Iklim dan Bencana di Pilpres 2019
Kita belum melihat persoalan Iklim dalam iklim politik Pilpres 2019 Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) pada 22-25 Januari lalu jadi momentum baru bagi kita untuk mendorong percepatan pembangunan dengan memperhatikan dampak iklim, risiko, dan kerusakan ekosistem.
Global Risks Report 2019 yang diluncurkan WEF menjelaskan bahwa risiko lingkungan, termasuk cuaca ekstrem ditambah kegagalan menyikapi perubahan iklim, menjadi bahasan dominan.
Selain itu, risiko punahnya keanekaragaman hayati akan memengaruhi kesehatan dan pembangunan sosial-ekonomi, dengan implikasi bagi kesejahteraan, produktivitas, dan bahkan keamanan regional.
Bagaimana sikap Indonesia ke depan merespons isu global pada era pilpres ini?
Sebagai gambaran, kita lihat visi-misi pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang mempresentasikan isu ini pada bagian halaman 18, yang menempatkannya pada isu lingkungan.
Dituliskan, antara lain, pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi mitigasi perubahan iklim dan penegakan hukum dalam satu paket. Terlihat isu Indonesia kekinian seperti ekonomi masih lebih dominan daripada isu dunia kekinian, yaitu lingkungan. Begitu juga porsi adaptasi untuk pengurangan risiko bencana baru ada satu kata dalam dokumen visi-misi capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf.
Sementara alam dokumen visi-misi pasangan Prabowo-Sandi terlihat pada pilar aksi budaya dan lingkungan. Di sana disajikan informasi rencana intervensi terhadap iklim global pada point 7, yaitu upaya untuk berperan aktif mengatasi perubahan iklim global, sesuai kondisi Indonesia, tanpa ada satu kata yang menunjukkan atensi terhadap bencana. Visi dan misi mereka masih didominasi oleh misi ekonomi dibanding isu lingkungan global.
Bagi penulis, walaupun ke depan akan terjadi agregasi dalam satu tujuan tertentu, misalnya kesejahteraan rakyat, tetapi antensi terhadap kondisi terkini ekonomi nasional tidak terlepas dari adanya pengaruh perubahan iklim.
Hal itu, misalnya, kerusakan lingkungan dan bencana akibat alam, kegagalan teknologi ataupun perubahan iklim. Seharusnya isu kebencanaan dan iklim tidak hanya sebagai subordinat, tetapi menjadi perhatian utama pembangunan ke depan.
Fakta terkini
Sebagai negara tropis yang dianugerahi potensi sumber daya alam yang luar biasa, kita juga tinggi potensi risiko dan bencananya. Pada 2018, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, tercatat 2.572 kejadian bencana di Tanah Air.
Tercatat 4.814 orang korban jiwa, 21.083 luka-luka, dan 10,3 juta jiwa mengungsi. Sedikitnya 574.838 rumah dan 2.699 unit fasilitas umum mengalami kerusakan.
Dari kejadian gempa saja, potensi kerugian ekonomi diperkirakan Rp 405 triliun, belum termasuk potensi kehilangan ekonomi jangka panjang akibat bencana. Bagian yang terakhir ini, menurut saya, penting karena pengaruh dari kejadian bencana terhadap dinamika ekonomi bangsa sangat tinggi sehingga harus dikelola secara baik.
Belajar dari kejadian gempa dan tsunami pada 2018, kita menyaksikan betapa ekonomi wisata Lombok terganggu karena kerusakan kawasan dan fasilitas wisata. Begitu juga kota Palu dan pesisir Anyer, Carita, dan Lampung yang memiliki berbagai potensi ekonomi dari wisata pesisir mendadak hilang karena kejadian bencana.
Belajar dari kejadian itu, ke depan kita harus mendorong sebuah visi bekerja bersama dalam pengelolaan bencana di Tanah Air. Berbagai kejadian bencana yang saat ini terjadi ditengarai sebagai dampak multifaktor. Mulai dari efek tata ruang yang tidak mempertimbangkan risiko dan bencana hingga perubahan iklim global.
Pembangunan hijau
Makna dari laporan WEF itu sebenarnya mendorong kita menerapkan mekanisme pembangunan hijau (green development). Seharusnya, landasan ekonomi Indonesia berbasis SDA berkelanjutan. Ada beberapa produk strategis dunia yang mestinya jadi platform pembangunan kita ke depan, salah satunya adalah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Faktanya, adaptasi SDGs berjalan sangat lambat pada tingkat operasional, termasuk SGDs-14. Komitmen besar yang kita usung pada Kesepakatan Paris seharusnya jadi momentum untuk melangkah antisipasi dampak iklim terhadap proses pembangunan ke depan. Walau sebagian masih ada negara yang beranggapan isu iklim adalah hipotesis yang perlu diuji, tetapi adaptasi terhadap iklim penting bagi Indonesia.
Kehadiran UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup harus diterjemahkan secara komprehensif untuk memastikan arah dan tujuan adaptasi terjadi, yaitu menurunkan risiko dari bencana dan pembangunan ekonomi dapat berjalan.
Begitu juga dengan Talanoa Dialog di Fiji, yang serta COP 19 di Polandia, seharusnya muncul dalam visi kedua calon presiden dan jadi instrumen perwujudan nasional dalam pengurangan risiko bencana untuk mencapai pembangunan yang berkemajuan dan berkelanjutan.
Seperti menara gading, adaptasi pengurangan risiko masih dalam tataran isu-isu besar. Persoalan pembangunan sebenarnya tidak berhenti pada isu mitigasi karena dampak yang luar biasa pada nelayan dan petani adalah kerugian akibat bencana dan perubahan iklim.
Paling tidak kedua kelompok ini yang menjadi sasaran dari pembangunan ekonomi Indonesia yang harus dituangkan dalam misi presiden ke depan.
Seharusnya instrumen ekonomi yang disajikan kedua capres dapat dimulai dari pandangan terhadap SDGs, Sendai Framework, COP, minimal implementasi UU No 32/2009 sehingga terlihat adanya konvergensi nasional terhadap isu global dan pembangunan berkelanjutan.
Sebagai negara dengan potensi risiko bencana yang sangat tinggi dan dampak dari perubahan iklim, ke depan capres yang nanti terpilih jadi presiden harus segera mengambil beberapa langkah terkait untuk menciptakan pembangunan hijau.
Pertama menempatkan kebijakan dan rekomendasi dalam penguatan institusi penanggulangan risiko bencana dan dampak perubahan iklim sebagai lembaga pelayan untuk kelembagaan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, perlu adanya kelembagaan setingkat kementerian koordinator.
Kedua, perlu kepastian pendanaan pengelolaan bencana dan iklim dalam pendanaan ABPN dan non- APBN dan peran lembaga donor serta swasta. Ketiga, peningkatan partisipasi publik dan swasta untuk iklim dan bencana.
Untuk adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan kebencanaan, kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengembangan sains dan resolusi jadi sangat penting.
Yonvitner Kepala Pusat Studi Bencana-Dosen MSP FPIK IPB