Pengelolaan Krisis Ekosistem
Perdebatan mengenai pangan, energi, sumber daya alam, lingkungan hidup, ataupun infrastruktur dalam debat kedua capres-cawapres semestinya dapat menjadi dasar tinjauan pendekatan pembangunan.
Hal itu karena, di satu sisi, kelima sektor yang akan dibahas terkait erat dengan persoalan nyata yang dialami masyarakat luas. Di sisi lain, masalahnya saling terkait dan upaya pemecahan masalah seperti itu perlu diletakkan pada titik keseimbangan antara manfaat ekonomi, kesejahteraan sosial, dan fungsi lingkungan hidup. Dan, dalam praktiknya, bergantung pada keputusan-keputusan politik.
Dari skala perjalanan panjang pembangunan ekonomi, situasi saat ini menempatkan kelima sektor itu sedang berada di tengah-tengah impitan bencana alam serta masih adanya ketimpangan penguasaan sumber daya alam (SDA), juga semakin menipisnya lahan/sumber pangan andalan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat adanya 20.041 kejadian bencana alam pada periode 2009-2019, dengan jumlah tahunan semakin meningkat.
Dari seluruh kejadian itu, 13.540 di antaranya berupa banjir, longsor, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan yang telah merusak 12.725 kilometer jalan dan 804.608 hektar sawah. Laporan terbaru PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR) juga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah korban jiwa akibat bencana alam tertinggi di dunia sepanjang 2018.
Dari total 10.373 korban jiwa di seluruh dunia, 4.535 dari Indonesia (Kompas, 3/2/2019). Kenyataan ini jadi petunjuk kuat pentingnya pergeseran strategi pembangunan, dalam hal ini dengan memperkuat pelaksanaan pendekatan ekosistem yang telah mengalami krisis.
Pendekatan ekosistem
Konsep pendekatan ekosistem mengarahkan kita untuk mengakui betapa besar kehidupan manusia bergantung pada fungsi gabungan adanya tanaman, hewan, tanah, air, serta nutrisi untuk produksi makanan ataupun ekosistem untuk pengaturan sumber daya iklim dan air, untuk estetika dan nilai-nilai spiritual, serta untuk proses pendukung kehidupan dasar, seperti fotosintesis ataupun pembentukan tanah. Pendekatan itu memberikan penilaian manfaat ekosistem ke dalam empat kategori.
Pertama, sebagai pengatur layanan, yaitu manfaat yang diperoleh manusia dari proses ekosistem, seperti kualitas udara, iklim, air, erosi, limbah, penyakit, hama, penyerbukan, dan terjadinya bencana alam.
Kedua, layanan penyediaan, yaitu produk langsung yang kita peroleh, seperti makanan, serat, bahan bakar, dan air.
Ketiga, layanan kultural yang bersifat nonmaterial, seperti pendidikan, nilai-nilai spiritual, dan rekreasi. Keempat, layanan pendukung, yaitu proses tak langsung atau jangka panjang untuk produksi tiga kategori layanan sebelumnya, seperti pembentukan tanah, fotosintesis, dan siklus hara (Millenium Ecosystem Assessment/MEA, 2005).
Pendekatan MEA itu umumnya sejalan dengan layanan ekosistem sebagai ruang hidup masyarakat adat dan lokal di Indonesia. Dari analisis 88 laporan grantee Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) periode 2012-2017, diketahui terdapat 174 jenis barang dan jasa lingkungan yang telah dimanfaatkan.
Ketersediaan ragam komoditas itu memungkinkan memenuhi kebutuhan antarwaktu. Ketersediaan barang dapat dipenuhi dari 157 jenis dengan lebih banyak untuk pemanfaatan jangka pendek. Sedangkan pemanfaatan jasa, dari 17 jenis lebih untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang.
Kondisi itu umumnya mendukung kemandirian ekonomi karena variasi pemanfaatan SDA juga memungkinkan keberlanjutan pasokannya. Perlu pula dicatat, semua itu berjalan di dalam wadah sosial budaya masyarakat dan bukan hanya berdasarkan motivasi komersial.
Sejumlah kegiatan yang diwadahi sosial budaya masyarakat, misalnya pengaturan pemanfaatan SDA, perlindungan dan konservasi SDA, mengendalikan perilaku satwa liar, pengetahuan manfaat jenis-jenis tumbuhan obat, kerajinan tangan, wisata bahari, kebiasaan bergotong royong, konsumsi pangan lokal, pengolahan perikanan laut, identifikasi kualitas benih, dan proses untuk mencapai kesepakatan.
Apabila pendekatan ekosistem ini digunakan untuk mengintegrasikan arah pembangunan kelima sektor, kritik akan hadir karena pendekatan sektor dianggap selalu hanya memilih sifat-sifat komoditas paling unggul bagi manusia, sambil mengabaikan komoditas lain.
Setiap komoditas diasumsikan berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dan ketergantungan satu dengan lainnya. Dan, asumsi itu tetap dipegang sebagai dasar pembenaran eksploitasi SDA atas hasil kalkulasi kerugian dan risiko by design dikecilkan karena hilangnya keempat bentuk layanan ekosistem di atas diabaikan.
Itulah mengapa konversi hutan alam primer, misalnya menjadi hutan tanaman, kebun monokultur, tambang, selalu dianggap lebih menguntungkan tanpa mengakui bahwa itu disebabkan nilai-nilai ekosistem yang hilang ditanggung oleh masyarakat luas.
Terhadap pekebun kelapa sawit yang sedang mempertahankan dan menjaga hutan konservasi bernilai tinggi (high conservation value forest/ HCVF) di lokasi HGU-nya, bahkan masih ada pemberi HGU yang menganggap itu sebagai perbuatan menelantarkan HGU jadi lahan tak produktif.
Oleh karena itu, dari tinjauan pendekatan ekosistem, memperdebatkan pembangunan kelima sektor semestinya bukan hanya untuk mencari jawaban terbaik atas persoalan tiap-tiap sektor, melainkan juga menjawab bagaimana cara melakukan transformasi pembangunan dari pendekatan sektoral menuju pendekatan ekosistem dimaksud.
Pendekatan ekosistem dalam pembangunan itu sendiri sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan sebutan pendekatan ekoregion.
Politik penataan ruang
Dengan mengabaikan saling ketergantungan semua komoditas di dalam suatu ekosistem, pengelolaan secara parsial terhadap energi, pangan, bahan tambang, kebun, ataupun materi alam lainnya sejauh ini menunjukkan kekeliruan substansial dalam desain pembiaran terjadinya trade off.
Investasi pemanfaatan SDA cenderung mengorbankan daya dukung lingkungan di satu sisi dan di sisi lain jadi penyebab kemiskinan. Apabila dikaitkan dengan pangan, kemiskinan itu akibat produktivitas menurun ataupun alih fungsi atau hilangnya lahan pangan masyarakat.
Beberapa laporan Statistik Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) serta hasil wawancara dengan pimpinan daerah terkait pemberian penghargaan Nirwasita Tantra (Green Leadership), akhir tahun lalu, mengonfirmasi trade off dan terjadinya alih fungsi lahan pangan ini.
Di Sumatera Barat, alih fungsi lahan pangan menjadi pertambangan periode 2011-2017 seluas 45.487 ha untuk industri 14.682 ha dan untuk perkebunan 605.416 ha. Di Bali, pada 2015/2016 perubahan lahan pangan menjadi permukiman sekitar 400 ha, sedangkan pada 2016/2017 sekitar 1.000 ha.
Sistem perairan subak pada 1997 sekitar 3.000 unit, awal 2018 menjadi hanya 1.612 unit, yang juga menunjukkan hilangnya modal sosial pengaturan air pertanian itu.
Di Jawa Tengah, dari lahan pertanian seluas 884.933 ha, pada 2015 diubah menjadi lokasi industri 7,28 ha, permukiman 510,11 ha, lahan terbuka 343,16 ha, pasir darat 178,18 ha, serta tambak 6,74 ha. Sementara di Wonogiri, pada 2015, lahan pertanian menjadi industri dan pertambangan serta fasilitas sosial dan umum seluas 10,1 ha, pada 2016 seluas 7,38 ha, serta pada 2017 seluas 12,3 ha.
Dalam kondisi serupa, alih fungsi lahan pangan di Tasikmalaya juga dilaporkan menyebabkan persoalan ketahanan pangan, degradasi kualitas lingkungan, bencana longsor, dan hilangnya keindahan alam untuk wisata.
Sejauh ini, lahan pangan yang sangat penting bagi kehidupan dan keseimbangan ekosistem perdesaan semakin jadi target usaha komersial.
Para petani umumnya belum dapat perlindungan untuk mempertahankan tanah mereka dan harus berspekulasi terhadap pilihan menjual atau mempertahankan karena hasil bertani dari tanah itu semakin tak dapat mencukupi kebutuhan hidup.
Itu artinya penataan ruang masih terbatas berfungsi pada tataran konseptual menjamin kepastian ruang hidup, tetapi pada tataran praksis belum mampu sebagai alat kendali sesungguhnya.
Dalam publikasi The Scramble for Land Rights: Reducing Inequity between Communities and Companies oleh Laura Notess, dkk (2018) disebut bahwa dengan kian terbukanya persaingan penguasaan tanah, telah mendorong usaha swasta besar masuk ke wilayah kelola masyarakat perdesaan.
Rakyat miskin, walau tanahnya menjadi sumber utama ekonomi keluarga karena mahal memperoleh sertifikat/legalitas serta produktivitas tanah terus menurun termasuk akibat hilangnya sumber-sumber air pertanian, terpaksa melepas tanah leluhur mereka. Dalam waktu yang sama, perusahaan kaya dengan koneksi politik kuat cepat memperoleh dan mengamankan hak-hak atas tanah yang sama.
Pertanyaannya, bagaimana strategi politik untuk menguatkan dan melindungi hak-hak petani atas lahan-lahan pangan, sekaligus jaminan lingkungan hidup yang dapat menjaga sumber-sumber air pertanian serta infrastruktur ekonomi yang memungkinkan keuntungan layak dapat diterima petani? Dalam tinjauan ini, kinerja penataan ruang nasional harus dapat dicerminkan oleh kepastian ruang hidup di tingkat lokal. Itu berarti juga terkait dengan persoalan birokrasi perizinan serta korupsi pemanfaatan SDA yang menjadi akar persoalan pelanggaran tata ruang.
Agar pendekatan ekosistem dapat dijalankan, selain perlu strategi transformasi pembangunan sektoral, juga diperlukan kemauan politik untuk meminimumkan terjadinya trade off yang, pada lingkup pembahasan ini, berujung pada hilangnya perlindungan bagi warga petani untuk mempertahankan lahan sumber pangan. Itu berarti diperlukan pula inovasi untuk memperbaiki fungsi dan tugas lembaga-lembaga pemerintahan yang kini umumnya memiliki pola pikir kurang mendukung dijalankannya pendekatan ekosistem itu.
Hariadi Kartodihardjo Guru Besar Institut Pertanian Bogor