Gizi Buruk di Papua
Kompas (terbitan 29/1/2019 dan 30/1/2019) membahas di halaman utama masalah gizi buruk di Indonesia timur, terutama Papua. Rupanya tak hanya menyangkut masalah ekonomi, juga minimnya pengetahuan orangtua mengenai gizi bagi keluarga.
Beberapa masalah saya cermati. Pertama, orangtua tidak mengutamakan alokasi keuangan keluarga untuk gizi atau makanan, malah banyak membeli minuman keras atau rokok. Kedua, orangtua tidak memahami sumber makanan apa saja yang baik dan bergizi untuk anak. Ketiga, kurang sosialisasi memberi air susu ibu (ASI) kepada anak. Kasus bayi ber-umur delapan bulan yang menderita gizi buruk seharusnya tidak terjadi jika diberikan ASI eksklusif selama enam bulan, kemudian diteruskan hingga usia dua tahun.
Memang pemerintah sudah merencanakan banyak langkah terobosan yang sangat baik mengatasi masalah gizi buruk ini. Namun, ada beberapa langkah yang, menurut saya, perlu dilakukan juga agar masalah ini benar-benar teratasi.
Pertama, setiap pasangan yang akan menikah harus mengikuti kursus atau pengajaran mengenai pengelolaan keuangan keluarga dan pengetahuan dasar tentang gizi, terutama untuk anak balita.
Kedua, pentingnya ASI untuk bayi sejak lahir perlu disanpaikan kepada ibu hamil dan melahirkan.
Ketiga, pemberian makanan tambahan bisa dilakukan melalui posyandu, pendidikan anak usia dini, SD, dan harus rutin, misalnya seminggu sekali. Hanya sesekali tidak efektif.
Keempat, adakan seminar gizi yang sederhana saja (supaya mudah dipraktikkan) sekaligus demonstrasi masak menu makanan yang menggunakan bahan lokal, murah, mudah didapat, tetapi bernilai gizi tinggi. Jika ingin sosialisasi nilai gizi daun kelor atau keladi, misalnya, sebaiknya sekalian diajarkan cara memasaknya juga.
MF Sophia
Pantai Indah Kapuk,
Jakarta Utara
Keamanan di Terminal 2
Terima kasih kepada petugas keamanan Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, khususnya keamanan stasiun bus di Terminal 2. Tas selempang saya yang tertinggal di ruang stasiun bus pada Kamis (24/1/2019) ternyata tidak hilang dan bisa kembali dengan utuh, padahal sudah tertinggal hampir satu jam.
Semula saya mendarat dengan Batik Air dari Kendari sekitar pukul 20.00. Saya menarik koper kecil dan membawa tas selempang menuju tempat pemberhentian bus di Terminal 2. Saya tidak sadar kapan dan di mana tas selempang saya tertinggal. Hanya saja, ketika sudah berada di bus yang menuju Kelapa Gading, ketika berangkat dari Terminal 3, saya baru sadar bahwa tas tersebut sudah tidak ada. Saya bingung dan mencari-cari di kolong kursi, bertanya kepada beberapa penumpang di bus yang tidak terlalu penuh tersebut. Tak ada yang tahu.
Dalam bingung dan putus asa, saya WA ke grup keluarga. Kebetulan anak saya menanggapi, bahwa suaminya sedang di bandara yang sama mengantar ibunya. Menantu saya menuju Terminal 2. Sejam kemudian, ketika saya sudah sampai di Kelapa Gading, menantu saya mengirim foto tas saya, yang ternyata telah ditemukan petugas keamanan bandara dan diamankan.
Saya bersyukur karena tas tangan yang berisi beberapa barang berharga tersebut tidak hilang. Saya semula mengira bahwa tas tangan itu pasti hilang karena ketinggalan di ruang tunggu bus Terminal 2 yang terbuka. Ternyata petugas keamanan sigap dan bertanggung jawab: mengamankan tas itu. Petugas keamanan di stasiun bus Terminal 2 Soekarno-Hatta telah menjalankan tugasnya dengan sangat bagus. Saya salut bahwa ternyata petugas keamanan kita bisa diandalkan.
Chrys Kelana
Pulomas, Jakarta Timur