Debat Capres: Siapa Sebenarnya yang Menang?
Usai sudah debat perdana calon presiden-calon wakil presiden Pemilu 2019, Kamis (17/1/2019) malam lalu. Hingga kini, gaung pentas politik itu masih terasa. Di media sosial, para pendukung terus saja saling klaim keunggulan jagoan masing-masing. Siapa sebenarnya yang menang?
Di panggung di Hotel Bidakara, Jakarta, tempat debat pertama itu digelar, Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno coba beradu gagasan. Sebagian besar publik mengikutinya lewat siaran langsung televisi. Baik pasangan nomor urut 01 maupun 02 berusaha tampil mengesankan dalam membicarakan soal hukum, hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan terorisme.
Mulanya debat berjalan datar. Suasana mulai menghangat ketika Prabowo melontarkan penilaian bahwa penegakan hukum di masa kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) cenderung berat sebelah. Ada kepala desa di Jawa Timur menyatakan dukungan kepada Prabowo justru ditahan.
Merespons pernyataan itu, Jokowi meminta jangan ada main tuduh. Dia lantas menyebut konferensi pers yang menuding wajah babak belur Ratna Sarumpaet, mantan anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, akibat dianiaya orang. Padahal, kemudian terungkap perempuan itu menjalani operasi plastik. Prabowo tak sempat menanggapi ”serangan” balik ini.
Terkait korupsi, Prabowo menyebut, akar masalahnya adalah gaji birokrat yang kurang. Karena itu, dia berjanji bakal meningkatkan kualitas hidup birokrat.
Jokowi kemudian mengungkapkan catatan Indonesia Corruption Wacth (ICW) bahwa Gerindra termasuk partai yang mengajukan banyak mantan narapidana korupsi sebagai calon anggota legislatif (caleg), yaitu enam orang. Mendengar tohokan itu, Prabowo serta-merta hendak menjawab, tetapi pemandu debat, Ira Koesno, mencegah lantaran belum waktunya. Pada momen ini, capres nomor 02 itu sempat memperagakan sedikit gerakan menari, tapi kemudian ditenangkan Sandiaga.
Dapat giliran, Prabowo menjelaskan, bagaimanapun, hukum mengizinkan mantan napi koruptor maju sebagai caleg. Biarlah nanti rakyat mau memilih atau tidak. Dia menekankan, aparat yang gajinya sudah dinaikkan tapi tetap korupsi bakal ditindak keras. Caranya, koruptor ditempatkan di pulau terpencil dan disuruh menambang pasir.
Di luar itu, debat cenderung normatif. Masing-masing pasangan calon menyampaikan materi yang telah disiapkan sebelumnya. Catatan lain, Sandiaga aktif menjelaskan berbagai isu, sementara KH Ma\'ruf Amin lebih irit bicara.
Baca: Debat Capres Minim Penggalian Konten
Saling klaim kemenangan
Di panggung nyata yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), debat berlangsung biasa. Di jagat media sosial, suasana lebih riuh. Yel-yel dukungan diteriakkan jauh lebih lantang, panas, dan liar. Setidaknya demikian terungkap dalam lini masa di Twitter sejak debat dimulai pada Kamis malam, bahkan hingga debat kelar, sampai Jumat (18/01/2019) dini hari.
Menurut catatan Departemen Media Sosial Harian Kompas, obrolan terkait debat pilpres mendominasi linimasa di Twitter. Lebih dari satu juta kicauan diunggah selama kurun waktu tersebut. Akun yang dideteksi laki-laki lebih banyak ketimbang perempuan yang aktif berkicau, melontarkan unggahan atau mengunggah ulang. Lokasinya tersebar, terutama di kota-kota besar di Indonesia.
Blog Twitter Indonesia menangkap jumlah lebih detail terkait debat capres pertama, yaitu 1,3 juta kicauan. Puncak percakapan terjadi pada pukul 22.00-23.00 WIB, dengan lebih dari 290.000 tweet.
Baca: Lebih dari 1,3 Juta Tweet seputar #DebatPilpres2019 Pertama
Sejumlah tagar banyak digunakan warga internet untuk mengomentari debat pilpres, seperti #DebatPilpres2019, #DebatCapres, #DebatPertamaPilpres2019, atau #CurhatPilpres2019. Dua tagar dominan dan bertengger dalam trending topic linimasa Twitter Indonesia, yaitu #JokowiAminMenangDebat dan #PrabowoIndonesiaMenang.
Tangkapan layar tren Indonesia di linimasa Twitter sesaat setelah debat Pilpres 2019 usai, Kamis (17/1/2019).
Selama debat berlangsung, masing-masing kubu berusaha mencuplik perbincangan yang mengukuhkan kekuatan jagoannya seraya melemahkan kubu lain. Kubu lain juga bersikap serupa. Pola ini sama-sama digencarkan para pendukung Jokowi ataupun Prabowo yang aktif di Twitter.
Jika debat di panggung KPU berjalan normatif dan masing-masing paslon berhati-hati agar tidak salah ngomong, pertarungan di jagat media sosial berlangsung lebih banal. Sedikit saja menemukan amunisi untuk menyerang pasangan lawan, para pendukung serentak ”menggorengnya” habis-habisan. Begitu pula pasangan di kubu sebelah, juga terus mencecar kekurangan yang terlihat di panggung. Gorengan tak melulu soal materi debat, tetapi juga menyasar performa keseluruhan: penampilan, gaya bicara, bahkan kertas contekan.
Ambil contoh, Twitter langsung ramai ketika Prabowo melontarkan soal ketidakadilan atau berat sebelah dalam proses hukum di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Begitu pula saat Jokowi mengangkat kasus Ratna Sarumpaet yang heboh itu. Riuh pula perbincangan terkait Partai Gerindra yang mengajukan sejumlah mantan napi korupsi menjadi caleg dalam pemilu legislatif.
Belum kelar debat, para pendukung langsung mengklaim kemenangan masing-masing jagoannya. Para pendukung Jokowi-Ma’ruf gencar mendorong #JokowiAminMenangDebat. Sebaliknya, pendukung Prabowo-Sandiaga mengusung #PrabowoIndonesiaMenang. Dua tagar itu terus bertengger selama dan pascadebat.
Masih datar-datar saja
Memantau debat lebih seru di dunia maya di Twitter, terlihat bahwa debat di dunia nyata yang digelar KPU masih belum berjalan maksimal. Terus terang, debat kali ini masih datar-datar saja. Kedua kubu cenderung berhati-hati, kurang lepas, dan tak sempat mendalami isu hingga ke akar-akarnya.
Kedua kubu cenderung berhati-hati, kurang lepas, dan tak sempat mendalami isu hingga ke akar-akarnya.
Pemberian kisi-kisi pertanyaan dari para panelis kepada masing-masing pasangan sebelumnya ternyata tidak serta-merta membuat debat menjadi lebih seru. Memang waktu debat diatur sedemikian ketat dalam sesi-sesi yang terbatas: pemaparan visi-misi, pertanyaan, tanggapan, dan penutup.
Dengan penampilan masing-masing paslon Kamis malam lalu, tampaknya debat pertama kali ini belum benar-benar memenuhi harapan semua pihak. Bahkan, masing-masing tidak menyampaikan apresiasi pada kubu lawan meski beberapa kali diingatkan moderator.
Idealnya, debat menjadi forum bagi capres-cawapres untuk menyampaikan visi-misi secara terbuka kepada khalayak luas. Lewat dialog (tanya-jawab), masing-masing bisa beradu gagasan, mengasah ide, saling menguji penguasaan masalah dan solusi yang ditawarkan. Capres-cawapres diharapkan memanfaatkan momen ini untuk meyakinkan masyarakat ke mana arah Indonesia ke depan, bagaimana strategi mencapainya, dan apa jalan keluar untuk memecahkan berbagai masalah yang merundung negeri.
Dengan begitu, masyarakat memperoleh informasi yang cukup serta lebih mengenali sosok yang sedang berkontestasi dalam pilpres. Semua itu menjadi tambahan pertimbangan untuk menentukan, siapa yang paling cocok memimpin bangsa lima tahun ke depan.
Meski demikian, patut diakui, debat dalam praktik politik di Indonesia memang belum matang. Tradisi ini dirintis setelah keterbukaan demokrasi pasca-Reformasi 1998, coba dipraktikkan pada Pilpres 2004 (saat itu disebut dialog), kemudian pilpres 2009 dan 2014. Wajar jika masih terasa kurang di sana-sini. Hasilnya jauh dari imajinasi debat yang produktif sebagaimana dalam tradisi demokrasi di negara-negara modern di Eropa dan Amerika.
Baca: Debat dari Pemilu ke Pemilu
Dalam bentuk belum ideal, debat dalam Pilpres 2019 ini tentu sulit menggeser orientasi politik pemilih yang telanjur loyal kepada jagoannya. Namun, ajang itu berpotensi memikat hati pemilih mengambang (swing voters) yang—menurut beberapa survei—jumlahnya cukup menentukan, berkisar 25 persen dari total pemilih. Mereka terdiri atas orang-orang yang pilihannya masih goyah serta kelompok yang sama sekali belum menentukan pilihan.
KPU diharapkan mengevaluasi format debat pertama kali ini dan memperbaikinya untuk debat-debat berikutnya nanti. Masih ada kesempatan untuk mewujudkan debat yang lebih menarik bagi publik dan memungkinkan capres-cawapres mengadu gagasan secara lebih leluasa. Untuk itu, ada baiknya mempertimbangkan masukan dari berbagai kalangan.
Lalu, kembali pada pertanyaan awal: siapakah pemenang debat capres pertama kali ini? Beberapa analis cenderung mengunggulkan Jokowi lantaran berbicara lebih ofensif dan mengajukan contoh-contoh konkret. Beberapa analis lain mengapresiasi retorika Prabowo dan Sandiaga yang lebih kalem. Namun, keunggulan masih belum terlalu jelas. Masih ada empat kali lagi debat yang bakal dilakoni.
Itu pun hasil debat hanya salah satu dari banyak faktor yang memengaruhi pilihan masyarakat. Kemenangan sesungguhnya baru akan dipastikan seusai pemungutan suara pada 17 April 2019. Siapa pun pasangan capres-cawapres yang memperoleh suara lebih besar, itulah pemimpin yang patut dihargai bersama.
Dalam momen politik semacam ini, kita dituntut terus menyadari perbedaan sebagai keniscayaan yang mesti dihargai. Mengutip disertasi Budiarto Danujaya, ”Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks” (Gramedia: 2012), pada dasarnya setiap individu dan kelompok memiliki keunikan dan kepentingan masing-masing. Saat kita menyepakati demokrasi (konsensus) pun, kita juga mesti menerima bahwa praktik demokrasi itu senantiasa berjalan di atas tegangan ketidaksepakatan (disensus).
Pekerjaan rumah kita adalah bagaimana menjaga tegangan itu agar tidak saling merusak, destruktif, tetapi membentuk sintesis yang sehat untuk membangun kehidupan bersama. (BONDAN WIBISONO)