Ketegangan politik antara Iran dan Amerika Serikat semakin meningkat. Ladang perseteruan mereka sekarang pun berpindah ke negara Irak.
Empat dekade lalu, tepatnya 11 Februari 1979, kekuasaan Shah Iran, Reza Pahlevi, yang didukung Washington ditumbangkan oleh kekuatan rakyat. Revolusi berlanjut dengan penyerbuan Kedutaan Besar AS dan penyanderaan 52 diplomat AS di Teheran, November 1979. Penyanderaan berakhir pada Januari 1981 setelah berlangsung selama 444 hari.
Sejak saat itu, hubungan Iran-AS tak pernah lagi membaik. Di hampir semua ladang pertempuran, kedua pihak ini ”berhadapan” secara tidak langsung, sebut saja di Suriah, Yaman, dan Lebanon.
Perseteruan itu mengalami eskalasi setelah AS dipimpin Presiden Donald Trump yang secara unilateral menyatakan keluar dari Perjanjian Nuklir Iran 2015 yang ditandatangani lima anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa (DK PBB) plus Jerman. Keputusan Trump membuat Iran kembali terkena sanksi ekonomi dan mengakibatkan negara lain kembali sulit menjalin kerja sama perdagangan dengan Iran. Yang paling terdampak dari sanksi ini tentu saja rakyat Iran.
Secara retorika, permusuhan AS-Iran mencapai kondisi mengkhawatirkan ketika Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengajak negara-negara di dunia untuk mengisolasi Iran. Secara implisit dan eksplisit, Washington beberapa kali mengeluarkan ancaman melakukan invasi militer ke Iran.
Namun, dalam perayaan 40 tahun Revolusi Islam yang dihadiri dengan masif oleh warga dari seluruh penjuru Iran, Senin (11/2/2019), Presiden Hassan Rouhani menegaskan, musuh Iran tak akan bisa mewujudkan rencana jahat karena Iran kini jauh lebih kuat daripada 40 tahun lalu.
Perseteruan terbuka Iran-AS kini melebar ke Irak. AS masih menempatkan sekitar 5.000 tentaranya pasca-invasi AS ke Irak tahun 2003, yang berujung dengan tergulingnya kekuasaan Saddam Hussein. Meski mengumumkan akan menarik pasukannya di Timur Tengah, khusus untuk Irak, Washington memiliki rencana lain. AS membutuhkan pangkalan militer di Irak guna mengawasi sepak terjang Iran di kawasan.
Persoalannya, pemerintah baru di Irak yang terbentuk secara demokratis, Oktober lalu, dan berhasil mengonsolidasikan kekuatan Sunni (ketua DPR), Kurdi (presiden), dan Syiah (PM) tak mudah ”dikendalikan” Washington.
Hambatan pertama, Pemerintah Irak nyatanya tak bersedia menerapkan sanksi terhadap Teheran, seperti yang diharapkan Washington. Kedua, seperti dilansir berita Kompas, kekuatan politik asal Syiah di Irak justru sedang melakukan konsolidasi untuk mengeluarkan rancangan undang-undang yang meminta pasukan AS keluar dari Irak.
Dinamika ini tentunya akan memengaruhi postur dan langkah kebijakan AS di Timur Tengah untuk menghadang pengaruh Iran meski saat ini AS berhasil menggandeng Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Israel.