Kampanye pemilihan presiden sudah dimulai. Kedua pasangan capres-cawapres telah membentuk tim sukses dan mendalami isu-isu yang perlu diperhatikan dan menyusun strategi untuk mendapatkan dukungan berbagai kelompok.
Di tengah ingar-bingarnya kampanye pilpres, isu Papua tak terdengar sedikit pun. Mungkin isu Papua tidak menarik perhatian karena jumlah pemilih tetap dari Provinsi Papua dan Papua Barat hanya berkisar 4 juta orang. Maka, dipandang lebih strategis dan menguntungkan apabila perhatian dikonsentrasikan di Pulau Jawa yang memiliki lebih dari 60 persen pemilih.
Sekalipun jumlah pemilih di tanah Papua tak signifikan, isu Papua tidak boleh dipandang sebelah mata, apalagi diabaikan. Perlu disadari, faksi-faksi politik Papua yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah berhasil mencapai rekonsiliasi antar-mereka dan membentuk satu wadah bersama yang disebut United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) tahun 2014.
ULMWP sebagai wadah koordinasi dan representasi perlawanan rakyat Papua berhasil menjadikan isu Papua masalahnya rakyat Melanesia di Pasifik Selatan. Isu Papua kini dibicarakan para kepala negara Papua Niugini (PNG), Kepulauan Solomon, Fiji, dan Vanuatu yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG), sekalipun Pemerintah PNG dan Fiji masih berpihak kepada Indonesia.
Selanjutnya, isu Papua diangkat pada pertemuan tahunan negara-negara Pasifik yang tergabung dalam Pacific Island Forum (PIF). Sudah tiga tahun berturut-turut, isu ini jadi agenda PIF. Semua pemimpin negara di Pasifik menyadari adanya isu Papua.
Dari kawasan Pasifik, isu Papua diperkenalkan melalui Sidang Umum (SU) PBB di New York kepada wakil-wakil dari semua negara anggota PBB. Sudah dua kali isu Papua diangkat dalam SU ini.
Isu Papua semakin mendunia berkat adanya media sosial yang memudahkan penyebaran informasi dari dan tentang Papua kepada berbagai pihak di luar negeri. Informasi tersebut diteruskan kepada para pemerhati Papua, termasuk para politisi dan pejabat pemerintah di negaranya masing-masing. Akibatnya, semakin banyak orang mengikuti isu Papua. Ini akan memaksa pemerintah bekerja keras guna mencegah internasionalisasi isu Papua.
Peta jalan penyelesaian
Entah siapa pun yang terpilih sebagai presiden tahun 2019, pemerintahannya akan menghadapi isu Papua. Karena itu, kedua tim sukses perlu menyiapkan peta jalan penyelesaian isu ini. Empat hal patut dipertimbangkan.
Pertama, perlu diakui akan kekhasan pada isu Papua. Papua menyimpan masalah di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, budaya, sosial, dan tata kelola pemerintahan. Ada juga masalah deforestasi karena perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, illegal logging, dan illegal mining. Semua masalah ini perlu dicarikan solusi meski masalah-masalah ini juga ditemukan di provinsi lain.
Kekhasan isu Papua adalah masih adanya konflik vertikal antara pemerintah yang diwakili TNI/Polri versus orang Papua, sekalipun tak semua, yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Perlawanan Papua direpresentasi oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) yang merupakan sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). TPN disebut kelompok kriminal bersenjata (KKB) oleh Polri, atau kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) oleh TNI.
Konflik vertikal ini dimulai sejak 1963 dan masih berlangsung hingga kini. Pemerintah sudah berupaya mematahkan perlawanan ini dengan mengedepankan pendekatan keamanan yang dimanifestasikan melalui operasi-operasi militer, tetapi belum membuahkan hasil maksimal. Buktinya, TPN masih eksis di Papua dan melakukan kegiatan perlawanannya. Konflik vertikal ini perlu dicarikan solusinya.
Kedua, perlu disadari, pembahasan isu Papua di luar negeri ibarat kepulan asap yang mengindikasikan masih adanya api. Asapnya muncul di luar negeri, tetapi apinya masih membara di Papua. Karena itu, perlu disiapkan strategi yang bukan hanya menghalau kepulan asap seperti selama ini, tetapi yang bisa memadamkan bara dari konflik ini.
Ketiga, perlu gencatan senjata antara pihak TNI/Polri dan TPN. Gencatan senjata akan membuka ruang bagi kedua pihak bertemu dan saling memandang satu sama lain sebagai sesama manusia dan warga negara Indonesia. Kedua pihak dengan rela dapat meletakkan senjata, saling merangkul satu sama lain, bergandeng tangan, berolahraga dan bekerja sama membangun perdamaian di tanah Papua.
Tanpa adanya gencatan senjata, pihak TNI/Polri dan TPN akan terus saling memandang dan memperlakukan satu sama lain sebagai musuh yang perlu dihabisi melalui aksi kekerasan. Masing-masing tentunya punya alasan untuk membenarkan aksi kekerasannya. Mereka saling mempersalahkan satu sama lain atas jatuhnya korban dan saling melancarkan aksi kekerasan sebagai pembalasan.
Akibatnya, aksi kekerasan terus berlanjut sehingga banyak orang baik di pihak TNI/Polri maupun di pihak TPN, bahkan warga sipil yang tidak bersalah, akan menjadi korban. Aksi-aksi kekerasan ini akan menarik perhatian dari berbagai pihak di luar negeri sehingga mempercepat proses internasionalisasi isu Papua.
Keempat, diperlukan pendekatan dialogis. Pendekatan keamanan sudah terbukti tidak berhasil meredam isu Papua. Maka, pemerintah perlu mengedepankan pendekatan dialogis yang memungkinkan keterlibatan dari semua pemangku kepentingan dalam mengidentifikasi masalah-masalah yang perlu diatasi di Papua dan menghasilkan solusi yang disepakati oleh semua pihak yang terkait dengan masalah-masalah tersebut.
Suatu kebijakan yang ditetapkan sepihak tanpa melalui dialog akan ditolak dan tidak berhasil memadamkan api konflik Papua. Penolakan akan dilakukan pertama-tama oleh pihak-pihak yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pembahasan dan penetapan kebijakan untuk Papua.
Neles Tebay Dosen STFT Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Abepura