suaian (KS).
Orang tua kritikal adalah keinginan menuntut, rasa keadilan, moral, tanggung jawab, hati nurani, dan keinginan mengatur seseorang. OK tinggi cocok jadi pemimpin.
Sementara orang tua pengasuh menandakan kebaikan hati, kasih sayang, toleransi, menerima apa adanya, empati, dan melindungi. Sifat OP tinggi jadi menyenangkan.
Dewasa menandakan kecerdasan, akal, ketenangan, logika, pengambilan keputusan. Seseorang dengan dewasa tinggi tenang, percaya diri, dan dapat mengatur emosi.
Kanak-kanak bebas menandakan kreativitas, kebebasan, rasa ingin tahu, spontanitas, kebahagiaan, kelincahan. Seseorang dengan kanak-kanak bebas tinggi bersifat spontan dan ekspresinya alami.
Adapun kanak-kanak suaian menandakan kejujuran, kerja sama, ketekunan, keberanian. Seseorang dengan kanak-kanak suaian tinggi adalah murid teladan.
Orangtua perlu mengenali egogram anaknya dan mengarahkan mereka sesuai kecenderungannya.
Timothy Henten
Kampung Baru,
Cakung Barat,
Jakarta Timur