Politik uang telah cukup lama menodai demokrasi Indonesia. Sejarahnya bisa ditarik setidaknya sejak 2005, yakni ketika Indonesia mulai menerapkan pilkada langsung sebagai efek dari Pilpres 2004 yang juga dilaksanakan secara langsung.
Sebelum 2005, politik uang sebetulnya juga terjadi antarsesama anggota Dewan. Tetapi, perubahan politik yang terjadi kala itu membuat modus politik uang bergeser ke pemilih yang punya hak suara sehingga mengakibatkan dampak negatif yang dirasakan hingga kini.
Puncak politik uang terjadi pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Di tengah ketatnya persaingan, sistem proporsional dengan nomor urut terbuka yang kita terapkan menghasilkan dorongan bagi politisi untuk memberikan sesuatu kepada pemilih sebagai bentuk ”diferensiasi” yang bisa mereka tawarkan.
Ini menciptakan efek bola salju antarkandidat karena pada akhirnya mereka banyak menggunakan strategi kampanye serupa. Akibatnya, masyarakat pun merespons dengan menciptakan semacam aturan informal: jika ingin berkampanye di tempat kami, apa imbalan yang bisa Anda berikan?
Kasus Pilkada 2018
Politik uang diyakini buruk bagi demokrasi karena ia menciptakan sebuah hubungan imbal balik yang tidak sehat antara politisi dan pemilih. Politisi mengharapkan dukungan di bilik suara, sementara pemilih mengharapkan keuntungan material jangka pendek.
Di sela-sela itu terdapat broker politik (yang kerap disebut ”tim sukses”) yang juga turut menikmati imbal hasil dari hubungan patron-klien ini.
Akan tetapi, seberapa efektif politik uang memengaruhi kandidat yang mencalonkan diri dalam pemilu? Sudah cukup banyak studi soal ini. Salah satunya adalah kompilasi laporan penelitian yang dieditori Aspinall dan Sukmajati (2016) yang mengulas modus operandi politik uang dan patronase dalam Pileg 2014 di sejumlah daerah di Indonesia.
Dengan detail yang mengagumkan, para penulis di buku itu bercerita soal modus-modus politik uang yang ternyata tak hanya mencakup pemberian uang tunai atau barang secara langsung, tetapi juga hal-hal seperti pengobatan gratis, janji- janji pemberian proyek, bantuan bagi masjid, serta kegiatan social gathering seperti kejuaraan olahraga dan lomba memasak.
Tak ayal, menurut laporan itu, cukup banyak masyarakat terpengaruh preferensi politiknya. Dan, memang pada akhirnya banyak anggota legislatif, baik tingkat pusat maupun daerah yang terpilih karena strategi penggunaan politik uang yang jitu di tingkat akar rumput.
Berangkat dari keresahan yang sama, CSIS mencoba melakukan studi soal pengaruh politik uang pada perhelatan Pilkada 2018. Kami membatasi persoalan pada dukungan terhadap calon petahana dan nonpetahana yang berlaga di Pilkada 2018, khususnya yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Namun, studi ini memperluas definisi ”politik uang” yang tidak saja berkaitan dengan pemberian keuntungan material sebagaimana yang diulas di atas, tetapi juga dalam bentuk diskresi kebijakan-kebijakan yang bersifat musiman.
Ini karena adanya kecenderungan calon petahana dalam pilkada memanfaatkan diskresinya dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang targeted ke kelompok-kelompok tertentu yang dianggap menguntungkan secara elektoral.
Dalam literatur ilmu politik, kebijakan ini sering disebut sebagai kebijakan redistributif nonprogramatik karena sifatnya yang temporer.
Studi kami didasarkan pada survei yang kami laksanakan lebih kurang satu bulan menjelang hari pemilihan. Kami menanyakan kepada responden di tiga provinsi beberapa pertanyaan terkait isu ini, seperti ”Jika Anda ditawari uang atau barang dari tim sukses atau pasangan cagub/cawagub tertentu, apakah Anda akan menerima tawaran tersebut?” dan ”Apakah Anda akan memilih pasangan yang memberi Anda uang atau barang?” Sementara terkait isu diskresi kebijakan kami menanyakan, ”Bila ada salah seorang cagub/cawagub membangun sarana umum seperti jalan, pasar, MCK, dan masjid di daerah Anda menjelang pilkada, apakah itu hal yang wajar?”
Hasilnya, 46 persen responden di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menyatakan akan menerima tawaran uang atau barang dan 52 persen menyatakan menolak.
Terkait dengan apakah akan memilih calon yang memberi uang, mayoritas warga, 56 persen, mengatakan tidak akan memilih calon tersebut dibandingkan dengan mereka yang mengatakan sebaliknya (34 persen).
Hasil ini mengindikasikan bahwa jumlah masyarakat yang secara terang-terangan akan menerima imbalan dari politisi memang masih cukup banyak.
Bahkan, jumlah ini bisa jadi lebih banyak dari angka yang ditampilkan di atas mengingat adanya kemungkinan responden menyembunyikan jawaban asli mereka karena mereka tidak mau distigma ”bisa dibeli” oleh politik uang.
Selain itu, jawaban pertanyaan kedua juga mengindikasikan rendahnya mekanisme compliance dari politik uang. Hal ini karena pemilih yang dapat keuntungan material dari politisi belum tentu akan memilih politisi bersangkutan.
Kotak suara bersifat rahasia dan pemilih pada akhirnya memiliki kebebasan menentukan siapa yang mereka yakini dapat memimpin daerah yang mereka tempati.
Diskresi petahana
Hal yang lebih informatif kita jumpai terkait dengan program-program redistributif menjelang pemilu. Mayoritas responden, 70 persen, mengatakan pembangunan fasilitas publik ataupun bantuan sosial menjelang pemilu adalah wajar, bahkan jika kebijakan dilaksanakan menjelang hari pemilihan.
Hal ini menunjukkan kesulitan warga dalam membedakan pembangunan yang bersifat politis dan nonpolitis.
Tingginya angka dukungan terhadap program-program redistributif di atas menciptakan insentif bagi calon petahana untuk memanfaatkan diskresinya dalam menjalankan program pembangunan yang bersifat ad hoc.
Dan, memang kita sudah cukup maklum bahwa menjelang pemilu, bantuan-bantuan sosial dari pemda menjadi kian marak. Calon petahana bisa berlindung di balik argumentasi bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi kemaslahatan publik meski faktanya banyak program bersifat diskriminatif dalam periode waktu tertentu.
Terakhir, kami menemukan asosiasi yang sangat kuat antara mereka yang mengatakan program-program di atas sebagai sesuatu hal yang ”wajar” dan dukungan terhadap calon petahana. Dalam hal ini, dukungan terhadap petahana nyaris dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan calon nonpetahana.
Dukungan terhadap petahana dari responden yang menjawab menerima pemberian material juga jauh lebih tinggi daripada nonpetahana. Penjelasan di atas menunjukkan masih panjangnya jalan memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia.
Noory Okthariza Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS, Jakarta