Maaf dan Damai
Mata pedang yang tajamnya seperti sembilu itu terasa ketika membaca berita pada 5 Februari 2019, tentang ”perdamaian” atas dugaan kasus kekerasan seksual terhadap A oleh HS selama kuliah kerja nyata (KKN).
Dari foto yang ditayangkan terlihat para petinggi lembaga pendidikan tinggi itu duduk di deretan depan ruang sidang dengan korban dan pelaku di sisi lain pada posisi sama.
Menurut BBC (5/2/2019), pimpinan dari lembaga pendidikan tinggi terkemuka itu mengatakan, ”Para pihak dengan kesungguhan hati, ikhlas, lapang dada, dan bersepakat memilih penyelesaian secara nonlitigasi atau internal....” HS menyatakan menyesal dan mengaku tindakannya adalah sebuah kesalahan. HS memohon maaf kepada A atas kejadian di lokasi KKN pada Juni 2017.
Serangan seksual atau intimidasi seksual termasuk satu dari 15 jenis kekerasan seksual seperti didefinisikan Komnas Perempuan. Kasus yang menimpa mahasiswi di Yogyakarta itu menunjukkan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak diundangkan meski ada penolakan atas dasar dalil-dalil agama.
Survei BPS menunjukkan, satu dari tiga perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik ataupun seksual. Data kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan jumlahnya terus membengkak dari tahun ke tahun dan angka itu diyakini hanyalah pucuk dari gunung es.
Anak perempuan dan anak laki-laki juga terpapar tindak kekerasan seksual oleh orang-orang yang seharusnya melindungi mereka di tempat-tempat yang seharusnya aman. Namun, jelas, perbuatan itu bersifat pidana. Setidaknya, ada aturan dalam KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281-Pasal 303).
Dampak panjang
Meski demikian, kasus kekerasan seksual hanya bisa dipidanakan kalau ada laporan ke polisi. Dalam proses itu, ”bukti” dan ”saksi” adalah dua syarat sakti yang kerap membuat korban terpuruk karena korban adalah saksi, dan bukti ada di dalam tubuh (dan perasaannya). Pemerkosaan dan berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya tidak berkaitan dengan nafsu seks.
Ini soal dominasi kekuasaan, soal relasi kuasa yang sangat timpang, khususnya antara pelaku dan korban. Peran komite etik suatu lembaga diuji kalau kasus ini dilaporkan kepada lembaga. Apa pun kesimpulan atau keputusan yang dibuat, harus diingat, ada hierarki kekuasaan yang memungkinkan posisi yang lemah semakin tersudut.
Kalaupun korban mengaku ”ikhlas”, bukan berarti persoalan selesai. Berbagai penelitian menunjukkan, korban kekerasan seksual menanggung dampak jangka panjang dari kerusakan psikologis dan emosional.
Baca: UGM Tunda Wisuda Terduga Pelaku
Memaafkan seharusnya tidak mengambil alih keadilan. Namun, pada praktiknya, pemaafan acap kali membebaskan pelaku dari ancaman hukuman, khususnya ketika lembaga-lembaga negara mengadopsi sikap memaafkan berupa maaf yang mendahului proses pengadilan. Pelupaan yang dilembagakan itu mengorbankan keadilan dan upaya mengubah keadaan.
Di sini, peran komite etik dari suatu lembaga diuji. Hal itu juga menjelaskan mengapa kekerasan seksual tidak dianggap sebagai persoalan serius, bahkan sering dihadapkan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang lain. Pelanggaran terhadap integritas dan kehormatan tubuh dianggap soal kecil, ecek-ecek.
Barangkali ini pula yang menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual tak bisa diungkap tuntas. Apalagi korban, yakni anak, perempuan cacat, pekerja seks komersial, kaum seks beragam, berada pada posisi paling subordinat dalam norma heteronormativitas (Wieringa, 2015).
Jika terkait dengan kekerasan politik, serangan seksual dan pemerkosaan hampir tak mendapat tanggapan memadai. Sulit mengharap kasus pemerkosaan Mei atau kasus kekerasan seksual lainnya dalam kekerasan politik di masa lalu bisa mendapat keadilan, baik keadilan retributif maupun restoratif secara memadai.
Budaya pemaksaan
Kasus A di Yogyakarta menarik karena kasusnya ditulis dan diterbitkan oleh majalah kampus dan mendapat tanggapan beragam. Meski laporan itu secara etika penulisan bisa dipertanyakan, hal itu tak boleh mengurangi dukungan terhadap keberanian mengungkap kasus kekerasan seksual di lembaga terhormat. Harus juga diingat, mata kuliah jurnalisme secara umum bersifat netral jender. Perspektif relasi kuasa membutuhkan pelatihan khusus.
Namun, sikap menyalahkan korban dan siapa pun yang hendak mengungkapkan peristiwa itu menunjukkan bahwa kekerasan seksual dan seks nonkonsensual dianggap ”normal”; suatu kejadian ”biasa” dan menjadi hak prerogatif laki-laki.
Kita banyak bicara tentang kesetaraan jender, tetapi ketidaksetaraan dan budaya misogini yang sangat patriarkal (Srivastava, Chaudhury, Bhat, Sahu, 2000), terus berlangsung dari generasi ke generasi. Itulah budaya pemaksaan dan penindasan, diistilahkan sebagai rape culture oleh para ilmuwan feminis di AS pada tahun 1970-an.
Kekerasan seksual dianggap sebagai budaya karena pandangan atas tubuh perempuan (juga anak perempuan dan anak laki-laki) sebagai penyedia layanan seksual. Korban direduksi habis kemanusiaannya dan dipandang sebatas obyek seks.
Tindakan memaafkan sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan tindak durjana yang sudah dilakukan terhadap seseorang. Tanggapan individu dan masyarakat terhadap kekerasan seksual akan secara krusial membentuk masa kini dan masa depan secara keseluruhan.
Masalah perempuan?
Meski kebanyakan korban adalah perempuan, pemerkosaan dan kekerasan seksual bukan hanya masalah perempuan. Ini juga masalah laki-laki. Dalam buku best seller, Brave (2018), Rose McGowan menulis, ”The truth of it is, the shame was not mine, and for all victims in similar situations, it is not ours. The shame is reserved for every creep who has ever touched us inappropriately. The shame is on the abuser, not the victim, not the survivor….”
Bukan korban atau penyintas yang harus menanggung malu, melainkan para durjana itu.…
Namun, pada banyak kebudayaan, justru korban dipersalahkan, dikucilkan, dianggap sial. Klaim moralitas menyalahkan korban karena pakaiannya, karena sikapnya (menggoda), karena jalan sendiri di tempat sepi, dan lain-lain, sehingga tak banyak korban berani mengungkapkan yang terjadi pada dirinya.
Semua ini harus diakhiri. Di banyak negara, gerakan Mee-too Movement (#MeToo movement) tumbuh pesat. Gelombang besar gerakan dunia itu dilahirkan untuk mengakhiri pelecehan dan kekerasan seksual, dengan mobilisasi massa, melalui media konvensional, media sosial, dan aksi.
Gerakan itu berupaya mendobrak dua hambatan terbesar, yakni kesangsian (ketidakpercayaan bahkan kecurigaan) dan penisbian terhadap dehumanisasi korban, dalam kehidupan sehari-hari maupun melalui hukum. Penegakan hak asasi manusia dan demokrasi secara substansial tak bisa diwujudkan kalau intinya tidak disentuh.
Maria Hartiningsih, Wartawan, Penulis, Tinggal di Jakarta