Istilah miseriae sensu dalam bahasa Latin berarti ’perasaan menderita’. Ungkapan ini menunjukkan sebuah perasaan akan sulitnya hidup. Ia selalu ada dalam setiap zaman, setiap rezim pemerintahan mana pun: harga-harga dianggap meningkat; mencari pekerjaan disebut-sebut makin sulit; pajak dirasa mencekik; dan orang terjebak pada melankoli romansa untuk kembali ke masa lalu, saat semuanya seolah dirasa masih menyenangkan, indah, serta mengundang untuk selalu kembali kepadanya.
Kenyataan ini bukanlah kebenaran. Seperti halnya perbedaan antara politik dan hukum: yang satu berlandaskan opini alternatif artifisial atas berbagai kenyataan yang ada, sementara yang lain berdasarkan atas bukti-bukti dan fakta, baik pidana maupun perdata. Namun, orang-orang dengan perasaan miseriae sensu tersebut selalu ada pada setiap zaman, tanpa berarti kesulitan obyektif yang dimaksud dalam kehidupan tersebut memang sungguh-sungguh ada dan lebih buruk dari era-era sebelumnya.
Tentu perasaan tersebut semu, menyesatkan, dan merusak suasana kebatinan bersama dengan menjauhkan kita dari kemajuan progresif yang sesungguhnya telah ada. Tak heran jika seorang sastrawan Perancis abad ke-19, penulis Les Miserables (Penderitaan-penderitaan), Victor Hugo, pernah berujar, ”nama dari penderitaan adalah manusia. Dan, ia melolong mengeluh pada semua musim.” Ia, manusia, pada hakikatnya adalah seorang subyek pengeluh.
Dewasa ini orang dikejutkan oleh embusan pesimisme tentang tesis bubarnya bangsa berpopulasi 260 juta jiwa lebih ini pada suatu masa kelak. Negeri yang seharusnya bersyukur karena terdiri dari belasan ribu pulau, ribuan suku atau etnis, ratusan bahasa, masih kukuh tegar mengada setelah melampaui penyaksian atas bubarnya Uni Soviet, Yugoslavia, pecahnya Cekoslowakia, dan berbagai konsensus kebangsaan lain.
Orang berkata dengan mudah, ”mari turun ke bawah”, untuk menguatkan muslihat argumennya bahwa seolah-olah pesimisme yang diutarakannya benar dengan perasaan-perasaan subyektif seolah-olah sudah di lapangan. Dan, dengan demikian, optimisme yang hendak dibangun oleh lawan bicaranya menjadi tumbang serta dianggap naif karena tidak berangkat benar dari praksis di lapangan.
Lupa bersyukur
Orang lupa bahwa hari ini ketimpangan pendapatan terus menurun dari angka koefisien gini pada kurva Lorenz sebesar 0,41 pada 2014 menjadi 0,39, persentase jumlah penduduk berkategori miskin berhasil ditekan di bawah 10 persen dari kisaran 11,3 persen sejak 2014. Angka pengangguran pun menjadi 5,3 dari keseluruhan total populasi angkatan kerja, setelah sebelumnya sempat mencapai 6,2 pada kisaran 2014-2015.
Lebih dari itu, kita menikmati pengendalian harga-harga yang sangat baik, yang belum pernah ada pada periode-periode yang lalu, dengan kisaran inflasi tahunan yang amat rendah, bahkan di titik-titik hari raya, yaitu pada kisaran 3-4 persen, bahkan di bawah 3 persen per Januari lalu dibandingkan Januari 2018 (year on year/ yoy). Tentu bagi mereka yang tahu bahwa kita pernah mengalami aib inflasi tahunan tinggi yang sampai menembus dua digit dalam perekonomian pada 2005 dan 2008, akan sangat mensyukuri kenyataan-kenyataan yang ada hari ini.
Sementara fakta bahwa depresiasi rupiah terhadap dollar AS bukanlah yang terburuk dibandingkan rand (Afrika Selatan), rubel (Rusia), peso (Argentina), lira (Turki), rupee (India), dan real (Brasil) pada helaan suku bunga ”hanya” di kisaran 6 persen. Sementara imbal hasil obligasi negara atas premi risiko sistematis sedemikian masih di bawah 9 persen untuk jangka waktu 10 tahun, di bawah India, Brasil, dan Turki, di mana dua di antaranya adalah negara motor pendorong permintaan global yang dikenal sebagai BRICS, negara-negara motor pendorong permintaan global yang memiliki peringkat ”negatif” sampai ”stabil” dari lembaga pemeringkatan global seperti Fitch, Moody’s, ataupun Standard & Poor’s, adalah juga kenyataan-kenyataan lain yang masih sangat membesarkan hati: bahwa bangsa ini besar, bertahan, dan dipercaya! Imbal hasil ini berangsur menurun setelah mencapai puncaknya pada Oktober 2018, di mana titik terendah kita kini masih lebih baik ketimbang Brasil yang sampai menembus 12,5 persen pada September 2018.
Kesenduan kolektif
Bahkan, yang sulit dipercaya, di tengah tekanan global akibat sentimen negatif moneter dan perdagangan lewat bergerak terbatasnya permintaan regional ataupun berbagai harga komoditas seperti demikian, pemerintah masih leluasa menggelontorkan ekspansi fiskal lewat berbagai paket stimulus industri, BPJS, dan pembangunan infrastruktur. Itu semua jadi motor penggerak pertumbuhan produk domestik bruto yang setidaknya lestari lebih dahulu.
Selalu memberikan ruang pada berita bohong, berbagai keluhan melankolik yang tidak berlandaskan fakta, hanya akan membawa publik pada kesenduan kolektif yang perlahan merusak dan tak berkesudahan. Hal ini dapat berhilir pada rasa pesimisme komunal, yang semakin menjauhkan semua orang dari keagungan dan kemuliaan hidup yang paripurna. Perasaan-perasaan tersebut sejatinya hanya dimiliki oleh mereka yang kalah dan dijangkiti inferioritas akibat hipokondria akut, yang mengabaikan obyektivitas-obyektivitas diagnosis dokter yang sesungguhnya menyatakan sehat lewat berbagai rangkaian uji laboratorium.
Obedientia sicut cadaver. Taatlah seperti mayat. Setidaknya pada fakta, kebenaran faktual, dan bukan pada perasaan. Miseriae sensu hanyalah melankoli perasaan subyektif emosional menderita saja yang tidak berbasis fakta serta selalu ada pada semua zaman dan angkatan, bahkan pada setiap bangsa yang paling maju sekalipun perikehidupannya.
Anggoro BudiNugroho Dosen pada SBM ITB dan Mahasiswa Doktoral pada Faculte de Droit et des Sciences Economiques Universite de Limoges, Perancis