”Goal”
Mumpung baru 13 hari menjalani 2019, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Apakah goal Anda di tahun 2019? Apakah goal yang Anda canangkan berbeda dengan tahun lalu, atau masih tetap sama karena tahun lalu belum 100 persen tercapai?
Masuk akal
Yang saya maksudkan dengan goal tak semata-mata goal yang bersangkutan dengan pekerjaan di kantor, atau pekerjaan sebagai pengusaha, tetapi juga bisa yang bersangkutan dengan hal-hal lain di luar itu.
Misalnya, apa goal Anda tahun ini dalam urusan rumah tangga, urusan anak, urusan spiritual, urusan pertemanan. Bahkan, juga urusan dengan diri sendiri, seperti urusan kesehatan, sampai urusan apa yang dikeluarkan mulut dan lidah tak bertulang Anda.
Untuk goal urusan mulut dan lidah itu, saya misalkan seperti ini. Tahun lalu, goal untuk menyakiti orang kurang maksimal. Kalau goal itu diterjemahkan dalam angka, maka korban yang tersakiti kurang banyak. Hanya kurang dari 100, misalnya. Maka tahun ini, goal saya adalah menaikkan angka 100 itu menjadi 500.
Itu contoh. Tentu bisa jadi sebaliknya, ingin menjadi manusia yang mulut dan lidahnya mengeluarkan sesuatu yang baik, yang menenteramkan, yang menyemangati hidup, yang melahirkan nasihat yang berguna. Karena kalau ada kalimat rest in peace, maka seyogianyalah ada live in peace.
Nah, kalau tahun lalu yang merasa tenteram kurang
banyak hanya kira-kira kurang dari 100 orang dan respons dari komentaryang ada di akun
media sosial Anda adem-ayem, tahun ini goal-nya adalah
membuat yang adem-ayem itu menjadi sorak-sorak bergembira.
Goal-nya adalah dengan menerima komentar yang lebih banyak sampai 100 komentar, misalnya. Tentu komentar itu berupa komentar yang isinya benar-benar mencerminkan bahwa seseorang itu mendapatkan sesuatu yang membuat ia mampu live in peace.
Pertanyaan berikutnya. Apakah goal yang Anda canangkan itu masuk akal untuk diraih?
Saya pernah mempunyai goal untuk pacaran dengan salah satu pribadi terkenal di negeri ini. Teman-teman saya mengatakan begini.
”Kamu itu ngajarin orang untuk membuat goal yang masuk akal, yang bisa diraih, kok ya sekarang elo sendiri buat goal yang enggak masuk akal dan enggak bakalan tercapai. Mbok kalau punya goal itu lihat-lihat. Lihat-lihat diri elo, maksudnya. Mukeelo aja jauh dari cakep, kok mau pacaran sama orang cakep.”
Tak masuk akal
Saya tidak kesal dengan komentar itu karena sejujurnya memang demikian keadaannya. Tetapi, saya lebih berpikir apakah goal yang selama ini saya ajarkan kepada beberapa orang dan teman-teman saya itu selalu yang harus masuk akal? Harus selalu yang memiliki kemungkinan besar untuk diraih? Apakah goal tidak dapat dibuat dengan yang tak masuk akal?
Karena goal yang selama ini saya ajarkan itu, berdasarkan kemampuan intelektual saya yang terbatas. Karena itu, goal yang saya canangkan juga berupa goal yang terbatas semampu akal saya mencapainya.
Sejauh bisa dihitung, sejauh bisa masuk akal, goal saya oke-oke saja. Begitu tidak masuk akal, akan terdengar komentar seperti komentar teman saya di atas itu.
Tetapi, bukankah saya ini sudah acap kali mendengar bagaimana orang-orang menceritakan hal-hal yang tak masuk akal yang terjadi dalam perjalanan kehidupan mereka, baik secara profesional maupun personal?
Sejujurnya akhir bulan lalu ketika semua orang bergembira menyambut tahun baru saya sedang dalam keadaan problem finansial.
Secara perhitungan saya, masalah itu baru dapat diselesaikan pada bulan Januari ini. Tetapi, di luar dugaan, di luar pemikiran, di luar perhitungan, saya mendapat dana cukup untuk menyelesaikan masalah keuangan itu, sehingga saya dapat bergembira menyambut tahun baru, yang awalnya berdasarkan perhitungan otak terbatas ini, hal itu tak mungkin terjadi.
Selama bertahun lamanya, saya hanya melatih aktivitas horizontal di dalam menentukan apa yang ingin saya raih. Saya belajar dan diajari ini dan itu. Saya membaca dan ikut pelatihan ini dan itu. Saya datang ke pengusaha sukses untuk menanyakan nasihat mereka soal ini dan itu.
Sementara aktivitas vertikal tak saya latih seperti saya melatih dengan rajin perkara yang horizontal itu. Karena saya merasa pencapaian goal itu tak bisa kalau tak bisa dihitung, kalau tak masuk di akal. Itu mengapa latihan yang vertikal nyaris tak pernah dilakukan, karena yang vertikal itu tak mampu masuk di akal saya. Saya takut, karena kalau tidak masuk akal jadi tak ada pegangannya.
Nah, kalau saya ditanya, apakah goal saya di tahun 2019? Apakah goal saya itu bisa dicapai atau tidak? Mungkin saya akan memberi kesempatan kepada dua hal dalam mencapai goal.
Dua hal yang saya maksud bukanlah membuat goal yang masuk akal dan tidak masuk akal. Melainkan, untuk tak hanya memberi kesempatan pada otak saya yang terbatas menguasai penentuan goal, tetapi juga pada keyakinan saya bahwa Yang Maha Kuasa mampu memberi kesempatan yang tak dapat diberikan oleh akal yang terbatas itu.