Pemberian remisi khusus untuk narapidana seumur hidup tetap memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Tak semua terpidana seumur hidup akan diberi remisi.
Begitulah pernyataan Menteri Hukum dan Perundang-undangan (kala itu) Yusril Ihza Mahendra saat pertama kali mengenalkan remisi (pengurangan hukuman) khusus untuk terpidana seumur hidup menjadi pidana terbatas, 20 tahun.
Pemerintah selektif. Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999, mengatur pemberian remisi khusus itu (Kompas, 13/1/2000).
Tanpa kegaduhan, tahun 2000, pemerintah untuk pertama kali mengurangi hukuman tiga terpidana seumur hidup yang umumnya terjerat kasus pembunuhan berencana. Sejumlah terpidana seumur hidup lainnya pun menikmati pengurangan hukuman itu tanpa halangan dan keberatan dari publik.
Namun, masyarakat gaduh ketika Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres Nomor 29 Tahun 2018 tertanggal 7 Desember 2018 yang memberikan remisi kepada 115 narapidana seumur hidup, termasuk I Nyoman Susrama.
Bekas anggota DPRD Kabupaten Bangli, Bali, itu adalah terpidana kasus pembunuhan berencana wartawan Radar Bali, Anak Agung Narendra Prabangsa. Jasad Prabangsa ditemukan di perairan Padang Bai, Karangasem, Bali, 16 Februari 2009.
Pemberian remisi kepada Susrama memang tak melanggar perundang-undangan. Presiden berhak memberikan remisi dan berulang kali pula pengurangan hukuman itu diberikan oleh pemerintah yang lalu kepada terpidana lain. Namun, pemberian remisi khusus harus mendengarkan rasa keadilan masyarakat, termasuk rasa keadilan untuk korban atau keluarganya.
Remisi khusus tidak sekadar untuk menegaskan fungsi pemasyarakatan berjalan. Warga binaan dibina, kembali menjadi warga negara yang baik, dengan syarat berkelakuan baik minimal dalam kurun waktu lima tahun sejak dihukum.
Ada banyak faktor yang harus diperhatikan pemerintah saat memberikan remisi khusus. Remisi untuk Susrama diketahui saat wartawan di negeri ini hendak merayakan Hari Pers Nasional, 9 Februari lalu. Pada hari itu, Presiden Joko Widodo akhirnya membatalkan remisi khusus bagi Susrama, sesuai dengan tuntutan masyarakat, khususnya kalangan pers.
Di Indonesia, kekerasan terhadap jurnalis masih terjadi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merilis, tahun 2018 ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis, meningkat dibandingkan dengan 2017 sebanyak 60 kasus kekerasan.
Tahun lalu, Muhammad Yusuf, wartawan media dalam jaringan di Kalimantan Selatan, meninggal saat berstatus tahanan kejaksaan.
Delapan kasus kematian wartawan di Indonesia, sejak 1996, hingga kini belum terungkap. UNESCO pada 2018 menyebut 182 wartawan terbunuh selama 2016-2017 dan mengingatkan bahaya impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap wartawan.
Kebijakan remisi kepada Susrama, yang dibatalkan lagi oleh Presiden, menunjukkan buruknya administrasi dan koordinasi antar-penyelenggara negara. Tidak hanya rasa keadilan terusik, kepastian hukum pun terganggu. Peristiwa ini tak boleh terjadi lagi.