Kontestasi ”Tronjal-tronjol”
Apa yang disuarakan calon presiden-wakil presiden fiktif, Nurhadi-Aldo (Dildo), dari ”Koalisi Indonesia Tronjal-tronjol Maha Asik”, dapat disikapi sebagai pesan bahwa hawa panas ajang Pemilu Presiden 2019 perlu didinginkan dengan cara menertawakannya. Tak perlu larut dalam emosi, apalagi terseret dalam arus dramaturgi yang melelahkan.
Istilah tronjal-tronjol sudah pasti tak termaktub dalam kamus bahasa Indonesia karena ungkapan itu lahir guna merancang bunyi kocak belaka. Kalaupun ada, tronjal-tronjol semacam pembahasaan atas situasi tak terkendali saat orang sedang berhubungan intim. Gerak tubuh yang tergesa, demi merengkuh nikmat sesaat.
”Cari enaknya saja. Tak bisa mengendalikan pikiran. Seperti kondisi sekarang, banyak orang asal muni (omong), timbul berita hoaks di sana-sini,” kata Nurhadi, tukang pijat asal Kudus yang dipilih sebagai karakter capres fiktif, saat diwawancarai media.
Meski mengizinkan foto profilnya digunakan sebagai karakter capres di poster-poster daring, Nurhadi tak ikut merancang konten yang disebarluaskan tim suksesnya. Semuanya dikerjakan oleh warganet yang berkolaborasi mengudarakan guyonan-guyonan kreatif seputar kampanye Pilpres 2019.
Dramaturgi capres
Sebagai pengarang partikelir, saya lega sejak intensitas tayangan sinema elektronik di televisi swasta jauh merosot karena telah digeser oleh daya tarik audio-visual di kanal Youtube. Namun, sinetron-sinetron yang sebelum penetrasi media sosial sedemikian kuat ternyata mengalami reinkarnasi dan terlahir sebagai jiwa yang baru di panggung politik.
Modus-modus keculasan, mental hipokrit, skenario lupa ingatan, pamer kemewahan, kegandrungan mencaci maki, hingga reproduksi makian hadir dalam wajah baru. Alur ceritanya hitam-putih, gampang diterka. Aktor-aktornya serba medioker, sutradaranya tergesa lantaran dikejar tenggat.
Mau dibawa ke mana misalnya narasi tentang pencapaian capres petahana dalam pembangunan infrastruktur dari jalan tol, bandara, jembatan, hingga moda raya terpadu? Kreator ide cerita senantiasa hendak memastikan bahwa perwujudan artefak-artefak itu mangkrak di tangan rezim sebelumnya, rezim kini mengambil alih, lalu beres.
Akibatnya, pemirsa melihat bangunan-bangunan fisik itu sebagai artefak yang identik dengan Joko Widodo (Jokowi), bahkan dalam level yang ekstrem disebut ”jalan tol Jokowi”. Pemirsa yang pro-aktor protagonis dengan jemawa dapat mengatakan, ”Yang tak mengakui prestasi Jokowi, kalau mudik lewat jalan arteri saja. Jangan gunakan tol Jokowi.”
Benda-benda yang tampak di depan mata sejatinya tak perlu dibahasakan lagi. Sementara yang seharusnya dibahasakan adalah kenyataan di balik artefak-artefak mercu suar itu. Bahwa setelah jalan tol berfungsi, pengiriman barang akan lancar, waktu tempuh dapat dipangkas, aktivitas ekonomi yang terkoneksi oleh jalur transportasi itu akan berkembang, dan ujung-ujungnya adalah peningkatan kesejahteraan.
Namun, yang muncul hanya angka-angka tentang jumlah bandara, jembatan, bendungan, dan panjangnya jalan tol yang telah dibangun, tanpa abstraksi tentang makna dari konsep pembangunan itu sendiri. Lebih ganjil lagi, narasi tentang prestasi itu didominasi oleh klaim dari atas, seolah-olah yang mengakuinya pemerintah belaka.
Pengakuan dari bawah, atau setidaknya narasi-narasi testimonial dari rakyat yang secara langsung memperoleh manfaat dari pembangunan infrastruktur fisik tersebut, hampir tak terdengar. Padahal, dengan mengungkap hal-ihwal yang tak terlihat dari beton-beton raksasa itu, sutradara dapat memosisikan figur Jokowi sebagai negarawan, bukan tukang yang terampil membuat ini-itu.
Baca Opini lain dari Damhuri Muhammad
Dramaturgi seperti itu pula yang dirancang pengarah panggung capres nomor dua, Prabowo Subianto. Aktor antagonis itu berteriak lantang tentang kekayaan negara yang bocor, lalu mengalir ke kantong-kantong segelintir orang, sementara ia tak dapat melepaskan diri dari pamer kemewahan dengan rumah yang megah, lahan yang luas, lengkap dengan peternakan kuda impor.
Prabowo dibuat seolah-olah concern sekali pada isu kemiskinan, sementara pada saat yang sama, tim pemenangannya senantiasa menampilkan visualisasi sumbangan dana kampanye dari rakyat jelata yang diklaim sedang hidup susah.
Begitu juga dengan narasi tentang Indonesia bakal ambruk atau punah, padahal ia adalah prajurit yang bertahun-tahun berjuang menjaga Indonesia dari segala kemungkinan runtuh atau dicaplok kekuatan asing.
Politik ketakutan (politics of fear) hanya akan mempertajam dramaturgi perdebatan kedua kubu, hingga sosok Prabowo sebagai negarawan dan putra terbaik bangsa karam dalam gelombang kenyinyiran. Dalam narasi-narasi besar semacam anti-impor, infrastruktur tanpa utang, dan kemiskinan stadium akut, para sutradara hanya membuat capres 02 lantang berpidato, tetapi tak membekalinya dengan gagasan rinci tentang bagaimana cara menuntaskan soal-soal krusial tersebut. Oleh karena adegan-adegan yang tak rinci, pemirsa bertanya-tanya, apa yang bakal dikerjakan Prabowo jika nanti diberi kepercayaan?
Hingga kini belum ada satu komitmen tegas tentang program kerja pasangan calon 02, Prabowo-Sandiaga Uno. Akibatnya, pertanyaan tak terjawab itu membutuhkan strategi pertahanan yang apologetik, yang ujung-ujungnya adalah melepaskan peluru ketakutan, atau menambah daftar kabar dusta. Pemirsa tak mungkin menikmati cerita bermutu, kecuali sensasi-sensasi sesaat yang tak menumbuhkan harapan.
Gamang pada kekalahan
Situasi semacam inilah yang menjadi bahan tertawaan tim pemandu sorak pasangan calon 10 dari ”Koalisi Indonesia Tronjal-tronjol” dan komunitas-komunitas warganet lainnya. Kenyataan yang kerap tampak jungkir balik kerap dialegorikan sebagai perilaku kaum kampret, sebutan bagi pendukung pasangan calon 02 yang pada siang hari biasa bertengger di dahan-dahan pohon dalam posisi kaki di atas dan kepala di bawah.
Sementara untuk kaum cebong —sebutan bagi pendukung pasangan calon 01, Jokowi-Ma’ruf Amin yang tak kunjung dewasa dalam mewartakan prestasi-prestasi Jokowi, persis seperti kerumunan kecebong yang belum juga berubah menjadi kodok. Proses metamorfosis yang stagnan akibat kurangnya asupan pendidikan politik.
Itu sebabnya, dalam berbagai kesempatan Jokowi selalu memaklumatkan agar hijrah dari pesimisme ke optimisme, dari ujaran kebencian ke ujaran yang menyatukan, dari politik yang menebar ketakutan ke politik yang memberi harapan (politics of hope).
Adegan demi adegan dalam ”sinetron” Pilpres 2019 berangkat dari penyebab sederhana: takut kalah (kakorrhaphiophobia). Baik petahana maupun penantang sama-sama dijangkiti oleh kegamangan pada kekalahan sehingga melakukan apa saja guna meredakannya.
Dalam sebuah pertarungan besar, orang yang takut kalah biasanya terlalu waspada, hingga ucapan selamat dari musuh pun kadang-kadang tampak seperti jurus menyerang. Cara bicara musuh bisa terlihat sebagai ancaman, bahkan cara musuh tertawa dapat ditimbang sebagai kegentingan. Penyakit inilah yang kini juga melanda para pemirsa sinetron serial itu. Mereka bagai terisap ke dalam labirin cerita, hingga ikut-ikutan berlinang air mata jika aktor kesayangan sedang berduka. Ikut-ikutan memaki jika aktor idola sedang terhina.
Di sinilah kehadiran figur Nurhadi-Aldo menjadi perlu. Semacam sahabat yang menyodorkan sapu tangan guna menyeka air mata seorang penonton drama telenovela, yang terisak-isak di hadapan layar kaca. Biarlah capres-cawapres sungguhan tronjal-tronjol seenaknya demi nikmat kekuasaan. Kita juga bisa tronjal-tronjol demi kegembiraan dan keasyikan, bersama Dildo, capres-cawapres ”Koalisi Indonesia Maha Asik”. Salam tronjal-tronjol.…
Damhuri Muhammad Sastrawan; Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta